Cerpen Thohar Budiharto
Terbit di Suara Merdeka, 9 Desember 2012
BRC - BANTAL gel bundar itu menjadi tanda cinta kami. Bahwa cinta
kami sebening gel, sesempurna bundaran. Empat tahun sudah aku menderita
insomnia. Sepanjang waktu pikiranku bergerak, melompat-lompat, tak mau
diam. Bilapun aku jatuh tertidur, aku selalu bermimpi menjadi zombi
lapar yang berkeliaran di pasar-pasar. Begitu terbangun, tubuh dan
batinku terasa begitu letih. Puluhan artikel “how to” tentang tidur
pulas telah kubaca, kuterapkan. Tiada yang mujarab. Aku butuh tidur yang
sebenar-benarnya tidur.
Adalah siang itu, saat aku naik bus kota tanpa tujuan, kulihat sebuah
bangunan kotak kuning, mirip spons raksasa. “Toko Bantal Super” tertera
di muka dengan perca merah. Aku lekas turun dari bus, penuh harap
padanya.
Kumasuki toko itu. Tatapanku langsung tertuju pada seorang gadis
ramping berambut hitam panjang, berkemeja batik, dengan syal putih
melingkari lehernya, yang pada saat yang sama menatapku. Kuhampiri ia.
“Silakan pilih,” sambutnya.
Kupandangi puluhan bantal beraneka warna dan bentuk yang bertaburan
di atas lapak. Ada bantal segitiga biru, bantal matahari putih, bantal
pohon kuning, bantal kotak hitam, bantal kepala sapi merah, bantal
kepala elang magenta, dan sebagainya.
“Sepertinya saya suka yang itu,” aku menunjuk bantal bundar bening yang ia dekap di dadanya.
Ia tersenyum, menyorongkan itu bantal kepadaku.
Kuremas-remas bantal yang rupanya berisi gel bening itu, lalu
kutelekan kepalaku padanya. Aku memejam, lekas terlena, dan ambruk ke
atas lapak. Aku pun terjaga. Kutatap penuh syukur bantal empuk itu. Dan
kata sifat itu sematalah yang mampu merujuk citra gadis itu. Posturnya
empuk di mataku. Suaranya empuk di telingaku. Aromanya empuk di
hidungku. Sentuhannya pun empuk di kulitku.
Tiba di rumah, kuganti bantal kotak putih di ranjangku dengan bantal
yang baru. Bantal yang lama kulemparkan kuat-kuat melalui jendela.
Barangkali ia lebih berjodoh dengan seorang gelandangan.
Aku naik ke ranjang, telentang berbantal super itu. Aku langsung terlelap.
***
PAGI itu aku bangun dalam keadaan bugar. Aku tidur tanpa mimpi!
Usai mandi, kukenakan kostum batikku. Aku sarapan soto ceker di warung lalu naik bus kota A1 menuju Toko Bantal Super.
“Silakan pilih,” sambut si gadis penjual bantal, tersenyum empuk. Matanya pun berbinar empuk.
Ia menatapi bantal-bantal itu lalu mengambilkan satu untukku.
Kurengkuh bantal tanpa-warna tanpa-ben-tuk itu. “Sebenarnya saya tadi sudah memilih yang ini,” kataku.
Mendekap bantal tanpa-warna tanpa-bentuk di dada, aku naik bus A2,
duduk di kursi belakang. Entah kenapa, apa saja yang kulihat menjadi
tampak empuk. Yang kudengar, terdengar empuk. Yang kuhidu, berbau empuk.
Aku pun tertawa-tawa. Ini mungkin yang namanya bahagia. Segalanya empuk
melulu. Maka kucurahkan isi hatiku kepada kondektur muda bersarung
kotak-kotak cokelat tua, berkemeja putih, dan berpeci hitam itu.
“Kalau saya jadi Bapak, saya pacari cewek itu,” ia menanggapi. “Itu
yang orang-orang lakukan kalau saling suka. Ayo Pak, keburu disikat sama
bosnya atau cowok yang lebih muda!”
Tiba-tiba bantalku berkurang empuknya. Apa yang kulihat, kudengar,
kuhidu, kurasa, pun tak lagi empuk. Aku kehilangan rasa empukku. Aku
kehilangan kebahagiaanku.
***
PAGI itu aku terbangun dalam keadaan letih, haus, dan lapar.
Kepalaku pening, badanku pegal. Tadi malam aku bermimpi dikejar
bantal-bantal. Aku lari, sembunyi, tapi mereka ada di mana-mana,
melayang-layang, menghantuiku. Aku butuh bantal baru. Aku butuh menemui
gadis itu.
Kutengok jam dinding. Baru jam tujuh. Padahal jam sembilan Toko
Bantal Super baru buka. Aku tak tahan lagi. Kubanting piring-piring di
almari. Gelas jus kulempar keluar dari jendela.
“Aduhiyuuung!’’
Oh, kena orang kayaknya. Tapi itu bukan urusanku. Urusanku, membunuh waktu.
Ah, kubereskan saja pecahan-pecahan piring ini. Kuambil sapu dan
pungki. Tunggu dulu, aku berkacak pinggang. Kupakai sepatu kulitku lalu
kuinjak-injak beling-beling itu, hingga bunyi krak-krak menjadi
kres-kres, baru kemudian kusapu dan kutuangkan ke pot-pot tanaman di
pekarangan. Kemudian kuteringat sesuatu. Tukang kebunku yang kupecat
empat tahun silam. Ia lupa mengisi air kolam renang di belakang rumah.
Akibatnya fatal. Pagi-pagi aku bangun dan, sebagaimana kebiasaanku
berenang untuk memulihkan kesadaran, aku terjun menghantam beton.
Kepalaku bocor. Sejak itulah aku menderita insomnia.
Aku bergegas menaiki tembok pagar samping, celingukan. Orang yang
kena lemparaan gelas tadi laki-laki, jelas dari suara makiannya.
Jangan-jangan ia mantan tukang kebunku itu. Mungkin ia masih merasa
bersalah, diam-diam menyirami tanaman-tanaman dan mengisi kulkasku
selagi aku pergi. Tak kudapati siapa pun. Tapi gelas itu tergeletak di
comberan.
Aku melompat turun pagar untuk mengidentifiksi TKP. Di atas konblok
kudapati ceceran sawi, seledri, dan kacang panjang. Masih segar. Aku tak
keliru!
Kupungut gelas.
Kemudian tampak di mulut gang seorang lelaki kerempeng berdiri diam
menatapku dengan mulut menganga sambil memegangi gerobak sayur.
Sepertinya ia telah mengawasiku sejak tadi. Aha! Wahai, tukang sayur
keliling, kini aku mengenali makianmu!
Berdiri mematung, membisu, kami saling menatap. Aku memegang gelas,
ia memegang gerobak. Detik-detik senyap hingga dapat kudengar desah
napasku.
Sekonyong-konyong ia melesat ke arahku!
Aku terjengkang masuk comberan; gelas terlempar.
Tiba-tiba, entah muncul dari mana, seekor anjing herder hitam raksasa
mengejar si tukang sayur. Satu per satu mereka berlari melewati mukaku.
Kuikuti adegan itu hingga mereka lenyap di tikungan.
Aku buru-buru bangkit, keluar dari got. Gelas terkutuk itu
kutinggalkan. Aku kembali melompati pagar. Kubasuh tubuhku di pancuran.
Dalam keadaan telanjang aku masuk rumah. Kutengok jam dinding. Jam
08.00.
Aku mandi lagi. Kukenakan kostum batik lalu bergegas naik bus A2 ke
Toko Bantal Super. Dengan memutar, aku akan tiba lebih lama. Aku butuh
membunuh waktu. Lagipula, aku butuh saran kondektur itu.
Kursi banyak yang lowong tapi aku memilih berdiri dekat pintu.
Kubisiki kondektur itu, “Hari ini aku berniat mengajaknya kencan. Ke
mana, menurutmu?”
Sebentar kemudian ia balas berbisik. “Ajak dia nonton film horor di
bioskop, Pak. Biar nanti Bapak punya alasan untuk memeluk dia tiap kali
ada adegan seram.”
Tiba di selter tujuan, kusalami ia erat-erat lalu turun.
Toko Bantal Super sudah buka, kumasuki. Gadisku menyambutku dengan senyum empuknya. Aku kembali bahagia!
“Nona, apakah Nona pernah menjumpai orang yang sudah mati tapi mondar-mandir ke sana kemari?” aku mulai bicara.
Dahinya mengernyit. “Zombi?”
“Ya! Zombi! Empat tahun ini saya jadi zombi, Nona. Hingga kemudian
saya berjumpa Nona. Saya kembali merasa hidup! Nona, nanti malam ada
acara? Kita nonton film horor di bioskop, yuk?”
Ia tercenung sejenak, lalu mengangguk.
Bungah hatiku, kuborong sepuluh bantal hati merah muda.
Aku pulang dari toko dengan tangan berbantal-bantal, dengan hati
berbantal-bantal. Nanti petang aku akan datang lagi, menjemput gadisku.
Di dalam bus A2 yang kunaiki kubagikan bantal-bantal itu kepada para
penumpang. Sisa dua, kukasih ke kondektur dan sopir. Si sopir menolak
karena sudah punya bantal kotak kotak-kotak.
Tiba di rumah aku membantingi piring dan gelas yang tersisa,
kuinjak-injak, lalu kusapu hingga bersih. Kubuka gudang di belakang.
Tampak botol-botol kaca beragam bentuk, berisi cairan beraneka warna.
Kuambil sekaligus beberapa dan kubanting ke lantai. Ledakan keras
membuatku melompat ke udara. Asap mengepul, busuk baunya. Buru-buru
kututup gudang itu kemudian aku beralih ke gudang satunya. Tampak sepeda
gunung merah teronggok di sana. Kubongkar bagian-bagiannya untuk
kurakit kembali. Hingga menjelang petang aku tak sanggup
meram-pungkannya. Aku menyerah. Aku lekas mandi, lalu pergi menjemput
gadisku.
***
KAMI duduk bersisian di kursi bagian kiri bus B1 yang penuh penumpang, menuju Bioskop X.
“Saya punya teman,” kata gadisku. “Dia juga suka nonton film horor.”
“Temanmu itu… kondektur?” tanyaku serak.
“Mas tahu?” ia menoleh padaku dengan cerlang di mata.
Aku angkat bahu. “Kondektur bus sering menyaksikan kecelakaan di jalan. Jadi mereka suka nonton film horor.”
“Oh,” desahnya sambil garuk-garuk kepala. “Mas juga kondektur? Atau dokter?”
“Bukan,” aku menggeleng. “Saya Cuma tukang reparasi sepeda. Kebanyakan sepeda rusak akibat kecelakaan.”
“Oh,” desahnya.
“Nona, maafkan saya. Sebaiknya kita pulang saja.”
***
HARI ini aku pulang tanpa membawa bantal baru. Tanpa rasa
kehilangan. Tanpa rasa cemburu. Tangan dan hatiku terasa ringan, tanpa
beban.
Aku naik ke ranjang. Kepala bertelekan bantal gel bundar; tubuh terkubur dalam bantal-bantal yang lain.
“Kau bau gadis itu,” tiba-tiba kudengar salah satu bantal itu berbicara.
Aku menanggapi dengan bergumam.
“Dan apa rencanamu selanjutnya?”
“Melupakannya.”
“Loh? Kok?”
“Kalian sudah cukup menjadi teman-temanku.” Kudekap bantal-bantal itu. “Tapi aku merasa bersalah,” kesahku kemudian.
“Kenapa? Apa yang sudah kau lakukan padanya?”
“Bukan pada gadis itu. Tapi pada tukang sayur yang dikejar anjing
tadi pagi. Semua itu gara-gara aku melempar gelas sembarangan.”
“Oh dia. Kakinya putus digigit anjing. Mungkin dia harus pensiun jadi tukang sayur.”
“Malang sekali,” desahku. “Besok aku akan menjenguknya. Kupikir kita wajib membantunya.”
“Ya. Dan jangan lupa kau ambil bantal yang dulu kau lempar itu. Dia
tersangkut di pohon randu sebelah rumah. Dia saksi tragedi itu.”
***
SORE itu seorang lelaki paruh baya mendatangi rumahnya di tepi
kali. Katanya ia tinggal sekampung dengannya. Ia menawarinya tinggal di
rumahnya dan bekerja sebagai tukang kebun. Gajinya per minggu, tiga
kali lipat daripada penghasilan rata-ratanya sebagai tukang sayur. Ia
menawar, pagi hari ia berjualan sayur keliling, lalu sepulangnya
berkebun di rumahnya.
Esok siangnya, sepulang dari berjualan sayur, ia mulai tinggal dan
bekerja di rumah gedong itu. Lelaki itu bujangan, tinggal sendirian. Ia
mengaku sebagai mantan ilmuwan yang pensiun dini dan hidup dari royalti
sebagai penemu unsur kimia ke-119 yang diberi nama Bantalium. Kerjaannya
sehari-hari berenang di kolam belakang rumah atau membongkar-pasang
sepeda gunung di gudang. Namun menurut para tetangga, ia mantan anggota
DPR yang frustrasi karena tidak terpilih lagi dan ditinggal pergi oleh
istri dan kedua anaknya.
Begadang nonton sepak bola di televisi, tukang sayur merangkap tukang
kebun dan tukang masak itu terbangun kesiangan. Ia bergegas bangkit dan
berlari lintang-pukang ke kolam renang. Tadi malam ia mengurasnya.
Seharusnya subuh tadi ia kembali mengisinya.
Di tepi kolam ia menjerit tertahan, mendapati sang tuan diam tengkurap di dasar kolam. Darah menggenang di sekitar kepalanya.
Sang tuan koma, dirawat di rumah sakit.
Suatu pagi, empat tahun kemudian, saat ia mendorong gerobak sayurnya,
ia mendapati tuannya sedang memungut gelas di got samping rumah
gedongnya. Butuh beberapa waktu baginya untuk menjadi yakin bahwa
sungguh itu tuannya, sudah siuman dan pulang sendiri. Ia pun berlari
menyongsong sang tuan. Tak waspada, tak sengaja, ia menginjak buntut
anjing. Anjing hitam besar itu pun ngamuk, mengejarnya ke seputaran
kampung hingga ia terperosok ke dalam selokan. Untung anjing itu lekas
digebuki warga, tak sempat menggigitnya. Ia opname di rumah sakit.
Seorang warga penjenguk ia titipi pesan untuk tuannya. Namun sang
pembawa pesan kembali dengan kabar yang menyesakkan. Si tuan menjadi
gila dan menggelandang ke pasar-pasar oleh karena cintanya yang bertepuk
sebelah tangan kepada seorang gadis penjual bantal. (*)
-------
Thohar Budiharto, giat membaca dan mengarang fiksi.
Lahir di Gunungkidul, 1 Maret 1983. Pernah kuliah di Farmasi UGM.
Bekerja sebagai editor freelance. Bergiat sastra di Sanggar Kemanusiaan (Sarkem). Sementara ini, ia tinggal di lereng Merapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar