Cerpen Rizal Mubit (Republika, 11 Maret 2012)
HARI Minggu, Mufid kembali menjumpai ibunya yang
sedang berjualan jajanan di sebuah gubuk dekat tempat parkir wisata
Curug Lawe, Gunung Ungaran. Setiap hari libur, air terjun Lawe banyak
pengunjung. Mufid memanfaatkannya untuk membantu ibunya. Uang yang
didapatkan dipakai untuk biaya hidup selama kuliah di Semarang.
Sebentar lagi tahun ajaran baru menjelang. Mufid belum juga
mendapatkan uang untuk membayar semesteran. Sementara, adiknya juga akan
mendaftar kuliah. Jika ditotal, biayanya mendekati sepuluh juta. Uang
yang didapat dari membantu ibunya hanya bisa untuk hidup sehari-hari di
Semarang.
“Kalau memang terpaksa, sawahnya kita jual saja, Nang?” kata ibu.
“Terus bapak kerjanya pripun (bagaimana), Bu?”
“Biarkan bapak istirahat. Sejak pergelangan tangannya kebacok
waktu Idul Adha kemarin, sebenarnya Ibu tak rela membiarkan bapakmu ke
sawah. Biar ibu yang kerja.” Bapak mengangguk lemah mendengar tutur kata
ibu.
Mufid tak pantas mengalami kesulitan biaya kuliah. Ia bisa
mendapatkan beasiswa dengan indeks prestasinya yang tinggi. Tapi, karena
sudah tertanam dalam dirinya bahwa uang beasiswa adalah uang yang tak
jelas halal haramnya, dia tak mau mendapatkannya. Bapaknya sering
bilang, “Aku tak mau memberi makan anak-anakku dari uang yang tak pasti
halal. Kamu jangan coba-coba mencari makan dari uang syubhat.”
Hari itu adalah hari tersulit dalam sejarah keluarga Mufid. Semua
anggota keluarga memusyawarahkan jalan keluar agar Mufid dapat
melanjutkan kuliah tanpa harus mengorbankan kelanjutan studi adiknya.
Dan, tak ada jalan lain kecuali menjual tanah sawah.
Namun, entah mengapa Tuhan menguji keluarga Mufid. Setelah tanah
terjual, Sofwan, kakaknya yang kuliah S2 di Jakarta, menelepon ingin
dikirimi uang. Tak tanggung-tanggung, dana yang diperlukan sebesar 15
juta rupiah untuk persiapan wisuda. Kembali keluarga itu dirundung
permasalahan dana. Sudah tak ada jalan lain. Harus ada salah satu yang
mau mengorbankan studi.
“Aku semester ini cuti saja, Bu. Biar adik saja yang melanjutkan sekolah,” kata Mufid.
Ibu mendekati Mufid. Membelai lembut kepala anaknya, “Jangan, Nang!
Pasti ada jalan. Ibu yang mengusahakan.” Mufid mendekatkan kepalanya
dalam pangkuan kasih Ibu.
Tak ada lagi yang bisa dikorbankan. Bapak tak bisa berbuat banyak
dengan tangan yang tak lagi normal. Apalagi ibu, ia hanya bisa berdoa
dan berdoa.
“Pak, bagaimana kalau aku mencari beasiswa saja? Aku bisa melanjutkan
kuliahku dengan beasiswa.” Tiba-tiba Mufid mengangkat kepalanya dari
pangkuan ibu.
“Kalau kamu mau ilmumu tak bermanfaat gara-gara beasiswa itu,
silakan!” ujar bapak mantap. Mufid hanya diam memegangi kening dengan
tangan kanannya. Tak berani dia mendebat orang tuanya.
“Masmu itu, dulu sudah dapat beasiswa S2 ke Inggris. Tapi, dia tak
mau berangkat karena tak mau perkara syubhat. Kalau kamu, bapak
terserah.” Mufid menggelengkan kepala. Dia percaya pasti ada jalan
kemudahan yang diberikan Allah.
“Yakinlah akan pertolongan Allah kepada hamba-Nya yang taat,” ucap bapak seakan tahu batin anaknya.
“Injih (iya), Pak.”
“Kamu ke kampus dulu saja, Nang. Nanti biar ibu yang nyari uang,” ucap ibu.
Karena hari itu Mufid diminta juniornya untuk mengisi diskusi
kebangsaan, dia ke kampus dengan uang secukupnya. Di kampus, tak ada
satu pun yang tahu betapa dia selalu mengalami kesulitan biaya hidup. Kecerdasan dan tampilan sederhananya menampakkan dia selalu enjoy
dengan kehidupan. Jaket jins biru yang warnanya sudah pudar dengan
celana jins yang ada lubang sobekan di lutut adalah ciri khas Mufid.
Hampir semua mahasiswa tahu siapa dia, apalagi aktivis-aktivis
kampus. Dia sering kali berada di barikade terdepan para demonstran yang
menolak kebijakan pemerintah.
***
Di gubuk tempat berjualan gorengan, ibu ditemani tukang parkir sedang berbincang-bincang, saling curhat tentang sulitnya hidup.
“Anakku belum bisa bayar kuliah, Par,” katanya kepada Parno, tukang parkir.
“Lha, katanya habis jual sawah, Mbak?”
“Anakku yang kuliah di Jakarta kemarin mendadak minta dikirimi uang.
Uang hasil jual sawah tidak cukup, Par,” wajah ibu terlihat layu seperti
daun-daun cengkih yang sudah jatuh dari pohonnya. Lusuh.
“Aku juga tak punya uang, Mbak. Kalau punya, pasti kupinjami.”
Rombongan wisatawan datang. Parno mendekati tempat parkir, merapikan
parkiran. Sementara, ibu membersihkan meja dengan lap kain.
Jarang yang tahu daya tarik air terjun yang berada di kebun cengkih
terluas di Indonesia itu sehingga pengunjungnya sedikit. Padahal, kalau
tahu, pasti akan ketagihan ke sana. Selain karena keindahan air
terjunnya, wisatawan juga bisa merasakan lelahnya mendaki gunung. Lokasi
air terjun dari tempat parkir sekitar satu kilometer hanya bisa
ditempuh dengan berjalan kaki, jalannya berliku dan menanjak.
“Mampir dulu, Nak!” sapa ibu dengan senyum retorik yang mampu menyembunyikan beban hidup.
“Inggih (iya), Bu,” jawab wisatawan hampir bersamaan. Mereka menjauh dari pandangan, berjalan menuju air terjun.
Kembali Parno dan ibu berbincang-bincang.
“Mbak, saya memang tak punya uang. Tapi, saya bisa membantu.”
“Membantu gimana?”
“Jangan bilang-bilang orang, Mbak. Rahasia saja!” Parno mendekatkan
mulutnya ke telinga ibu. Entah apa yang dibicarakannya. Hanya, setelah
Parno membisikkan sesuatu, ibu tertegun dengan mata sedikit mendelik.
“Kamu ini bagaimana, Par? Itu dilarang agama!”
“Daripada sekolah anakmu harus terbengkalai. Lebih baik Mbak lakukan
saja, nanti kalau sudah dapat rezeki, baru nanti ganti uang yang Mbak
dapatkan dengan rezeki itu lewat sedekah. Mudah, kan?” Tampaknya ibu mulai tergoda perkataan Parno. Lama-kelamaan, bujuk rayu Parno mampu mengalahkan keteguhan hati ibu.
“Parno benar juga. Daripada anakku tak bisa melanjutkan kuliah,” batin ibu.
“Tak apa-apa. Lalu, bagaimana ini? Aku tak pernah melakukannya.”
“Gampang, Mbak. Ikut aku!”
Ibu mengikuti Parno ke rumah seorang pertapa di desa sebelah untuk
meminta petunjuk nomor togel yang akan keluar. Hanya setengah jam sudah
ada petunjuk.
“Nanti aku saja yang berangkat ke rumah Kang Kardi untuk beli nomor togel.”
Ibu mengulurkan uang Rp 200 ribu kepada Parno. Jika bisa menembus
togel, uang sebesar itu akan menghasilkan uang puluhan juta rupiah,
lebih dari kebutuhan anak-anaknya untuk kuliah.
Tak ada satu pun dari keluarga tahu apa yang dia lakukan. Lima hari kemudian, ibu mendapatkan uang hasil togel.
“Dapat uang dari mana, Bu?” bapak pun menanyakan uang itu.
Ibu diam pura-pura tak mendengar untuk menutupi dirinya yang sedang kebingungan menjawab.
“Bu!” panggil bapak.
“Injih.”
“Dapat uang dari mana?” tanya bapak.
“Dapat rezeki dari Allah, Pak.”
“Jangan main-main dengan harta, Bu.”
“Aku tak main-main, Pak.” Ibu berkata agak ragu. Baru kali ini dia berani berkata tak jujur di hadapan suaminya.
Bapak diam, percaya kepada istrinya yang tak akan mengkhianati dirinya dan agama tentunya.
Sama seperti bapak, Mufid curiga dengan uang yang didapatkan ibu.
Beberapa hari setelah tahu ibunya mendapatkan uang sebanyak itu tanpa
keterangan yang jelas, dia mencoba mencari tahu. Terutama, kepada Kang
Parno, orang yang sering bersama ibunya saat bekerja.
Hari minggu, Mufid menggantikan ibunya bekerja di warung. Saat istirahat, dia ditemani Parno.
“Kang, aku butuh uang untuk biaya kuliah. Aku tak bisa hidup
mondar-mandir Semarang-Ungaran setiap minggu. Tugas kuliah terbengkalai.
Aku juga lelah.”
“Masalah gampang itu.”
“Gampang pripun, Kang?”
Seperti biasa. Parno membisikkan sesuatu kepada Mufid, mengajak
pemuda itu untuk membeli nomor togel. Dia memang suka mengajak orang
lain untuk ikut togel karena setiap orang yang mendapat undian, dia bisa
mendapat jatah.
“Wah, kayaknya enak itu, Kang.”
“Pasti enak. Dijamin dapat uang. Kemarin ibumu juga dapat.” Tanpa berdosa dan curiga apa-apa, Parno mengatakan rahasia itu.
Mufid syok. Wajahnya memerah. Tatapan matanya memancarkan
kemarahan. Tanpa mengatakan apa pun, dia pulang ke rumah. Warungnya
ditinggalkan begitu saja. Matanya sedikit mendelik. Sesampainya di
rumah, ia lalu masuk kamar mengemas pakaian. Tak ada di antara
keluarganya yang curiga bahwa hari itu juga Mufid minggat ke Solo.
***
Tiada yang tahu ke mana Mufid pergi. Bapak dan ibunya bingung. Ponselnya tak aktif, temannya tak ada yang tahu.
Ibu tak pernah tahu penyebab perginya Mufid. Setiap kali ada masalah, biasanya anaknya curhat kepadanya. Masalah apa pun itu. Tapi, kali ini tidak. Seperti ada sesuatu yang tak bisa berkompromi.
Di Solo, Mufid bergabung dengan organisasi pemuda. Di sana dia
mendapatkan tempat yang layak karena kiprahnya di Semarang sudah dikenal
di kalangan aktivis pemuda. Dia sudah mantap melupakan kisahnya di
rumah. Terutama, tentang ibunya yang rela membiayai kuliah anaknya
dengan uang haram.
“Ini yang aku cari. Aku tak peduli meski aku tak punya uang. Aku
miskin tak bisa melanjutkan kuliah asal apa yang kumakan halal. Yang
wajib, cari ilmu, bukan kuliah,” jelas Mufid setiap kali ada yang
bertanya kepadanya.
Berbulan-bulan Mufid tak pulang hingga menjelang Hari Raya Idul
Fitri. Markas aktivis sudah sepi. Hanya Mufid yang masih di sana.
Sebagai seorang anak, sedikit demi sedikit, kerinduan terhadap orang
tuanya pun muncul. Tapi sayang, dia tak mempunyai bekal pulang.
Teman-temannya yang biasa meminjami uang, tak ada. Semuanya pulang.
“Aku mungkin harus menjual ponsel ini. Hanya inilah satu-satunya barang berharga. Aku harus segera pulang,” gumam Mufid.
Dua hari setelah Lebaran, Mufid pun pulang ke rumah. Tak ada yang
berubah di desanya. Hanya, rumahnya sepi. Bapak tak ada. Kakak dan
adiknya juga tak ada. Ibunya pun entah ke mana.
Dia lalu menuju gubuk tempat ibunya berjualan makanan. Betapa
senangnya ibu melihat anaknya kembali. Dengan sedikit berlari, ibu
mendekati Mufid dan memeluknya.
“Pripun kabare, Bu?” senyum mengembang di wajah Mufid.
“Alhamdulillah baik-baik saja, Nang. Kamu kemana saja? Kok ndak ada kabar?”
Mufid tak menjawab pertanyaan ibu, malah berbalik bertanya, “Rumah
kok sepi? Bapak ke mana? Adik ke mana? Biasanya kalau Idul Fitri kan
pada kumpul, Bu?”
Ibu diam, matanya sayu.
“Bu!”
Tiba-tiba mata ibu berkaca-kaca. Dengan nada terbata-bata, ibu
mengatakan, “Ibu dicerai bapakmu.” Mufid kaget. Ekspresinya sama seperti
saat dia mendengar kabar togel yang dilakukan ibunya.
“Kenapa? Ada apa, Bu?” tanya Mufid.
“Kenapa kau pergi?” ibu balik bertanya.
“Kabar dari Kang Parno, Bu.”
“Itu jugalah yang membuat bapakmu menceraikan ibu.”
Kali ini ibu benar-benar menangis. Mufid mencoba mengalihkan pandangan ke pohon-pohon cengkih di sekitar gubuk.
“Kau juga akan meninggalkanku, Nang?” tanya ibu.
Mufid menunduk. Dari sudut matanya keluar air mata. Tak tega dia
melihat ibunya sendiri. Tapi, ini memang kesalahannya, rela berbuat yang
sangat hina demi uang.
“Ibu sudah tobat, Nak. Tapi, bapakmu tak mau tahu. Sekarang ibu sendiri di rumah. Tak ada yang menemani.”
Melihat air mata menetes di pipi ibu, Mufid tak kuasa. Dia menangis terisak-isak.
“Bu, aku kembali untuk mencari ketenangan setelah lama jauh dari
keluarga. Tapi, mengapa aku malah dipertemukan dengan kepahitan ini?”
Ibu mengusap air mata yang membasahi pipi.
“Tak ada gunanya aku kembali, Bu.”
“Temani ibu, Nang! Ibu tak bisa hidup sendirian seperti ini.”
“Untuk saat ini, aku belum bisa menerima kepahitan ini. Tak mau aku harus tenggelam dalam penderitaan.”
“Lalu, kamu sekarang mau apa?” tanya ibu.
“Aku pergi, Bu.” Mufid meninggalkan ibu yang masih terisak menangis. Tak tahu sampai kapan dia harus meninggalkan ibu. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar