Sungai Putih Itu….

Cerpen Anita Kusuma Wardani

Terbit di Republika, 20 Januari 2013




Bahan Referensi Cerpen - TAK TERASA waktu berjalan jua. Mengalir tanpa tanya. Masih teringat seekor ular yang pernah aku temukan dulu di mulut gua di mana kakek tua bertapa. Aku sangat senang kala itu. Kakek memberikan seekor ular peliharaannya demi memenuhi keinginanku setelah aku bersusah payah mendapatkannya. Dengan senyum simpulnya ia hanya berkata, “Jagalah ular ini. Tidak usah kau kasih rumah. Letakkan ular ini di depan rumahmu, ia akan hidup dengan sendirinya sekaligus sebagai penjagamu.”

Sejak pindah ke kota ini, aku tak tahu lagi masih ataukah tidak binatang kesayanganku itu. Si naga warisan kakek yang lama tak kujumpai. Semoga saja sekembali aku dari sini semua masih sama. Aku tak membayangkan jika apa yang aku pesankan ini hanya berlalu tanpa sisa. Semoga saja….

Detik-detik pengorbanan tak terasa sudah terlampau jauh. Tapi, waktu tak pernah mengubah hari menjadi panjang ataupun singkat. Hanya secerca harap kini yang cukup membatasi bayangan. Aku ingin kembali meretas napas dalam bingkai kesejukan jiwa di kota kenangan.

Satu per satu daun kenanga berguguran, lelah menunggu menjadi humus subur yang diharapkan kawannya sebagai sumber kehidupan. Tak luput perhatianku pada tanaman satu ini. Tanaman yang sangat aku sukai sejak aku masih berada di dalam dekapan ibu. Sangat besar keinginanku untuk membeli bunga ini setahun yang lalu untuk mengenang betapa berharganya kenangan masa laluku. Meski ini bukan bunga kenangan, tapi aku masih merasakan aromanya berasal dari bungaku di kota kenangan.

***

Sayup-sayup terdengar azan Maghrib di seberang sungai ketika aku mengamati kenanga merah di depanku. Aku segera beranjak. Mengayuh sepeda menuju mushala. Di jalan aku bertemu beberapa teman sebayaku dengan sepedanya menuju tempat yang sama.

Mushala di tempatku ini memang sangat berarti. Mushala ini satu-satunya yang terdekat di tempatku yang berjarak sekitar dua kilometer. Meski kecil, ia punya sejarah yang cukup penting bagiku. Dari sinilah aku mengenal Islam dari seorang ulama di tempat kami tinggal. Di sini pula aku mengucap syahadat untuk pertama kalinya bersama kedua orang tuaku dan beberapa warga yang juga mau masuk Islam bersama kami. Dari nasihat ulama itu pulalah kami bisa mengecap manisnya meyakini Islam sebagai akidah kami.

Dua tahun sudah aku belajar sama Ustaz. Pelajaran yang aku dapatkan dari Ustaz begitu banyak. Namun, ketika suatu hari Ustaz mengajak para santri rihlah ke sungai putih, aku sempat tanyakan kepada beliau mengapa harus ada rihlah. Kata Ustaz, “Rihlah itu akan mengajari kita mengenal alam dan berkawan dengan alam karena sesungguhnya kita itu sama dengan alam.” Aku masih belum mengerti apa yang dimaksud Ustaz, tapi aku ikut saja.

Mentari di ufuk timur belum muncul ketika kami berangkat. Perjalanan panjang dan berkelok kami lalui dengan suka cita. Kami susuri sepanjang sawah yang ditumbuhi dengan tanaman padi serta rumput teki. Di sela-sela perjalanan, Ustaz mengajak kami berhenti di sebuah padang rerumputan liar tak berpenghuni. Cukup bergidik aku melihat pemandangan sekelilingku yang penuh dengan semak. Berbagai macam bayangan menghantuiku hingga bulu romaku berdiri.

“Aulia!” suara Ustaz begitu kerasnya mengagetkanku. Serasa jantung ini mau copot dibuatnya. Aku segera beranjak mengalihkan perhatianku pada Ustaz yang sangat aku hormati. Berkali-kali aku berucap maaf atas kekhilafanku tidak mendengarkan penyampaian Ustaz tadi. Beliau hanya tersenyum melihat tingkahku yang aneh terkena tegur sambil berpesan agar kami memperhatikan orang yang di depan untuk menghormatinya.

“Mungkin suatu saat kalian akan pergi dari sini dan akan bertemu dengan orang baru yang sebelumnya kalian tidak mengenalnya. Maka, belajarlah kalian untuk bisa memiliki akhlak yang baik. Dan, menghormati pembicaraan orang lain termasuk salah satu bagian dari akhlak.” Sebuah penutup sebelum kami beranjak meninggalkan padang rerumputan liar melanjutkan perjalanan ke sungai putih. Kata yang sangat lekat di hati dan pikiran kami, para santri.

Perjalanan pun dilanjutkan saat sang raja siang meninggi hingga sepenggalah. Tibalah kami di sebuah surau kecil di sebelah sawah kosong. Nampaknya sawah ini baru dalam penggarapan oleh si empunya. Di sisi kanan surau terdapat pancuran kecil yang tersedia bagi siapa saja yang singgah dan ingin shalat. Cukup mengherankan, ternyata di tengah persawahan seperti ini juga ada surau yang bisa digunakan untuk beribadah. Padahal, tidak ada satu pun rumah di sekitarnya. Berdecak kagum kami semua yang menghadapi kejadian ini sedangkan di kampung kami yang banyak terdapat rumah saja hanya terdapat satu mushala, yaitu tempat kami menimba ilmu agama. Padahal, jikapun kami mendirikan mushala dua sampai empat lagi, warga cukup mampu. Tapi, sepertinya belum ada kesadaran dari penduduk kampung, atau bisa jadi tidak punya ide untuk hal ini.

Setelah kami selesai shalat dhuha berjamaah, Ustaz memberikan sedikit penjelasan bahwa perjalanan kami sudah hampir mendekati sungai putih. Aku dan para santri yang lain saling menerka-nerka tentang ibrah yang bisa kami ambil. Namun tetap saja, kami terhenti dalam angan kami masing-masing tanpa terjawab. Hanya menyisakan tanya tak berkoma.

Lecutan semangat dalam jiwa kami semakin menjadi ketika kami akhirnya sampai di tepi sungai putih. Puluhan pasang mata memandang kagum di sisi sungai. Tapi, ada yang membuat kami penasaran. Sungai putih yang kami lihat tidak seputih namanya. Yang ada, kami melihat sungai ini biru sekali seperti dalam gambar. Airnya sangat jernih sehingga kami langsung bermain dengannya. Namun, sebelum kami mendekati sungai, Ustaz memberikan pengarahan kepada kami untuk meresapi dan mencari makna yang terkandung dari masing-masing permainan kami dengan air dan sungai ini.

Tanpa dipandu lagi, kami sudah menyebar di seluruh sisi sungai dengan ide kami masing-masing dalam bermain dengan air. Untungnya, air di sini tidak deras sehingga kami bisa bermain sepuasnya. Aku sangat menikmatinya. Melihat betapa indah sungai itu, menjadikan aku merenung dengan diriku sendiri. Aku berdiri di sisi sungai dan perlahan berjalan menyendiri di tepi sungai. Kulihat di kejauhan, Ustaz tersenyum melihat tingkah para santri yang bermacam-macam. Teduhnya pemandangan dari seorang Ustaz yang berjuang menyebarkan Islam di pelosok kampung. Ah, tapi aku tak bisa membalas jasanya. Hanya bisa berdoa, semoga beliau mendapatkan balasan terbaik dari sang pemilik alam semesta.

Catatan-catatan kecil mencoba kubuat sedemikian rupa untuk dipresentasikan sebagai persiapan jika Ustaz menunjukku agar menceritakan pengalaman hari ini. Kucoba melihat di seberang sungai. Tak terasa air mulai menggenang di depan selaput mata dan hampir menetes melalui kelopaknya. Seorang nenek tua sedang menggendong kayu melewati tepi sungai di seberang sana. Kulihat mukanya sudah mengeriput kepayahan. Ia mengusap keringat yang mengucur di wajah tuanya. Lama kuamati kejadian itu. Ternyata di atas sana sudah ada perempuan muda berbusana tertutup yang menjemputnya dengan wajah cemas. Mereka terlihat bercakap-cakap sebelum akhirnya kayu berpindah di punggung si perempuan muda. Kini, air benarbenar mengalir dari pelupuk mataku. Pengorbanan itu sangat menampar hati, mengingat aku hanya sesekali membantu orang tuaku karena kesibukanku dengan aktivitas sekolah dan menimba ilmu agama.

Bayangan orang tuaku tepat berada di seberang sungai tempat nenek tua dan perempuan muda menghilang. Aku melihat ibuku di sana menggendong kayu dengan segala kepayahan tubuhnya yang mulai dimakan usia. Kulihat pula diriku sebagai perempuan muda itu. Meski tertutup, segala pengorbanan dilakukan untuk membantu ibu. Subhanallah, bergetar tubuh ini dengan tetesan air mata terus mengalir menjatuhi sungai yang mengantar ke laut jauh di hulu sana.

Di kejauhan Ustaz memanggilku untuk berkumpul kembali. Sepertinya beliau sudah dari tadi mengingatkanku, hanya saja aku terlarut dalam penghayatan pemandangan di depanku. Aku mulai beranjak, meninggalkan peraduanku di sisi sungai. Kulihat bayangan itu semakin lama semakin menghilang dari pandangan mataku. Menjauh pergi.

***

Empat tahun sudah aku meninggalkannya. Dan kini, aku kembali merindukan kota kenangan. Aku rindu kampung halaman yang telah membesarkanku hingga aku tampil menjadi seorang mandiri dalam keterasingan hidup di negeri orang. Aku rindu bunga kenanga yang mengajarkan aku tentang sebutir perhatian. Aku rindu pada sungai putih yang mengajarkan aku berbagai hal. Tentang alam, kehidupan, dan Sang Pencipta. Aku rindu kepada semua kenangan masa laluku. Dan semoga, aku bisa bertemu lagi di lain hari. Entah dengan episode mana lagi untuk membuatku kembali ke pangkuan ibu dan kembali pula berjumpa dengan sungai putih yang mengajarkanku berbagai hal dalam memaknai lika-liku kehidupan. Berharap aku kini bisa seperti Ustaz, ikhlas membangun jiwa dalam ketaatan pada Pencipta. Semoga…. (*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar