Cerpen F Rahardi
Terbit di Kompas, 20 Januari 2013
Bahan Referensi Cerpen - LAKI-LAKI itu berusia setengah baya, berperawakan biasa,
berkulit biasa, berwajah biasa, berambut biasa, berbaju dan bercelana
biasa, mengenakan sepatu yang juga biasa-biasa saja.
Barangkali di kantong baju dan celananya juga tersimpan benda-benda
biasa seperti dompet, sisir, ballpen, dan dalam dompet itu ia taruh
uang, kartu identitas, dan lain-lain.
Laki-laki itu duduk bersila dengan takzim. Dua tangannya ia
sedekapkan ke dada, dan pandang matanya mengarah lurus ke depan. Dia
diam saja, hanya kalau ada orang lewat di depannya ia akan berkata:
“Amin”. Orang-orang menengoknya sebentar lalu berlalu. Satu dua orang
segera menjatuhkan uang logam lima ratusan, lembaran ribuan, dua ribuan,
lima ribuan, bahkan ada beberapa yang menaruh lembaran uang dua puluh
ribuan, lima puluh ribuan, dan seratus ribuan. Ketika orang-orang itu
menjatuhkan, melemparkan atau menaruh uang di depannya, laki-laki itu
berucap dengan suara dan nada biasa: “Amin”.
Tidak lama kemudian, uang itu menumpuk cukup banyak di depannya.
Tetapi laki-laki itu tetap hanya menatap jauh ke depan, dan ketika
orang-orang lewat, dengan atau tanpa menjatuhkan uang, ia berucap
“Amin”. Satu dua orang lalu menyempatkan diri untuk berhenti sejenak, di
dekat tempat laki-laki itu duduk bersila. Beberapa orang kemudian juga
ikut berdiri di sekitarnya, sambil terus memandangi laki-laki yang hanya
duduk dengan biasa itu. Orang-orang berkerumun, memandang curiga, ada
yang bertanya-tanya dalam hati, ada yang menduga-duga. Bagi mereka,
laki-laki itu sungguh tidak biasa.
“Mengapa ia duduk bersila di trotoar Jalan Merdeka Utara, pas di
depan Istana Merdeka?” tanya seseorang dalam hati. “Mengapa tatapan
matanya ia arahkan lurus ke depan, tertuju ke pintu Istana Merdeka?”
tanya yang lain juga dalam hati. “Siapakah dia?” tanya yang lain lagi,
juga dalam hati. Lama-lama ada yang memberanikan diri bertanya entah
kepada siapa, dan pertanyaan itu ia ucapkan pelan tetapi jelas: “Ada apa
sih ini?” Serentak beberapa orang mengarahkan pandangan mereka ke orang
yang bertanya tadi, dan satu dua orang segera menimpali: “Dia ini
minta-minta, atau demo, atau semedi, atau apa ya?” Ketika
pertanyaan-pertanyaan itu selesai diucapkan dengan tak beraturan,
laki-laki yang duduk bersila itu menjawab: “Amin.”
***
Di gerbang Istana Merdeka itu ada beberapa Paspampres. Di ujung barat
laut Jalan Silang Monas itu juga selalu ada polisi berjaga-jaga. Mereka
segera mengarahkan pandang mata mereka ke arah kerumunan orang di
trotoar Jalan Merdeka Utara itu. Ketika kerumunan orang itu tambah
banyak, dua orang polisi segera mendekat, memberi isyarat agar kerumunan
orang itu menyibak, lalu tampaklah gundukan uang, dan laki-laki yang
duduk bersila, memandang Istana Merdeka. Dua polisi itu juga heran. Bagi
mereka, laki-laki ini tidak biasa. Maka mereka berdua lalu mendekat dan
bertanya: “Ada apa ini?” Belum sempat kerumunan orang menjawab,
laki-laki yang duduk bersila itu berucap: “Amin”.
Dua polisi itu lalu menyuruh kerumunan orang bubar. Setelah kerumunan
orang itu bubar, salah satu dari dua orang polisi itu menyuruh
laki-laki yang duduk bersila untuk segera pergi. Laki-laki bersila itu
menjawab: “Amin”. Polisi itu kesal: “Saudara mau main-main dengan aparat
ya?” Laki-laki itu tetap duduk bersila, tangannya tetap sedekap,
matanya tetap mengarah ke Istana Merdeka, dan mulutnya kembali berucap:
“Amin”. Salah satu polisi mendekat lalu menendang laki-laki yang duduk
bersila itu dengan sepatu larasnya. Laki-laki itu menerima tendangan
sepatu dan menjawab: “Amin”. Polisi kembali menendang lebih keras lagi
dan kembali laki-laki itu menerima tendangan dengan jawaban: “Amin”.
Berulang kali polisi itu melayangkan tendangan dan selalu dijawab dengan
“Amin”.
Polisi yang sebelumnya berada di dekat truk yang diparkir di pojokan
Silang Monas itu, segera berdatangan, demi melihat teman mereka
melayangkan tendangan berulang kali kepada laki-laki yang duduk bersila.
Ketika kerumunan polisi itu datang, maka laki-laki yang duduk bersila
itu menyambut dengan ucapan: “Amin”. Salah satu polisi yang membawa
bedil segera mengarahkan popor bedil ke kepala laki-laki yang duduk
bersila itu, lalu mengayunkannya: Prak! Laki-laki itu menyambut pukulan
popor bedil dengan ucapan: “Amin”. Beberapa polisi lalu ikut
mengeprukkan popor bedil mereka ke kepala, leher, pundak, perut, dada,
bokong, pinggang, dan kaki, dan semua selalu dijawab dengan: “Amin”.
Kejengkelan para polisi itu naik sampai ke ubun-ubun.
Mereka menyepak tumpukan uang itu hingga berhamburan ke jalan raya.
Mobil-mobil serentak melambatkan jalannya hingga Jalan Merdeka Utara
macet. Para polisi lalu bergotong-royong mengangkat tubuh laki-laki yang
duduk bersila itu. Ada yang memegangi kepalanya, ada yang menjambak
rambutnya, ada yang menarik bajunya, ada yang mencengkeram pundaknya,
dan semua dijawab laki-laki itu dengan ucapan: “Amin”. Polisi-polisi itu
kecapekan dan laki-laki itu tetap duduk bersila, tetap mendekapkan
tangannya di dada, dan pandang matanya masih terarah ke Istana Merdeka.
Sesekali ia ucapkan: “Amin”. Dan ucapan itu membuat hati para polisi
yang kecapekan jadi galau.
***
“Amin”. Kata laki-laki itu ketika dari arah seberang serombongan
Paspampres datang. Kata undang-undang, kalau polisi tak mampu mengatasi
keadaan, maka tentara akan membantu. Gas air mata segera disemprotkan:
Bres! Kanon air juga ditembakkan: Byur! Salah satu Paspampres segera
mengokang bedil dan menembakkannya ke arah laki-laki yang duduk bersila
itu: “Amin”. “Ini tadi kau tembakkan peluru tajam atau peluru karet?”
tanya polisi kepada tentara. Dijawab tegas: “Amin”. Dari arah barat lalu
datang forklift, dengan dua paruhnya yang runcing mencecar ke depan.
Forklift itu mengarah ke trotoar tempat duduk laki-laki setengah baya
itu. Setelah maju mundur dan goyang kiri kanan, meratakan paruhnya
sejajar trotoar, forklift itu maju dengan lurus mencocok pantat dan paha
laki-laki yang duduk bersila itu.
Setelah posisi paruh itu pas, forklift segera menderu-deru mengangkat
tubuh berukuran biasa itu dengan sekuat tenaga. Laki-laki itu tetap
duduk di sana dengan takzim, tetap bersila dengan khidmat, tetap
menyilangkan tangannya di dada, dan pandang matanya lurus ke arah Istana
Merdeka. Ia menyalami forklift yang tak berdaya mengangkatnya itu
dengan ucapan: “Amin”. Maka, tak berapa lama kemudian bertebaranlah
melalui BB, melalui FB, melalui kicauan di Twitter, melalui SMS, ihwal
ada seorang laki-laki biasa, yang diberondong peluru tajam, disemprot
gas air mata, disiram kanon air, diangkat dengan forklift, dan semua itu
selalu dijawab: “Amin”. Di antara mereka yang disambar berita
berseliweran itu, ada yang kemudian menyempatkan diri datang ke depan
Istana Merdeka. Maka kerumunan massa pun tak bisa dicegah.
Massa itu datang dari Sentiong, Salemba, Kramat, Kwitang, Tanah
Abang, ada yang berkaus merah, ada yang berbaju kuning, ada yang
berkolor hijau, mereka mengacung-acungkan tangan sambil
berteriak-teriak: “Amin, Amin, Amin…!” Bersamaan dengan itu, aparat
keamanan juga disiagakan. Mereka datang dari mana-mana dengan naik truk,
jip, mobil kanon air, dikawal panser, dan ambulans. Sirene meraung di
mana-mana, dan semua itu dijawab oleh lautan massa dengan teriakan
“Amin, Amin, Amin……!” Polisi berupaya untuk melingkari laki-laki yang
duduk bersila itu dengan pita kuning dan dilapis dengan untaian kawat
berduri. Dari kejauhan, laki-laki yang duduk dengan takzim itu lalu
tampak seperti pengantin, yang dihias pita dan bunga-bunga, yang
diterimanya dengan ucapan: “Amin”.
Cuaca di sekitar Monumen Nasional dan Istana Merdeka sebenarnya juga
tetap biasa-biasa saja. Kadang sedikit mendung, tetapi ketika angin
datang, matahari kembali tampak dan udara jadi panas. Laki-laki itu
tetap masih duduk di tempat semula dan basah kuyup oleh semprotan kanon
air, yang menyejukkan badan dan jiwa, dalam cuaca siang kota Jakarta
yang gerah. Ia tetap duduk bersila dengan dua kaki disilangkan, dengan
dua tangan disedekapkan, dengan pandangan mata tertuju ke Istana
Merdeka. Rombongan berkaus warna-warni itu mendekat, salah seorang di
antara mereka naik ke pundak dua orang temannya, lalu dengan megaphone
di tangan ia berorasi: “Saudara-saudara semua, di depan kita ada ‘satrio
piningit’. Lihatlah, ia sakti, matanya terarah lurus ke pintu Istana
Merdeka, ialah Ratu Adil yang akan memimpin negeri ini.” Laki-laki itu
menjawab: “Amin”.
***
Dari langit yang biru cerah, terdengar raungan suara helikopter.
Setelah berputar-putar selama empat kali, heli itu merendah, lalu
mendarat di halaman Istana Merdeka. Turunlah kemudian beberapa laki-laki
yang berperawakan biasa, berwajah biasa, berkulit biasa, rambutnya tak
ketahuan biasa atau tak biasa, sebab tertutup topi. Pakaian dan
sepatunya juga biasa, tetapi di pundak dan di dada mereka tertempel
tanda-tanda pangkat. Salah satu di antara mereka membawa tongkat
komando, mendekati laki-laki yang duduk bersila itu, lalu bertanya:
“Anda ini siapa dan maunya apa?” Dijawab: “Amin”. “O, jadi nama saudara
Amin?” Dijawab: “Amin”. “Saudara Amin, Saudara telah melanggar Perda
Nomor 8 tentang Ketertiban Umum dan juga Pasal 6 UU Nomor 9 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Apakah Saudara
bisa mendengar saya?” Dijawab: “Amin”.
Laki-laki bertongkat komando itu kesal hatinya. Dia mencabut
pistolnya, ia kokang, ia arahkan laras pistol itu ke pelipis laki-laki
di depannya, lalu pelatuk ia tarik: Dor! Laki-laki yang duduk bersila
itu menyambut tembakan pistol dengan ucapan: “Amin”. Ucapan “Amin” itu
ternyata telah membuat kalap laki-laki bertongkat komando dan berpistol
yang berdiri di depannya. Dia segera memberi aba-aba agar panser, tank,
dan buldoser mendekat. Maka tank berjalan di depan seraya menembakkan
senapan mesin. Batang pohon trembesi yang berdiri kokoh itu
bolong-bolong. Tank terus melaju mendekati laki-laki yang duduk dengan
takzim itu. Massa yang menyemut di sekitar Jalan Silang Monas merangsek
maju: “Amin, Amin, Amin.” Laki-laki itu tetap duduk, bersedekap, dan
memandangi Istana Merdeka dengan pilar-pilarnya yang kokoh bercat putih.
Tank maju naik ke trotoar, menabrak dan melindas laki-laki yang duduk
bersila di trotoar itu, lalu disambut dengan ucapan: “Amin”. Buldoser
menyerok laki-laki yang telah diberondong senapan mesin dan dilindas
tank itu, dan juga dijawab: “Amin”. Massa terus maju diiringi teriakan:
“Amin, Amin, Amin.” berulang kali terus-menerus susul-menyusul. Kawat
duri, pita kuning garis polisi semua ditabrak dan dilindas massa. Mereka
melingkari laki-laki yang tetap duduk dengan takzim itu, dan massa juga
ikut duduk bersila menyedekapkan tangan, dan mata mereka memandang ke
Istana Merdeka. Laki-laki itu menyambut kedatangan massa yang
ikut-ikutan duduk di sekitarnya dengan ucapan: “Amin”. Dan massa
melanjutkannya dengan gema yang menggemuruh: “Amin, Amin, Amin!”
Panser, tank, buldoser, semua capek dan pegal-pegal. Sekrup-sekrup
dan baut terasa ngilu. Mereka lalu minggir dan berteduh di bawah tajuk
angsana yang rimbun. “Kami ini sudah terlalu tua,” kata tank memelas.
Disambut panser: “Gua juga agak gemetaran karena tadi belum sarapan.”
Buldoser mendekam dekat pagar besi, dan laki-laki itu menjawab: “Amin”.
Berikutnya, laki-laki itu menarik napas agak panjang, berkedip-kedip,
menengok ke kiri dan kanan, tangan ia rentangkan, lalu ia berdiri.
Pelan-pelan ia berjingkat melangkahi massa yang duduk bersila itu, lalu
berjalan di antara orang-orang, anak-anak muda, kaus merah, celana
putih, seragam polisi, baju tentara, ia terus berjalan, sementara angin
dari Laut Jawa melompati atap Istana Merdeka, menggoyang-goyang dahan
angsana dan ranting trembesi. Laki-laki itu terus saja berjalan dan
hilang ditelan kerumunan massa: “Amin”. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar