Cerpen Mahwi Air Tawar
Terbit di Suara Merdeka, 2 Desember 2012
TAREBUNG terus menerka-nerka, di laut manakah sebenarnya, ia,
istri dan lima pengungsi itu berada. Ya, semenjak tiga hari lalu, ketika
kali pertama ia menaiki perahu hingga berangkat, ia bersama lima
pengungsi itu tak pernah keluar di siang hari. Hanya sesekali, keluar di
malam senyap, dan sesudah itu, ia segera masuk kembali, ngelangut di
atas geladak yang dikelilingi kayu-kayu papan.
Tapi, ada yang aneh, batin Tarebung. Kerisik langkah kaki terdengar
dari atas dek. Desau angin juga asin garam. Tarebung mengulum senyum
ketika sayup-sayup ia mendengar suara azan dari kejauhan, mengalun,
mungkin dari sebuah masjid tempat ia mengajari anak-anak mengaji.
Begitulah ia menerka. Dan, ah, gumamnya dalam hati. Ragu mulai membelit
pikirannya. Bukankah selama beberapa tahun sejak ia tinggal di rantau,
tak pernah ia mendengar senandung azan seindah itu, begitu merdu?
Tarebung luruh dalam irama azan. Perlahan, bibirnya bergerak
mengikuti senandung itu, pelan, dan serak. Dan diam-diam, matanya
berlinangan. Sejenak ia kembali mengulum senyum. Ada desir bahagia. Ia
pun acuh saat lima orang yang duduk tak jauh darinya, menatapnya dengan
raut antara ketakutan, benci, dan muak. Ya, mereka benci sebab Tarebung
membawa serta istrinya, Ne’Tatri, yang tak lain adalah penduduk asli
daerah babunuhan, tempat pembantaian berlangsung.
Tarebung kian luruh. Ia seperti tengah berada di suatu tempat yang
tidak asing lagi baginya. O, masa kanak-kanak yang jauh, teramat jauh.
Ia, terkenang, terutama jelang Lebaran, saat ia dan teman-temannya
berlomba untuk tiba paling awal di masjid, lalu mengumandangkan azan.
Tarebung tak gentar saat kedua orang tuanya mengancam, menyuruhnya lekas
pulang. Seusai sembahyang, bersama teman-temannya, Tarebung keliling
kampung, mengunjungi rumah yang sudah direncanakan sebelumnya, juga
melihat-lihat rumah siapa saja yang akan dikunjungi esok harinya. “Siapa
kira-kira yang lebih banyak ngasih uang?” tanyanya pada Surapak.
Ya, warga yang murah hatilah yang bakal mereka kunjungi. Mereka asyik
menyebut nama-nama yang akan dikunjungi esok hari, seusai shalat.
Tarebung geli, ingat saat itu, betapa bangga bisa memamerkan baju baru
yang dibelinya di Pasar Banyuates.
O, sial, lamunannya seketika buyar. Tarebung meradang. Dari anjungan,
tiba-tiba, seseorang berteriak, “Urang-urang, siap. Turun!” perintah
awak perahu pada Tarebung dan Ne’ Tatri, juga lima pengungsi lainnya.
Tarebung menarik napas panjang. Kenangan masa kanak-kanak itu
memakunya. Lantunan azan terus menggema di hatinya. Tapi, ah, betapa ia
tersayat, dan paras sayu Ne’ Tatri, merontokkan keping-keping kenangan
yang dirajutnya itu. Dalam sekejap, gema azan yang syahdu, menjelma
pekik tangis, mendera udara. Jerit panjang kesakitan orang-orang yang
menjadi korban babunuhan.
Ditatapnya wajah Ne’Tatri. Kebahagiaan menyambut hari besar yang
direnggut petaka. Sementara lima orang pengungsi dari daerahnya, masih
menatap muak pada istrinya.
***
NE’ Tatri yang tengah hamil tua, sejak naik perahu dari
pelabuhan, hanya menunduk, antara menahan tubuh yang payah dan
menanggung ngilu, sadar akan posisinya di antara sisa pengungsi yang
selamat dari babunuhan. Ia benar-benar tak berani menatap wajah
mereka. Ketika ia, tak sengaja bersitatap, yang terlintas dalam benaknya
hanya kematian. Melintas bayang tanah kelahirannya, yang kini penuh
dengan bangkai manusia. Barangkali dirinya akan turut dibantai setelah
tiba di tempat lain. Ia dicekam rasa ngeri.
Sepanjang perjalanan, Ne’Tatri tak henti-hentinya mengutuk peristiwa babunuhan, antara orang-orang tanah kelahirannya dan orang-orang tempat suaminya berasal, Madura. Oh, Hattala… Buhen ikau malulus taluh papa tuh?
Dari balik pintu yang sudah miring, samar-samar, ia melihat kepulan
asap membubung. Gundukan puing-puing, reruntuhan rumah, kios, pasar. Dan
jalanan yang mendadak jadi jelapang bangkai manusia, tubuh-tubuh
tercacah, berserak. Lalat-lalat mendesing, berkerubung. Langit pucat.
Guruh ombak di pelabuhan bagai erangan pilu ribuan korban, menyayat,
dari serpihan teratak-teratak rumah sehabis dibakar. Ne’Tatri bergidik.
Miris.
Tarebung tak kuasa beranjak. Ia terus mendesiskan kalimat-kalimat
zikir. Angin mendesirkan bau bangkai, anyir kepala-kepala yang remuk dan
digelindingkan, dilempar jauh ke pelabuhan. Burung-burung gagak
menukik, mematuk usus yang terburai. Buncahan buih, merah. Kepala-kepala
tanpa tubuh mengapung diseret arus. Perahu-perahu, kalotok,
kapal, bergerak lambat. Sekumpulan orang setengah telanjang dari arah
reruntuhan bergerak beringas, berteriak, mengacungkan mendung, mandu.
Dan, dari arah lain beberapa lelaki mengayunkan celurit. Kelebatan
parang maya menebas selapis napas kaum pendatang.
Sejarak pandang dari tempat Tarebung bersembunyi, kurumunan orang
berteriak penuh gegap-gempita, menendang dan mengumpat, jijik! Peristiwa
babunuhan yang sudah berlangsung berhari-hari itu membuatnya tak berani keluar, begitu juga Ne’Tatri, istrinya.
“Palangabak!” ratap Tarebung.
Beberapa tentara yang berjaga di sekitar tenda pengungsi, menoleh,
tak senang. Mata mereka merah, semerah riap api dari gundukan mayat,
yang sengaja dibakar. “Hai, Mandura. Jangan bikin gara-gara lagi!”
bentak seorang tentara dengan pandangan nyalang, mengancam. “Mau
kepalamu dijadikan bola pingpong. Hah?” gertaknya sambil mengisap rokok,
sementara yang lain memandang Tarebung dan istrinya, dengan sinis.
“Patek!”
“Apa katamu, Bajing?” Tentara itu memasuki tenda, tempat Tarebung
bersama Ne’Tatri bersembunyi.
“Katakan lagi!” bentaknya sambil
menodongkan ujung laras senapan ke kepala Tarebung.
“Macam-macam.
Kupisahkan kepalamu!” ancamnya, sambil melayangkan tendangan pada
pasangan suami istri itu.
Tentara-tentara berjalan tegap, menggiring para pendatang ke pelabuhan.
“Apa tak sebaiknya kembali, Kak?” Ne’Tatri mendesah ragu.
“Ahbo… kembali katamu?” Tarebung memelototi istrinya.
“Tidak. Kita musti ikut rombongan. Ngungsi!”
“Ke mana?” Ne’Tatri melangkah pelan, mendekati Tarebung yang semakin gelisah.
“Ke mana saja. Asal anak kita selamat.” Sahut Tarebung seraya memandang perut istrinya.
“Saya takut, Kak. Nanti apa tidak dibunuh orang Manduramu?” Ne’Tatri bertanya cemas.
“Kamu tak pikir keselamatanku kalau aku di sini?” sela Tarebung. “Cepat atau lambat aku akan mati kalau tetap di sini!”
“Nyatanya kita tidak diapa-apakan.”
“Iya, tidak diapa-apakan kecuali ditendang!”
Ne’Tatri tak menanggapi ucapan suaminya, ia gemetar. Air matanya menggenang. “Oh, Hattala… Buhen ikau malulus taluh papa tuh,” ratapnya tanpa mengalihkan pandang.
Air mata Ne’Tatri terus meleleh, menuruni lesung pipinya yang sembab.
Tapi aneh, sesekali Ne’Tatri tertawa sendiri. Dan ketika Tarebung
bertanya menertawai siapa, ia hanya menggeleng sambil merapatkan tubuh
ke suaminya. Diraihnya tangan suaminya, ditempelkannya di perutnya,
mengusap-usap perut buntingnya.
“Ia bergerak,” bisik Tarebung. “Tapi… addo, palangabak,” keluhnya. “Bagaimana kalau anak kita lahir di atas perahu?”
“Tak usah pulang, Kak,” Ne’Tatri merajuk.
“Tidak. Kita harus turun. Ikut reng-oreng!”
“Ia nendang-nendang, Kak,” Ne’Tatri, menghibur diri.
“Siapa?”
“Anakmu, Mandura….”
“Ah, cem-macam saja!”
Dari arah pelabuhan guruh mesin kalotok menderu-deru, ombak pecah. Buih beserpihan di udara. “Lebih cepatlah, Kunyuk!” teriak seorang tentara.
“Apa sebaiknya kita ikut serta mereka, Kak?” usul Ne’Tatri dengan suara getir.
“Addoh. Tak mungkin, Dik. Tak mungkin!” Tarebung menjawab, parau.
“Maksudmu ke Madura?” tanyanya.
“Ke mana saja, sebelum anak kita lahir.”
Wajah Ne’Tatri semakin kuyu, dua bibirnya mengatup, menahan sakit.
Sudah delapan bulan setengah usia kandungannya. Tubuhnya terus
menggelinjang menahan gerakan-gerakan kecil di dalam perutnya. Dan,
lantunan zikir Tarebung, terdengar pilu.
Oh, Hattala… Buhen ikau malulus taluh papa tuh.
Guruh mesin kapal menderu. Dentam ombak membantum. Langit pucat.
Burung-burung gagak menukik, menyesap jelapang tubuh yang terserak di
sepanjang jalan, pelabuhan. Wajah-wajah dirundung kelam, sepekat asap
yang membubung.
Tarebung meratap lirih sambil melirik pada para pengungsi Madura yang
duduk tegang di atas dek kalotok. Pun istrinya yang tengah hamil tua
itu. Ne’Tatri merasa diawasi ribuan mata orang-orang Madura. Sungguh, ia
benar-benar tak berani balas menatap. Mata-mata itu seakan terus
mengancamnya. “Duh, Gusti,” ratapnya sambil menghindari tatapan
orang-orang itu.
***
PELABUHAN Tanjung Perak tampak semarak. Orang-orang berjejal
berebut jalan masuk ke kapal, berebut tempat. Kemeriap lampu sepanjang
jalan ke arah pelabuhan seolah kunang-kunang, menjelma riap bara dari
gundukan bangkai manusia, reruntuhan rumah-rumah yang habis dibakar,
jauh di tempat asal Ne’Tatri, tempat Tarebung merantau.
Sampan-sampan yang hanya diterangi damar sumbu bergerak lambat. Dari
jauh, sayup-sayup terdengar senandung azan itu lagi. “Oh… Tidak, tidak!”
keluh Tarebung, sambil mendekap erat Ne’Tatri. “Azan itu mengingatkan
Kakak pada masa kecil,” Tarebung melangkah mundur lalu berpaling. “Dan,
kadang, suara-suara itu Ne’Tatri, seperti jeritan saudara-saudaraku di
tanah leluhurmu yang mati, jadi bangkai….” Tarebung tercekat.
Ne’Tatri bergeming. Entah apa yang terbesit dalam benaknya. Wajahnya
bertambah pucat, kakinya gemetar. Sementara lima orang itu masih saja
memandangnya, jijik, lalu beranjak, menjauh. Hingga seseorang datang,
petugas penjemput, hendak membawa mereka ke Madura.
“Orang-orang turun,” gumam Tarebung, menerawang jauh ke kerumunan orang-orang yang berjejal masuk di pelabuhan Tanjung Perak.
“Kak,” panggil Ne’Tatri. “Aku tidak mau ke Madura.” Tarebung tak
menyahut. Ne’Tatri terisak. Memandang jauh ke Selat Kamal, ke Tanjung
Perak. Dan ketika perahu yang hendak membawa mereka ke Selat Kamal
menepi, lima pengungsi itu nampak ragu-ragu, ketika seorang petugas
memberi perintah agar mereka lekas naik. “Naiklah. Mau turun, tidak?”
tanya seorang yang bertugas menjemput Tarebung bersama pengungsi lainnya
itu. “Mereka tak suka kalian pulang. Tak ada tempat bagi kalian di
sana!” teriaknya pada Tarebung.
Tarebung memandang istrinya, lalu pada lima orang yang sudah menaiki
perahu kecil yang sudah siap membawa mereka ke tanah kelahirannya. “Ke
mana kalian akan pulang?” tanya petugas itu lagi.
Tarebung menatap sayu. Ia peluk Ne’ Tatri, erat. “Kita tak akan ke
Madura,” bisiknya, menahan isak. Lalu ia menoleh pada petugas dan
memintanya segera pergi, membawa lima orang pengungsi.
“Mereka akan diungsikan di sebuah masjid!” kata petugas itu sebelum beranjak meninggalkan Tarebung dan istrinya.
Perahu yang memuat lima pengungsi itu bergerak menjauh, kian menjauh.
Tarebung dan Ne’Tatri masih berdiri. Sambil mengelus perutnya, Ne’Tatri
bertanya sendu, “Ke mana kita akan pulang, Kak?” Tarebung berpaling,
memandang nyalang ke arah pelabuhan Tanjung Perak, Selat Kamal, yang
dijejali pendatang.
“Akan tinggal di mana kita, Kak?” desak Ne’Tatri.
“Tak ada tempat tinggal,” jawab Tarebung, nyaris tak terdengar.
“Ke Madura?”
“Tak ada tempat bagi kita di sana.”
Dari arah pelabuhan Tanjung Perak, bunyi sirine kapal dan senandung
takbiran malam lebaran membahana di udara, mengiringi orang-orang yang
hendak pulang ke tanah asal, tanah leluhur. (*)
Yogyakarta, 2012
------
Catatan:
Oh, Hattala… Buhen ikau malulus taluh papa tuh: Ya, duh… Ya, Tuhan, kenapa begini kejam mereka saling tikam.
Palangabak: malangnya saya
Patek: anjing
Mahwi Air Tawar, lahir di Pesisir Sumenep,
Madura, 28 Oktober 1983. Sejumlah cerpen dan puisinya dipublikasikan di
pelbagai surat kabar. Kini, di samping sebagai editor lepas, ia
mengelola komunitas sastra Poetika dan Kaleles, kelompok Kajian Seni
Budaya Madura, di Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar