Cerpen Muna Masyari
Terbit di Jawa Pos, 20 Januari 2013
Bahan Referensi Cerpen - BIBIR Arsap menyungging sinis. Matanya tak lepas menatap orang-orang yang menyaksikan Marinten me-ngotek-kan alu ke bibir ronjangan [1]. Sakit hati Arsap terobati sudah. Bara di dadanya tersiram.
Bulan alis mengintip dari balik pelepah janur. Petromaks
mendesis-desis di langit beranda, dan dikerubung hewan-hewan kecil.
Sepasang paha sapi yang sudah dikuliti digantung sungsang di beranda
dapur. Aroma dupa meruap terbawa angin.
Semula, irama ronjangan yang berseiring dengan gemerincing tutup menangan [2] terdengar sumbang. Antara bunyi dung-dung dan bunyi ngojur
tidak selaras. Bukan irama yang biasa dimainkan saat pembuatan dodol,
penyembelihan sapi, panen raya maupun pada saat mengabarkan kematian.
Ada nuansa berbeda yang tercipta. Semakin didengar, menyerupai irama kabar duka. Namun kotekan dan ketukan alu lebih halus dan patah-patah. Lain waktu, iramanya menghentak cepat. Menangan bergemerincing nyaring. Lalu melirih perlahan seperti terpagut angin.
Arsap tahu, itu bukan kesalahan. Pemainnya merupakan kesatuan grup
yang diketuai Marinten, yang dikenal mahir dalam memainkan macam-macam
irama dukka ronjangan. Sudah dikenal di punjuru kampung.
Jika ada hajatan, orang-orang biasa mengundang mereka. Tidak mungkin
Marinten keliru memimpin kawan-kawannya memainkan irama.
Marinten. Selain mahir memainkan irama, perempuan itu memiliki daya
pikat melebihi kawan-kawannya, dan membuat orang selalu tertarik
mengundangnya. Dengan mengenakan sampir batik ketthel tello’ bermotif kembang cengkeh, kebaya bunga-bunga, rambut disanggul miring berhias roncean
kembang melati, Marinten berhasil mencuri perhatian di setiap acara.
Meskipun berdandan seadanya, Marinten tetap terlihat cantik. Sederhana
namun memesona. Ada yang bilang, Marinten memiliki daya pikat yang
diwariskan ibunya.
Menurut cerita orang-orang, dulu ibu Marinten juga pandai memainkan dukka ronjangan.
Irama yang dimainkan mampu melepas lelah saat panen raya, menyemarakkan
suasana dalam acara perkawinan maupun khitanan, dan bisa membuat orang
terhanyut kesedihan saat dimainkan untuk mengabarkan duka.
Bila ada acara hajatan yang mengundang dirinya, para undangan segera datang berduyun-duyun. Bunyi dung-dung yang beradu dengan gemerincing menangan
seolah menyihir mereka untuk segera hadir. Yang semula berhalangan
datang, akhirnya tetap mengusahakan hadir demi melihat ibu Marinten yang
sedang mengetukkan alu bersama kawan-kawan.
Sama dengan Marinten, ibunya juga menjadi pusat perhatian para
lelaki. Banyak pemuda kampung yang terpikat dan terkagum-kagum pada
kecantikan serta kemahiran ibu Marinten dalam memainkan dukka ronjangan. Kemampuan itulah yang ditularkan pada Marinten.
Setiap panen raya maupun musim-musim acara perkawinan, Marinten dan
grupnya tak pernah sepi dari undangan. Tapi irama yang dimainkan
Marinten sekawan malam ini sungguh beda. Iramanya kadang terdengar
sedih, marah, lalu tiba-tiba berirama kacau sebagaimana orang yang
tengah dilanda putus asa.
***
Arsap menghisap batang rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Asap bergulung-gulung, melayang ke udara.
Lalake’ padhana emas pa’lekoran! [3] Arsap tersenyum pongah dalam hati.
Penolakan lamaran oleh ibu Marinten telah membakar hati Arsap.
Ditolak tanpa alasan sungguh suatu penghinaan! Padahal ia dan Marinten
sudah mengikat hati sejak Marinten buruh taoh mandi ka oloh [4].
Maka, dengan kepala mendidih, Arsap pun meminta pada ayahnya agar
dicarikan seorang perempuan yang bersedia dinikahi secepatnya. Maksar,
yang semula sudah keberatan Arsap melamar Marinten, mencari calon
menantu dengan segera.
Begitu Maksar menemukan perempuan yang dirasa cocok dinikahi Arsap,
mereka pun melamarnya. Sesuai kemauan Arsap, tanggal pernikahan
dimusyawarahkan secepat mungkin. Tidak lebih dari dua pekan sejak ibu
Marinten menolak lamaran Arsap, tanggal baik pun ditetapkan. Arsap
sengaja mengundang Marinten memainkan dukka ronjangan pada malam
menjelang pernikahannya. Tentu untuk menyirami bara di hati. Untuk
menunaikan penghinaan yang ditanggungkan oleh ibu Marinten.
***
Bunyi dukka ronjangan terus bertalu. Aroma kemenyan menyengat.
Para ibu yang bertugas menyiapkan menu masakan untuk undangan besok
pagi masih sibuk di dapur.
Malam merangkak lamban. Arsap dan ayahnya masih menemani para kerabat
di beranda. Maksar tampak bergembira dengan tawa yang kadang membahak.
Dodol dan bajik yang tersaji tinggal beberapa kerat. Tutup cangkir
telentang berisi puntung dan abu rokok.
Tiba-tiba Arsap melihat kemunculan Ke Samulla di halaman. Mau
apa lelaki tua itu, pikir Arsap. Ia menyikut lengan ayahnya. Tawa Maksar
terhenti seketika, mengikuti arah pandangan Arsap. Maksar menatap Ke Samulla dengan mata tak suka.
Ke Samulla mengamati Marinten yang tengah memainkan dukka ronjangan. Tak segera naik ke beranda untuk menemui tuan rumah. Tatapannya aneh. Dada Arsap menggemuruh.
***
“Memalukan!” Ibu Marinten marah-marah menyambut kedatangan anaknya.
Daun pintu ditutup lagi dengan kasar. Dari tadi ibu Marinten tidak bisa memejamkan mata mendengarkan bunyi dukka ronjangan yang dimainkan Marinten di rumah Arsap.
Marinten diam. Perempuan itu meloyor masuk, mengempaskan pantat pada kursi kayu dengan wajah layu. Ia melepas roncean kembang melati di sanggulnya.
“Bagaimana kamu bisa memainkan irama sekacau itu? Bukankah kau sudah
mahir memainkan irama untuk acara perkawinan?” Pertanyaan Ibu Marinten
masih bernada gusar meskipun suaranya sedikit kurang jelas.
Sambil mengunyah sirih-pinang, ibu Marinten mondar-mandir di depan
anaknya. Sesekali membuang ludah pada kaleng bekas berisi abu tungku di
dekat kaki lincak. Bibirnya basah dan merah. Lalu mencecar Marinten lagi
dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak tuntas ia pikir sejak tadi.
“Kenapa pula teman-temanmu ikut bermain tak karuan? Seharusnya kalian menyelaraskan irama satu sama lain!”
Marinten tidak menyahut.
“Itu pasti gara-gara kamu! Pikiranmu ke mana-mana!”
“Bukankah Ibu yang mengajariku memainkan dukka ronjangan
dengan menyatukan jiwa dan pikiran? Menghayati penuh perasaan. Dalam
acara gembira, kita harus bermain dengan jiwa riang. Begitupun
sebaliknya. Dengan begitu, irama yang kita mainkan akan mampu menyentuh
hati siapa saja yang mendengar. Menggiring mereka pada kedalaman jiwa
dan rasa yang sedang kita hayati. Bukankah begitu?”
“Betul. Lalu kenapa yang kaumainkan tadi iramanya jadi seperti itu? Seharusnya kau memainkan dengan jiwa bahagia.”
“Aku sudah memainkan dukka ronjangan dengan jiwaku. Jadi tidak ada yang perlu kusesali,”
“Kamu diundang untuk acara pernikahan, bukan kematian!” Suara ibu Marinten meninggi.
Marinten mendesah. “Apa aku harus bahagia dengan perkawinan Ka’ Arsap?” Ia menatap ibunya, lalu menggeleng lemah. “Tidak, Bu!”
“Dasar bodoh! Kau menyesal karena aku menolak lamaran Arsap?”
“Beri aku alasan, kenapa Ibu menolak lamarannya?”
“Dia tidak baik untukmu. Kau boleh menikah dengan siapa pun asal bukan dengannya!”
“Dengan siapa pun?” Senyum Marinten menyeringai, belum yakin ibunya tidak akan menjilat ludah sendiri.
“Ya! Dengan siapa pun!” Ibu Marinten menegaskan.
Marinten bangkit, “Baik, kalau begitu, besok aku akan ke rumah Ke Samulla, menerima lamarannya untuk menikahiku!” Marinten meninggalkan ibunya begitu saja.
Ibu Marinten tercekat di tempat. Punggung Marinten lenyap di balik pintu.
Marinten merebahkan tubuhnya ke lincak. Mengempaskan napas.
Pikirannya mengawang. Marinten sudah tahu dengan alasan apa ibunya
menolak lamaran Arsap. Antara Ke Samulla, Maksar dan ibunya, ternyata pernah terlibat suatu persoalan.
Dulu, Maksar dan Ke Samulla sama-sama menyukai ibu Marinten.
Keduanya sering mencegat ibu Marinten di jalan ketika pulang dari
undangan. Dua lelaki yang beda usia itu berebut akan melamar ibu
Marinten. Namun ibu Marinten menjatuhkan hatinya pada Maksar. Selain
lebih muda, lebih gagah dan tampan, Maksar juga pintar meramu kata-kata
manis. Ke Samulla yang saat itu sudah hampir berkepala empat, tidak berdaya atas pilihan ibu Marinten.
Maksar merasa memeroleh kemenangan tanpa harus berperang. Ia berniat
melamar ibu Marinten secepatnya. Namun orangtua Maksar justru tidak
setuju karena ibu Marinten dikabarkan memiliki susuk pemikat, dan
mencarikan perempuan lain.
Ke Samulla berang. Ia tidak terima Maksar menyia-nyiakan ibu
Marinten begitu saja. Terjadi debat sengit antara mereka berdua. Hampir
saja terjadi carok.
Bagi ibu Marinten, menolak lamaran Arsap merupakan suatu cara untuk
membalik cerita masa lalu. Membayar sakit hati pada keluarga Maksar yang
selama ini dipendamnya. Kalaupun ia menyuruh Marinten memenuhi undangan
mereka memainkan dukka ronjangan, biar kesannya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Marinten meringis. Gerahamnya bergesekan. Tatapannya menggantung ke langit-langit kamar.
Sepulang dari undangan tadi, Ke Samulla mencegat Marinten di
jalan. Dari lelaki tua yang belum pernah menikah hingga sekarang itulah
Marinten mendengar kisah masa lalu ibunya, dan mendapatkan jawaban,
mengapa ibunya menolak lamaran Arsap.
***
Dahi Marinten mengerut begitu membuka pintu, ia mendapatkan alunya
yang digunakan semalam telah patah jadi tiga. Buru-buru Marinten berlari
ke dapur. Sepi. Mulut tungku masih dingin membisu. Marinten juga tidak
melihat parang yang biasanya disandarkan pada palang kaki lincak.
Dada Marinten berdegup kencang. Kembali ia berlari ke beranda. Memungut dua patahan alu dengan hati cemas.
Kabut tipis masih bergelayut di dahan-dahan pohon kelapa. Marinten menatap jauh ke jalan. (*)
Pamekasan, Januari 2013
Catatan:
[1] Ronjangan: tempat untuk menumbuk padi yang bentuknya memanjang, terbuat dari kayu.
[2] Menangan: tempat sirih-pinang yang terbuat dari bahan kuningan.
[3] Lalake’ padhana emas pa’lekoran!: lelaki ibarat emas 24 karat.
[4] Buruh taoh mandi ka oloh: baru bisa mandi ke hulu, baru pandai berdandan.
Muna Masyari, nama pena dari Madinatul Munawwaroh.
Tinggal di Pamekasan, Madura. Cerpennya termuat di pelbagai lokal dan
nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar