Cerpen Raudah AH (Republika, 29 April 2012)
KABUT menutupi kepala bukit hijau yang mengelilingi
kampus indah nan asri. Udara terasa segar. Dingin menyusup tulang. Suara
knalpot kendaraan yang merayap di jalan utama Garden of Knowledge
terdengar. Gadis yang memiliki beberapa keping cita dan ribuan asa itu
masih bersembunyi dalam selimut tebalnya. Menikmati mimpi-mimpi indah.
Sudah sebulan ini ia terbiasa tidur setelah shalat Subuh. Bergumul
dengan makalah-makalahnya. Ketika azan Subuh berkumandang dari menara
masjid biru, segera ia menghentikan tugas yang dikerjakan. Menyambut
merdu-Nya panggilan Sang Ilahi, disegerakannya shalat fajar, diiringi
shalat Subuh.
Seperti orang kehausan ilmu, ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan
menimba ilmu di kampus biru ini. Di sinilah semua harapannya
terpatrikan. Harapannya tidak terlalu banyak: ingin segera bekerja dan
berkumpul bersama ayahnya. Rahman selalu menyemangati anak bungsunya itu
agar cepat menyelesaikan pendidikan. Hanin tak enak dengan ayahnya. Ia
merasa menyusahkan banyak orang. Ayah, abangnya, Haris dan Hilwa. Biaya
kuliah dan kehidupan sehari-hari di negeri ini lebih tinggi dibandingkan
Indonesia. Sekuat tenaga dan usaha dikerahkannya agar episode di kampus
biru ini segera berakhir. Yah, tinggal satu semester lagi, harus
bersabar!
Telepon genggam yang diletakkan di bawah bantal bergetar. Ada nada
panggilan. Namun, Hanin urung mengangkatnya. Ia merasa terlalu cepat
untuk bangun. Masih ada sisa satu jam lagi baginya beristirahat.
Sedangkan, satu jam berikutnya cukup untuk bersiap-siap pergi ke kelas
favoritnya, Foundation of Communication in Qur’an and Sunnah. Kelas yang
diajarkan oleh seorang profesor berpengalaman, Doktor Mohammad Yusof
Hussain.
Telepon genggam berdering lagi. Hilwa meneleponnya. Saat ini, di Tanah Air sekitar pukul delapan lewat.
“Assalamualaikum, Kak,” sapa Hanin senang. Biasanya Hilwa tak pernah
meneleponnya pagi-pagi buta. Namun, Rahman sering menyapanya pada pagi
hari. Sekadar mengalirkan energi positif.
“Waalaikumussalam…,” suara Hilwa terdengar lirih. Hanin mendengar ada suara tangisan di seberang sana.
“Ayah meninggal, Hanin.” Dadanya berdegup kencang, sesak. Seakan
langit jatuh menimpa tubuhnya. Beberapa saat ia tak mampu berkata-kata.
“Kakak bercanda, kan? Itu tidak mungkin!” Hanin berusaha menahan bendungan air di kelopak matanya.
“Benar Hanin. Ayah tadi ditabrak motor. Jika memungkinkan, pulanglah!” Hilwa mengakhiri pembicaraan dengan isakan kecil.
Bendungan air mata gadis manis itu tak tertahankan. Tangisnya pecah.
Hanin terbayang wajah teduh milik ayah. Dua hari yang lalu, ia menelepon
ayah. Menanyakan kabar. Melepaskan rindu. Sudah delapan bulan tak
berjumpa. Ia urung pulang. Nekat memulai kerja sebagai part timer
di sebuah Cyber Cafe yang terletak di Mahallah Ameenah. Terkadang,
liburan itu diisinya dengan mengikuti berbagai seminar di beberapa
kampus di ibu kota itu.
Gadis 21 tahun itu terpaku di pojok dipan. Sesekali disekanya deraian
air mata dengan ujung bajunya. Kini ia bingung. Sisa tabungannya
berjumlah dua ratus ringgit. Mustahil bisa pulang dengan uang segitu.
Tiket pesawat tentu mahal jika dibeli mendadak. Sementara, beasiswa dari
Lembaga Amanah baru akan keluar dua minggu lagi.
Ia mengirimkan SMS kepada bos yang mempunyai beberapa Cyber Cafe di
asrama kampusnya. Ia jelaskan kondisinya pada saat ini. Hanin juga minta
izin tidak masuk bekerja beberapa hari. Beberapa saat kemudian, bosnya
membalas SMS-nya. Ia berbelasungkawa. Noor memberikan Hanin izin. Namun,
tak bisa meminjamkan uang padanya. Karyawannya itu kecewa. Memang saat
ini sang majikan sedang ditimpa musibah. Anaknya dirawat di rumah sakit.
Sedangkan, anak yang sulung baru saja mendaftar sebagai mahasiswa
kedokteran di University Malaya. Hanin berusaha maklum.
Hanin memasukkan beberapa potong pakaian dan tiga buah buku ke dalam
tas ransel besar. Ia nekat pulang untuk melihat wajah ayah yang terakhir
kali meski belum mendapat pinjaman uang.
***
Gadis manis berjilbab putih itu melangkah gontai di pelataran
Mahallah Shafiyyah, sebuah asrama perempuan yang dekat dengan pos pintu
gerbang. Ia telah berjanji dengan Syazwani berjumpa di depan Blok C. Tak
lama kemudian, sahabat baiknya yang berasal dari Kelantan itu muncul.
Mereka berpelukan. Hanin menangis di bahu Syazwani. Sahabatnya pun
meneteskan air mata. Syazwanilah satu-satunya sahabat yang rela
mendengar kisah duka dan lukanya di negeri jiran ini.
“Kau pakailah dulu uang aku, Hanin. Emakku akan datang minggu depan.
Jangan risau!” Syazwani mengulurkan uang berjumlah 500 ringgit. Hanin
terharu. Ia sudah mencoba meminjam uang kepada beberapa kawan dari
Indonesia, tapi hasilnya nihil. Mereka tak bisa menolong. Hanya ucapan
belasungkawa yang ia terima dari kawan-kawannya.
“Maaf, Hanin, aku telanjur mendaftar Asia Africa Conference di CAC
Hall, KLCC,”’ ucap Saskia pada Hanin. Ia pun sudah menghubungi Farhan
dan menceritakan musibah yang menimpanya. Lagi-lagi, sahabatnya satu
negara itu pun tak bisa menolongnya, beralasan sedang pas-pasan
keuangannya. Padahal, ia dikenal sebagai mahasiswa kelas atas di kampus.
Maklumlah, ia salah satu anak pemimpin daerah. Ia tinggal di apartemen
mewah di Damansara Heigths dan berkendaraan Proton Gen 2.
Hanin berpamitan kepada Syazwani. Mereka berpelukan lagi. “Sabarlah, Hanin! Kullu nafsin dza iqatul maut!” desis Syazwani untuk membesarkan hati Hanin.
Hanin akan absen beberapa hari, mungkin sampai hari ketujuh kematian
ayahnya. Ia sudah memberitahukan hal itu kepada Marlina dan Farhah yang
juga mengambil mata kuliah issues in Ushuluddin. Padahal, tiga
hari lagi ia harus mempresentasikan makalah yang dibuat dengan dua orang
kawannya itu. Doktor Wan Muhammad Azzam, pengajar mata kuliah tersebut,
menggebu ingin menyaksikan presentasi yang berjudul “Liberalization on
Islamic Subjects in State Islamic University Jakarta”. Sedangkan, dosen
mata kuliah yang lain akan dia berikan surat keterangan absen ketika
kembali nanti. Ia yakin, pasti para dosen itu tidak keberatan memberi
izin. Tapi, Hanin tidak yakin kalau absennya tidak berpengaruh dengan
nilai akhirnya nanti. Sebab, kehadiran pada setiap mata kuliah di kampus
berbasis internasional ini akan memengaruhi nilai ujian akhir.
***
Hanin duduk lunglai di ruang tunggu bandara. Ia menunggu dengan
cemas. Tak sabar ingin segera melihat dan mencium wajah ayah. Hanin
optimis bisa sampai ke rumah sebelum ayah dikebumikan. Haris dan Hilwa
sudah dihubunginya untuk menunda pemakaman jenazah ayah sampai ia
pulang. Hanin sudah tak mampu lagi mengeluarkan air mata. Ia ikhlas ayah
meninggalkannya. Tak mungkin Hanin menyalahkan takdir Sang Khalik. Ia
berusaha tabah. Sama seperti menghadapi kematian sang ibunda. Ketika
itu, ia baru memasuki fase kehidupan pertama di kampus idamannya itu.
Rahman menduda hampir enam tahun. Tahun lalu, ia mulai pensiun
sebagai pegawai negeri di kantor bupati. Lelaki penyayang itu tetap
berkukuh tidak menikah lagi walaupun anak-anaknya pernah menyodorkan
beberapa calon ibu tiri mereka. Cintanya terhadap almarhumah sang istri
begitu besar. Rahman juga tak mau tinggal bersama anaknya. Padahal,
Haris dan Hilwa sudah membujuk habis-habisan agar ia mau tinggal dengan
mereka. Ia tidak ingin menyusahkan anak-anaknya.
Hanin sering bermimpi, ayahnya akan menghadiri acara convocation
nanti. Memakai jubah biru sama seperti warna cat gedung-gedung di
kampusnya. Namanya termasuk salah satu pelajar yang berprestasi sehingga
namanya akan dibacakan oleh protokol di depan banyak orang, termasuk
ayahnya. Sayang, semua itu cuma mimpi.
***
Ketika Maghrib hampir tiba, gadis berwajah sendu itu tergopoh-gopoh
berjalan di pelataran rumah. Dua buah papan bunga ucapan belasungkawa
terpajang di depan pagar rumah. Ada tiga buah tenda terpasang di sana.
Beberapa orang tetangganya duduk berkumpul di salah satu tenda. Aulia,
keponakannya yang berumur sembilan tahun, menyambut kepulangannya. Ia
membawakan tas ranselnya.
Hilwa dan Haris menyambutnya di daun pintu. Beberapa kerabat ayah dan bundanya duduk di ruang tamu.
“Assalamualaikum…,” Hanin menyalami mereka satu per satu. Dipeluknya
Hilwa. Air matanya berderai lagi. Ia hapus dengan ujung jilbabnya. Saat
melangkah ke dalam, ia melirik ke ruang tamu yang lapang tanpa
perabotan. Tak ada jenazah ayah di situ. Kemudian, ia berlalu ke ruang
tengah. Ayah juga tak di situ. Pikirannya kacau. Ia ingin menjerit, tapi
lemah.
“Maafkan kami, Hanin!”
“Pemakaman ayah tak mungkin ditunda. Ada beberapa luka koyak pada jasadnya,” jelas Haris padanya.
“Kenapa tidak menungguku sebentar? Aku ingin melihat ayah. Dulu aku tak melihat ibu,” matanya menatap nanar.
“Jika kami menunggumu pulang, itu artinya pemakaman ayah dilakukan
esok hari. Kasihan ayah,” Haris menjelaskan dengan hati-hati, ia tak
ingin Hanin sedih dan kecewa.
Tapi, kenyataannya, adik bungsunya itu benar-benar kecewa. Ia
usahakan agar segera sampai ke rumah. Bahkan, rela mengganjal perutnya
hanya dengan sedikit roti pada pagi dan siang tadi. Itu hanya karena tak
ingin terlambat melihat ayah. Ternyata segala asa untuk pulang seperti
tak berarti. Sia-sia! Hatinya retak. Tangisnya pecah berkeping-keping.
Air mata tumpah. Hilwa memeluk Hanin dan menenangkannya. Haris mengusap
punggungnya. Rasa lelah menyergap tubuhnya. Ia tertidur sesaat di antara
isakan kecilnya di pangkuan Hilwa.
Oh, ayah! Ingin rasanya bersua denganmu. Bercakap-cakap barang sekejap di setiap tidurku. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar