Cerpen Akira Adhisurya
Terbit di Suara Merdeka, 18 November 2012
Bahan Referensi Cerpen - PERNAHKAH terselip keinginan pada diri kita untuk,
betapa pun kecilnya, kembali ke masa lampau, menghidupinya lagi seperti
masa kini? Tanpa kita sadari itulah yang sebenarnya terjadi ketika kita
melangkah ke dunia maya. Itulah salah satu esensi Facebook yang sekarang
nyaris dimiliki siapa saja asal dia tidak buta internet. Bukankah
jejaring sosial ini mempertemukan kembali para pelaku masa lampau?
Selain teman masa kini dan teman yang belum pernah ditemui, seorang
pemilik profil Facebook pasti juga kembali bersua dengan teman masa
lalunya. Tidak jarang pula perjumpaan di alam maya Facebook berlanjut
dengan pertemuan yang sebenarnya: para pelaku masa lampau akhirnya
kembali bergaul di masa kini.
Layak kutegaskan, pertemuan yang berikut kututurkan bukanlah
gagasanku. Itu ide Wati tak lama setelah kuberitahu tentang
kedatanganku. Dalam salah satu pesannya, dia sudah kirim ratusan pesan
sejak satu setengah tahun bergaul lewat Facebook denganku, adik kelas
bekas asistenku ini mendesak-desak untuk bertemu secepatnya, karena 10
hari kemudian dia akan pulang kampung dan itu berlangsung selama sebulan
lebih.
“Aku datang sama-sama Yumi ya, masih kenal kan?” Wati akhirnya menghubungiku lewat telepon antarbenua.
“Masih dong, bagaimana bisa melupakan Yumi?” Aku pura-pura tetap
tenang, walau darah tersirap dan jantung riuh berdegup mendengar nama
itu disebut.
Baru belakangan kutahu, walau tak seangkatan, Wati ternyata kenal,
bahkan bersohib kental dengan Yumi. Setelah menikah dengan Sawamura
Yoshio, tapi tetap memilih bernama Dyah Sekarwati, ia tinggal mengayuh
sepeda kalau ingin bertemu Yumi. Mereka tidak hanya sekota tapi juga
selingkungan di wilayah Kansai, Jepang Barat.
Lebih dari itu, ini mungkin yang mendekatkan mereka, keduanya
(pernah) punya hubungan dengan pria asing, Wati dengan Sawamura dan Yumi
dengan aku, walaupun akhirnya jalan hidup masing-masing berbeda. Betapa
tidak? Mereka naik ke pelaminan. Sedangkan aku? Yumi yang begitu cantik
dan cerdas itu kutinggal saja, karena ketika pindah ke Amsterdam
sebagai akademikus pemula, kupilih orang lain. Baiklah akan kututurkan
kisahnya. Dalam perkara Yumi, pena ini selalu ingin menggoreskan banyak
cerita.
Setelah pembicaraan telepon dengan Wati, aku tak pernah lagi secara
khusus berupaya bertanya soal rencananya ke Kyoto untuk menjengukku. Dia
berharap bisa cepat-cepat ketemu Yumi yang baru saja kembali ke Jepang
setelah satu setengah tahun bekerja di luar negeri. Kontak dengan Wati,
seperti yang sudah-sudah, hanya melalui Facebook.
Aku sendiri tenggelam dalam pelbagai kesibukan kerja dan mengurus
keberangkatanku. Mulai dari soal visa, tiket pesawat, sampai masalah
izin tinggal di Belanda yang ternyata akan harus diperbaharui supaya aku
bisa kembali ke Amsterdam. Belum lagi urusan flat di Kyoto yang butuh
penanganan khusus, karena flat di perumahan internasional Oubaku sudah
penuh.
Dalam keadaan seperti ini, aku hanya menjawab beberapa pertanyaan
Wati. Tak pernah kuajukan satu pun pertanyaan padanya. Padahal betapa
banyak yang ingin kutahu soal Yumi: siapa pasangan hidupnya, berapa
anaknya, bekerjakah dia, seperti yang selalu dia inginkan dan masih
banyak lagi. Wati pasti bisa memuaskan dahaga yang satu ini.
Menyusul pembicaraan telepon itu, kuduga Wati cuma berolok-olok
ketika bertanya adakah diriku masih kenal Yumi. Tapi beberapa hari
kemudian pikiranku berubah. Sama sekali tak terdengar nada sindiran pada
cara Wati bertanya, tak pula kudengar isyarat nakal bahwa ia tahu aku
pernah begitu dekat dengan Yumi.
***
KALAU kupikir-pikir, Wati sendiri juga baru pindah ke Kobe
tahun 1992, beberapa tahun setelah hubunganku dengan Yumi kandas.
Layaklah untuk disimpulkan: Wati memang tak tahu aku dan Yumi nyaris
menikah. Yang lebih penting lagi, ini berarti Yumi, walaupun begitu
dekat dengannya, tidak pernah memberi tahu Wati betapa dulu dia sempat
begitu dekat denganku.
Maukah Yumi menerima ajakan Wati menemuiku di Kyoto? Soal ini aku
sering tercenung. Kalau memang tak ingin memberitahu hubungan yang
pernah ada antara dia dengan aku, Yumi pasti akan menerima ajakan itu,
kecuali kalau dia ada urusan lain. Itu pertimbangan optimistisku. Bukan
tanpa alasan, satu setengah tahun bersanding dengannya, aku yakin Yumi
selalu optimis dan pragmatis.
Yang jelas pada suatu malam, ketika sedang menyusuri profil dan
foto-foto baru Wati pada Facebook, mataku tertancap pada nama Kitada
Yumi, salah satu teman facebookWati. Kembali jantungku ribut berdegupan. Kubuka profil itu, tapi tentu saja tak bisa, karena aku tak berteman dengannya.
Yumi jelas tidak menggunakan Facebook untuk unjuk diri, apalagi
nampang. Ia tak akan mengizinkan orang lain—yang bukan sahabat—untuk
menjenguk profilnya. Lain sekali dengan orang Medan kenalanku yang
sekarang tinggal di Groningen itu. Dia bentangkan profilnya untuk umum,
teman atau bukan, termasuk semua fotonya. Pada profil Yumi hanya tampak
satu fotonya. Itu pun tak bisa dibesarkan. Walau begitu bisa terlihat
Yumi sudah berubah dari yang pernah kukenal, nyaris 25 tahun silam.
Sekarang raut muka dan sorot matanya lebih memancarkan wibawa dan rasa
percaya diri.
Haruskah kukirim permintaan menjadi teman? Atau mungkin kirim pesan
dulu? Dalam bahasa apa? Bahasa Inggris atau bahasa Indonesia? Pernah
kudengar, ketika hubungan kami berakhir, Yumi pergi ke Indonesia,
menjadi guru bahasa Jepang pada sebuah SMA. Entahlah, tak bisa langsung
kuputuskan. Malam sudah larut dan kantukku sudah terlalu berat untuk
bisa mengambil keputusan pelik ini. Dengan meraba-raba, karena mata
sulit dibuka lagi, kumatikan komputer untuk melangkah terhuyung-huyung
ke tempat tidur, tanpa kurasa perlu gosok gigi dulu. Aku langsung
terlelap, tak ditegur lagi karena dia yang terbaring di sisiku juga
sudah di alam mimpi.
***
YUMI memanggil-manggil, sementara aku telungkup dalam selokan
dengan tangan terikat ke belakang dan mulut tersumbat. Bagaimana bisa
menjawab panggilan itu? Aku hanya bisa bergerak-gerak dan berupaya
mengeluarkan suara dari mulut yang tersumbat. Tentu saja Yumi tak bisa
mendengarku.
Mimpi seperti itu membulatkan tekatku: begitu bangun segera kukirim
permintaan pertemanan pada Yumi. Diterima syukur, tidak juga tak apa.
Begitu pikirku, seraya bergegas mengayuh sepeda ke tempat kerja. Mimpi
membuatku kesiangan. Hari itu aku sibuk seharian di laboratorium,
sehingga tak ada waktu lagi bagi internet apalagi Facebook. Ketika
malamnya sampai di rumah, itulah yang pertama-tama kulakukan, melihat
Facebook. Bisa jadi senyuman lebar menyungging di bibirku mendapati
permintaanku diterima oleh Yumi.
Belum lagi lepas sepatu atau ganti pakaian, langsung kubenamkan
perhatianku membuka-buka profil Yumi. Sendirian setiap Rabu malam, aku
bisa terus asyik tanpa ada desakan berbuat lain. Dari foto-fotonya
tampak ia banyak bergaul dengan orang Indonesia, yang perempuan sebagian
berjilbab, yang pria biasa-biasa saja, tidak berbaju koko atau
berjanggut. Siapakah mereka? Jumlah temannya tidak banyak, tidak sampai
seratus orang. Satu-satunya teman berbarengan kami adalah Wati. Pada
bagian info juga tidak banyak keterangan, kecuali alamat emailnya.
Dugaanku terbukti: Yumi bukan orang yang menggunakan Facebook untuk
nampang dan unjuk diri. Kesanku, jejaring sosial ini hanya digunakannya
untuk berhubungan dengan kenalannya, terutama orang Indonesia.
Apalah mesti kuperbuat? Haruskah kugoreskan pesan pada dindingnya,
haruskah kukirim pesan pada kotak suratnya? Bagaimana sebaiknya menyapa
Yumi? Untung kulihat dua hari sebelumnya dia ulang tahun, beberapa pesan
yang ada di dindingnya berisi ucapan selamat. Betapa bodoh diriku tak
ingat lagi hari ulang tahunnya! Segera kutulis ucapan serupa, ditambah
terima kasih karena sudah mau berteman, dalam bahasa Inggris. Kami
memang bertegur sapa dalam bahasa itu. Aku tak bisa bahasa Jepang, dia,
waktu itu, tak bisa bahasa Indonesia, kami tergantung pada bahasa
ketiga. Inggrislah jadinya.
***
DUA hari kunanti, tak ada jawaban. Aku mulai resah:
jangan-jangan ini balas dendamnya karena dulu, ketika belum ada surat
elektronik atau fax, dia sering lama menanti suratku. Memang sering
kutunda-tunda membalas suratnya. Kalau kulihat-lihat profilnya, dan ini
sudah berkali-kali kulakukan, sebenarnya Yumi memang tidak membalas
pelbagai ucapan selamat yang terpampang pada dinding facebook-nya. Jadi sulit dikatakan itu merupakan balas dendamnya terhadapku.
Kebetulan hari itu kuterima alamat flat yang akan kuhuni kalau, dalam
beberapa hari, aku tiba di Kyoto. Flat itu terletak di Jyodoji,
bilangan Sakyo, dekat kuil perak Ginkaku-ji, Kyoto Barat. Ini memang
masih di sekitar kampus pusat, artinya jauh dari Kampus Uji, tempat
kerjaku. Terbiasa dengan keramaian Leidseplein di jantung Amsterdam,
aku ogah menyepi ke pinggiran Kyoto. Ke kampus Uji tidak terlalu sulit,
sejam sekali ada bus bolak-balik ke sana dari kampus pusat. Bagaimana
kalau kukirim pesan berisi alamat itu kepada mereka berdua, Yumi dan
Wati? Bahkan alamat asli dalam aksara Kanji? Tanpa pikir panjang lagi
itu kulakukan.
Ketika bangun esok paginya, sebelum ke kamar kecil, komputer
kunyalakan dulu. Pancingan mengena! Yumi bereaksi, dalam bahasa Inggris
ia berterima kasih atas pemberitahuan itu, dan kepada Wati, dalam bahasa
Indonesia, dia menyatakan hanya bisa tanggal 3 Juni. Sekembali dari
kamar kecil, kudapati pesan Wati, setuju dengan tanggal itu. Tentu saja
itu soal rencana pertemuan denganku, jadi Yumi akan datang! Kali ini
jantungku serasa melonjak, mungkin karena bosan harus terus berdegup.
Kurasa aku harus bertindak sopan, jadi kutanyakan dulu ada apa tanggal 3
Juni itu.
Sejak saat itu mulai terjalin kontak dengan Yumi, tidak secara
pribadi, tapi selalu bersama Wati. Aku tak berani menyapanya sendiri,
misalnya dengan mengirim pesan langsung padanya. Apa yang mesti
kugoreskan? Sesuatu tentang masa lampau? Darinya juga tak kuterima pesan
khusus. Semua pesan yang dikirimnya selalu ditujukan pada Wati
(Wati-sama, sapaan pembuka surat dalam bahasa Jepang) dan aku
(Dewa-sama).
Ketika kuberi tahu alamat Kyoto itu, Wati langsung menjawab dengan
memberitahu nomor telepon genggamnya. Kemudian kujawab pula dengan nomor
ponsel Belandaku serta alamat kantorku, Kagaku Kenkyu-Jo, artinya
Institut Penelitian Kimia, Universitas Kyoto. Aku berjanji akan
memberitahu nomor telepon kantor, begitu kuketahuinya.
Jujur saja, kepada Yumi dan Wati aku juga ingin pamer: bukan
sembarangan kalau seseorang bisa diterima sebagai peneliti tamu pada
salah satu lembaga penelitian tertua (didirikan tahun 1926) dan
bergengsi Jepang ini. Apalagi di masa lampau salah seorang penelitinya
pernah meraih Hadiah Nobel Kimia. Memang belum ada orang sebangsa yang
memperoleh kehormatan ini, tapi terus terang itu juga bukan ambisiku.
Mana mungkin aku yang meniti karier di luar negeri ini bisa meraih
kehormatan setinggi itu? Aku cuma berharap pengalaman Jepang ini akan
sedikit mengobati rasa bersalah karena sepanjang karier aku
terus-terusan membelakangi Tanah air. Dengan kesempatan melanjutkan
penelitian spektometri massa, aku berharap bisa memperbesar peluang
pulang kampung. Di Tanah Air, orang mulai melihat makna dan manfaat
spektometri massa, paling sedikit sebagai tolok ukur dalam indentifikasi
isotop atau molekul.
Yumi ternyata diam saja. Semula aku berharap dia akan juga
memberitahu nomor ponselnya, sehingga aku bisa kirim SMS. Harapan
kandas, karena Yumi tak melakukannya. Seolah mengelus dada, aku hibur
diri sendiri dengan berkata, kita akan bertemu tanggal 3 Juni, dan
sekarang sudah tanggal 31 Mei. Waktu itu aku tengah melangkah masuk
pesawat di Bandara Schiphol, Amsterdam, yang membawaku ke Bandara
Internasional Kansai di Osaka.
***
TANGGAL 1 Juni, sore hari, aku datang ke kantor baruku.
Beberapa urusan administrasi perlu kubereskan, mulai dari kartu
identitas, kode masuk komputer sampai kontrak dengan Kyodai, Universitas
Kyoto, singkatan bahasa Jepang. Sekitar jam empat aku punya waktu untuk
duduk di kursiku, menyalakan komputer. Tentu saja tujuan utamaku adalah
Facebook, kuberi tahu nomor telepon kantorku.
Jawaban mereka berdua tak perlu lama kunanti, Wati maupun Yumi
mengucapkan selamat datang beserta harapan-harapan lain. Yang membuatku
terkejut adalah pesan khusus Yumi untuk Wati. Isinya: kalau ingin tahu
nomor telepon genggamnya, harap kirim surat elektronik, lalu ditulisnya
alamat elektroniknya seperti yang tertera pada profil Facebook.
Kembali jantungku riuh berdegup. Kenapa ini dilakukannya? Bukankah
ini provokasi frontal terhadapku? Aku mesti berbuat apa? Haruskah
kukirim surat elektronik untuk juga minta nomor ponselnya? Di tengah
rentetan pertanyaan itu, bagiku tindakan Yumi ini cuma bermakna satu:
ia tak mau aku tahu nomor telepon genggamnya. Jadi buat apa
memaksa-maksa? Begitu dadaku kuelus, begitu diri kuhibur. Dua hari lagi
dia akan datang, itu yang penting. Kalau sekarang sudah memaksa-maksa
bisa jadi dia malah tidak akan datang. Alhasil provokasi telanjang ini
kudiamkan saja.
Malam harinya aku sulit tidur. Entah kenapa. Sulit dipercaya ini karena jet lag, karena biasanya jet lag baru
menghantamku kalau balik Amsterdam. Pasti antisipasi bertemu Yumi telah
membuat kantuk tak jua menjelang. Aku terhentak mendengar bel, rupanya
ada tamu. Maeda-san, si pemilik flat, pagi itu memang berjanji datang
untuk memberesi administrasi sewa.
Hari kedua berlalu seperti aku tidak menjejakkan kaki di bumi. Tidur
tetap tak nyenyak, sering terbangun. Mungkin ini karena permukiman dan
kasur baru. Tak henti-hentinya kupandangi flat tiga ruangan itu,
terutama kamar tidurnya. Semuanya mungil, aku ragu tempat tidur ini akan
cukup untuk dua orang kalau pada bulan terakhirku nanti dia tiba dari
Amsterdam. Akhirnya, ketika fajar merekah, kuputuskan bangun saja. Pagi
itu, aku ingin cepat hadir di kampus, tak sabar menanti Yumi dan Wati.
***
DI luar dugaanku ternyata Yumi dan Wati tidak datang
bersamaan. Semalam Wati mendadak harus ke Nara, besuk mertuanya yang
dirawat di rumah sakit. Jadi dia datang dari Nara sedangkan Yumi dari
Kobe. “Yumi duluan, aku menyusul,” Wati mengakhiri pesannya pada kotak
surat profil facebook-ku.
Seperti disepakati, jam 12 kurang beberapa menit telepon di mejaku berdering, kuangkat, kuucapkan moshi-moshi (cara
orang Jepang menerima telepon), maka terdengar kembali suara itu, suara
yang terakhir kali masuk telingaku hampir seperempat abad silam.
Nyaring, walau ada sedikit getaran, nyaris seperti isakan. Sebenarnya
dia hanya mengatakan sudah ada di resepsionis. Dalam bahasa Inggris,
kukatakan aku segera menjemputnya.
Yang tampak di hadapanku adalah seorang perempuan matang separuh baya
lengkap dengan wibawanya. Itu tidak tertutup oleh pakaian musim panas
santai yang dia kenakan. Jelas beda dengan Yumi yang dulu sempat
kusandingi. Waktu itu dia masih malu-malu dan ragu-ragu, walaupun sudah
tampak cerdas karena sering bertanya. Aku ingat benar ketika bibir
mungilnya untuk kali pertama kali (untung hanya lututku yang gemetaran,
bukan bibirku), keesokan harinya, mungkin sebagai tanda perhatian
khusus, Yumi ingin menambatkan tali sepatuku. Kaget atas tindakan
seperti pembantu ini, segera dia kularang.
“Bukan itu tanda kasih yang
kuharapkan darimu”, pasti aku terdengar ketus mengucapkannya. Sejak itu
kami selalu berupaya duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Walau
begitu, kadang-kadang, mungkin karena pembawaan atau adat istiadatnya,
ia masih ingin melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip
bersama itu. Sekarang, tak perlu diragukan lagi, prinsip bersama itu
telah mematangkannya. Yumi yang semampai, menawan, penuh pesona, dengan
lekukan bibir yang membangkitkan gairah kini kembali berdiri di
hadapanku.
Tergulat gugup, aku nyaris gagap, salah tingkah tak keruan, tak tahu
mesti berbuat apa. Membungkuk seperti orang Jepang, atau menjabat
tangannya, tangan yang dulu sering kukecupi itu. Akhirnya dua-duanya
kulakukan. Dia juga begitu, tanganku dijabatnya seraya membungkukkan
punggungnya. Matanya terlihat berkaca-kaca, dan sejenak ia seperti tak
bisa berkata-kata. Tenggorokanku sendiri serasa tersumbat oleh sebongkah
gumpalan dan mati-matian kutahan supaya mataku tidak berontak. Kalau di
Belanda pasti sudah terjadi persentuhan tubuh, paling sedikit cium
pipi, kalau tidak peluk. Tapi di sini kurasa lebih pantas untuk menjaga
jarak, dia segera kuajak ke kamar kerjaku.
Beberapa langkah menuju lift berlalu tanpa terucap sepatah kata pun.
Di dalam lift juga begitu, kata-kata raib entah ke mana. Untunglah tak
berlangsung lama, ketika pintu lift terbuka, segera kuisyaratkan ke mana
mesti melangkah, dan teringat pada asal usul semua ini, segera
kulontarkan Facebook. Ia mengulanginya dan berterima kasih karena aku
masih ingat padanya. Aku tidak setuju, (apalagi kalau ingat kasus nomor
ponselnya) akulah yang harus berterima kasih karena dia sudi menerimaku
sebagai sahabat.
Di depan pintu kamar kerjaku dia menunjuk papan namaku, di situ
tertera Sadewa Saputra, baik dalam aksara Katakana maupun huruf Latin,
kemudian peneliti tamu, dalam aksara Kanji. Yumi tersenyum lebar,
senyuman yang selalu meluluhkan hatiku. Sejak saat itu cairlah
ketegangan, apalagi ketika kepadanya kuulurkan hadiah paket Nijntje,
yang di Jepang dikenal sebagai Miffy. Orang Jepang tergila-gila pada
karya Dick Bruna, penulis cerita anak-anak Belanda. Darinya kuterima
sepasang pena dan pensil, hadiah untuk seorang ilmuwan, katanya.
Pembicaraan berkisar pada kedatanganku ke Kyoto, ke Kagaku Kenkyu-Jo,
institut bergengsi itu, sampai ke masa lampau, ketika berlangsung
pertukaran mahasiswa antara universitasku dengan universitasnya. Itulah
awal perjumpaan kami, saat perhatian khususku tercurah hanya pada Yumi.
Wati ini tak datang-datang juga, pikirku, mungkin untuk mengalihkan
pikiran, karena begitu pembicaraan menyentuh masa lampau suasana kembali
kaku.
Telepon Yumi berdering, “Wati”, katanya. Segera berlangsung
pembicaraan dalam bahasa Jepang. Raut Yumi menarik wajah tegang,
memancarkan kekagetan. Telepon yang tak kuketahui nomornya itu lalu
diulurkannya padaku. Wati mengabarkan mertuanya gawat, koma, sehingga
dengan menyesal ia tak bisa ke Kyoto. Kuucapkan kata-kata pelipur lara,
harapan mertuanya segera terbangun dari koma, sehingga kami bisa ketemu
secepatnya, sebelum dia ke Indonesia.
Maka kami tetap berdua, tidak berdampingan, tapi berhadapan,
berseberangan tepatnya. Jadi bagaimana? Tetap makan siang seperti yang
direncanakan? Yumi setuju, sudah lama dia ingin ke Norihisa, restoran
langganannya kalau datang ke Kyoto. Letaknya di Kawaramachi Dori (Jalan
Kawaramachi), di Kyoto pusat. Diusulkannya naik metro ke sana. Baru tiga
hari di Kyoto, apalah pilihanku kecuali menurutinya?
Yumi menjelaskan dari Stasiun Oubata dengan kereta Keihan, kami akan
turun di Stasiun Marutamachi. Jarak itu ternyata cukup jauh, tapi
pembicaraan tidak kunjung mendalam. Paling banter tentang orang tua yang
sakit, tidak beranjak dari keadaan mertua Wati; dan dia tengah mencari
pekerjaan setelah sekian lama di luar negeri, bekerja untuk JICA,
organisasi bantuan pembangunan Jepang. Jelas dibutuhkan keberanian untuk
menerobos rangkaian topik yang cuma setebal kulit ari ini, tapi itu tak
ada padaku dan tampaknya juga tak ada pada Yumi.
Turun di Stasiun Marutamachi, kami menyeberangi Sungai Kamo,
menyusuri Kojinguchi Dori, jalan yang juga berfungsi sebagai jembatan.
Mendadak Yumi menunjuk kura-kura batu yang terbentang di sepanjang
Sungai Kamo. Katanya kura-kura itu untuk orang yang ingin menyeberang
sungai dengan melompat-lompat, jumlahnya 11. Semasa kanak-kanak, kalau
diajak orang tua ke Kyoto menjenguk kakek-nenek, ia sering meloncati
kura-kura itu.
Pada titik ini kurasa seperti ada keberanian yang menyeruak dari
dalam, tanpa pikir panjang terlontar pertanyaan siapa pendampingnya.
Yumi hanya menggeleng, matanya kembali terlihat berkaca-kaca. Roman
mukanya juga dipenuhi tanda tanya. Adakah dia ingin tahu siapa
pendampingku? Tiba-tiba aku sadar, betapa diriku sendiri sebenarnya
pengecut belaka, tidak berterus terang padanya soal siapa pilihanku,
juga orang yang menggantikannya di sisiku. Kepalanya terlihat terus
bergeleng.
“Bukan itu, Dewa-san,” katanya, tetap dalam bahasa Inggris. “Aku
mengenalmu sebagai seorang kekasih sejati, kekasih idaman setiap
perempuan. Masih ingatkah saat-saat intim kita? Betapa kau Dewa-san,
selalu tekun menuntunku mendaki puncak kenikmatan. Kau bukan egois, tak
pernah hanya kaukejar kenikmatanmu sendiri. Sadarkah kau Dewa-san,
betapa aku tak bisa mengerti kenapa akhirnya kau pilih sesama pria.’’
Bukan hanya jantungku, tapi seluruh isi rongga tubuh dan kepalaku
serasa berontak mendengar ucapan Yumi. Tak kuasa lagi kutahan pergolakan
dalam mataku. Bongkahan dalam tenggorokanku juga makin membesar saja.
Tak bisa lagi aku berujar, tak hendak pula aku berkata-kata. Pandangan
kulempar pada 11 ekor kura-kura yang berderet-deret membelah Sungai
Kamo. Entah mana yang harus kusesali: meninggalkannya dulu atau
bertemunya lagi sekarang. (*)
(For Ben, my first reader and critic who makes it all possible)
Kyoto, 10 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar