Cerpen Rilda A.Oe Taneko
Terbit di Koran Tempo, 3 Februari 2013
Bahan Referensi Cerpen -
Hidup yang kami jalani bukanlah hidup kami
Rumah, pepohonan, langit yang asing
Tanah yang kami pijak bukanlah tanah kami
Bahasa yang kami ucap bukanlah milik ibu kami
Kami bukanlah diri kami
Dan semua terjadi karena gerbang itu.…
Den Haag – Delft, Musim Gugur
“Ketika melalui gerbang itu, saya tak pernah menyangka akan diantar
pada dunia yang sungguh asing, Nak,” kakek di sampingku memulai kisah.
Aku mengangguk-angguk. Aku tidak mengenalnya. Ia duduk di sampingku
sejak dari Den Haag. Lalu, melihat aku serupa dengannya, sama berambut
hitam, bermata hitam, berkulit gelap, bertubuh tak tinggi dan berhidung
tidak mancung, ia tersenyum senang. Rambut kami sama tegak ijuk, hanya
miliknya diselipi uban di sana-sini.
Aku menyapanya, “Selamat pagi.”
Senyumnya melebar, dan setelah itu ia memulai kisahnya.
“Gerbang itulah batas akhir rumah dengan tempat asing. Kemudian, saya
terbang membumbung di angkasa, melampaui samudera dan benua,
terkantuk-kantuk hingga kembali bangun, melihat mentari merah sekejap
lalu gelap malam sebentar kemudian. Lalu, ratusan lampu jalan dan
penanda pendaratan: sebuah gerbang yang lain. Semua yang ada di luar
gerbang tak pernah sebelumnya saya lihat. Itulah awal perjalanan panjang
saya. Hidup di tanah yang asing. Tak pernah tahu rupa orang-orang yang
akan saya temui, seperti apa tempat yang akan saya kunjungi, jalanan
yang akan saya lalui, pepohonan yang berdiri di sisinya. Tak pernah
dapat menduga bebauan yang akan tercium dan rasa yang akan terkecap.
Segalanya sungguh asing, Nak.”
Aku terdiam, larut dalam ceritanya.
“Saya mulai menjelajah tempat-tempat. Ada kalanya saya membawa peta,
kebanyakan hanya berjalan tanpa tujuan, berharap akan berujung pada
tempat indah nan rahasia, yang tak ditemui di peta mana pun. Sungguh
menyenangkan perjalanan saya itu, pada awalnya. Hari-hari dipenuhi
keingintahuan, petualangan baru dan pengembaraan. Namun, yang demikian
itu tentu tak akan berlangsung selamanya, Nak.”
Ia menghela napasnya, dalam. Aku mengangguk, melihat diriku di dalam
ceritanya. Di balik jendela tram, sungai mengalir lurus, rumah-rumah
kapal bergoyang. Jembatan terbelah, bergerak naik, membiarkan
kapal-kapal lewat. Orang-orang bersepeda, orang tua, orang muda dan
anak-anak. Pemuda dengan bunga di dalam keranjang sepeda. Mereka
menunggu jembatan kembali datar. Lalu rerumputan, bangku-bangku kayu,
berselang-seling pokok-pokok mapel dan sikamor. Daun-daun berserak,
mewarnai hijau rumput: kuning, cokelat, merah.
Ketika aku kembali padanya, kakek itu masih berbicara.
“Banyak orang yang kembali pulang. Tapi tak semua orang yang pergi
dapat kembali. Macam-macam alasan yang menahan mereka. Ada yang memang
berniat menetap di negara ini, yang ditawari pekerjaan, jatuh cinta
dengan penduduk lokal lalu tinggal, ada yang ilegal, ada juga, yang
tertahan pulang, seperti saya sendiri.”
Kala ia mengucap kata-kata terakhir itu, suaranya bergetar.
“Dan, di tiap-tiap pengembaraan ada saatnya menetap, memulai hidup di
satu tempat, mengenal orang-orang yang itu-itu juga, melalui jalan dan
gedung yang sama dan, harus, mencari pekerjaan. Sejak saya tak bisa
pulang dan beasiswa dicabut, saya menjadi pencari suaka di negeri ini.
Dengan status itu, saya berhak tinggal dan hidup dari tunjangan negara.”
Lalu, seolah takut aku akan menghakiminya, ia segera melanjutkan,
“Tapi saya tidak pernah menggantungkan diri pada tunjangan. Alasannya:
harga diri. Walau pun negara ini menjamin kesejahteraan penduduk tak
mampu, orang-orang kerap bicara di belakang, tentang imigran yang
menghabiskan uang pajak, tentang para pendatang yang malas dan mau
enaknya saja tinggal di negara kaya. Macam benalu saja, seperti itulah
kira-kira pembicaraan mereka. Untuk orang yang hampir sepanjang hidupnya
tak pernah bergantung pada siapa pun, tak pernah menganggur dari
pekerjaan barang sehari juga, disebut benalu tentu sangat sakit sekali.
Karenanya, saya selalu bekerja, Nak.”
Aku percaya padanya.
“Sejak saya mendapat izin kerja, saya mati-matian mencari pekerjaan.
Tidak mudah, Nak. Dengan bahasa Belanda yang terbata-bata dan
kualifikasi pendidikan yang berbeda, tak banyak pilihan pekerjaan bisa
saya lamar. Sempat saya kehabisan uang, tak mampu bayar kamar sewa,
hingga menumpang di penampungan tuna wisma. Akhirnya, saya mendapat
kerja juga. Bukan kembali seperti saat di Indonesia dulu, di negara ini
saya menjadi… (terdiam).”
Lalu kebisuan yang tak mengenakkan. Kebisuan itu hinggap di antara
kami dan seolah enggan pergi. Tram berbelok, berguncang, memasuki Kota
Delft. Sebuah kincir angin tua berdiri di antara jalur tram dan jalan.
Ketika aku hendak turun di perhentian tram di depan Balai Kota Delft,
kakek itu menyodorkan kartu namanya.
Aku menyeberang jalan, melewati lorong sempit samping gedung balai
kota. Lalu jembatan, kanal dan sepeda-sepeda yang diikat ke besi
jembatan. Aku terus melangkah, menapaki batu-batu, gerisik dedaunan
kering, sampai di pusat kota.
Di tengah plaza, seorang perempuan melambai, “Ito!”
Ia berlari ke arahku, rambut merahnya meriap-riap. Ia memelukku
ringan dan mencium pipiku, tiga kali. Sentuhan pipinya terasa dingin.
Ada sebuah rumah makan Indonesia, tak jauh dari cetrum, tak mahal dan
makanannya sedap, ia berkata.
Setelah hari itu, aku selalu bertemu kakek di dalam tram pada tiap pergantian musim.
Delft, Musim Dingin
Kami bertemu di sebuah restoran, tak jauh dari Oude Kerk, gereja tua yang berdiri miring.
“Saya sudah tua. Tiba-tiba saja wajah sudah penuh kerut-merut,” ia
menuang anggur merah ke gelas kaca, menyesapnya, matanya terpejam. Ia
melanjutkan, “Rambut yang dulu tebal dan hitam, jadi beruban dan jarang.
Gigi pun tak lagi lengkap dan berlubang.”
Ia sesap lagi anggurnya. Aku khawatir ia mabuk sebentar lagi.
“Waktu telah melumat habis, mengambil semua yang pernah menjadi saya,
menyisakan semangat pudar pada tubuh yang renta, merangkum hidup saya
entah sebagai apa.”
Lalu ia menyumpah, memainkan jemarinya di bibir gelas, berputar-putar
pelan. Ia menengadah, melihat langit-langit. Matanya berkabut.
“Jika saja dulu saya tahu,” ia merancau, “bahwa gerbang keberangkatan
di Bandara Halim itu akan mencuri dunia saya, dan mengantarkan saya
menjadi bukan siapa-siapa di negeri asing ini, tentu saya akan berlari
sekencang mungkin untuk menghindar.”
Ia menyerapah, memandang ke lantai kayu, mengentakkan kaki. Sepatunya
hitam, berbahan kulit dan berujung lancip. Lantai kayu berderik. Ia
sudah mabuk, pikirku. Di balik kaca etalase restoran, hujan turun. Aku
melirik jam tanganku. Masih jam lima sore, namun hari telah pekat.
Pendar dari lampu-lampu kaca di pinggir jalan berkedip. Satu-dua kali
cahaya dari lampu mobil menembus gelap, menerangi kanal dan besi
jembatan. Sorot lampu mobil juga membuat hujan serupa jarum-jarum
berkilat. Lalu gelap kembali melingkupi. Bunyi air mengalir di pipa
pemanas di sampingku halus terdengar. Aku merapatkan jas.
“Besok saya akan puasa Arafah,” katanya, memecah hening.
Aku mengerutkan kening.
“Saya seorang muslim,” ia terbahak, melihat gelasnya, mengangkatnya
sepandangan mata. Anggur bergoyang di dalam gelas. Lalu ia letakkan
kembali gelasnya. Sepercik anggur jatuh ke meja kayu ek.
“Saya seorang muslim,” ia mengulang.
“Tapi kau pemabuk,” kataku. “Dan kau baru saja menghabiskan sepiring steik babi.”
Ia memandangku. Matanya berkabut.
“Esok aku harus kembali ke Den Haag,” kataku.
Ia habiskan anggurnya dalam sekali sesap.
“Dan besok saya akan berpuasa Arafah,” katanya.
Den Haag, Musim Semi
Kami bertemu di taman samping istana, pada sebuah bangku kayu. Merpati berkerumun dekat gerobak olliebollen.
Udara dipenuhi harum mawar, gula dan donat. Ia duduk di sampingku,
membuka-buka agenda hariannya, dan mulai bercerita. Seolah aku pasti
tertarik dengan kisahnya.
“Setiap pagi saya mengayuh sepeda ke sebuah rumah makan Indonesia. Di
rumah makan itu, saat makan siang pengunjung cukup ramai. Di sana saya
mencuci piring selama dua jam. Upah per jam empat gulden, dan dalam
sebulan saya dapat dua ratus empat puluh gulden. Jumlah yang
sesungguhnya tak banyak, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari: membayar kamar sewa, menabung lima gulden, dan sisanya
untuk makan.”
Aku mengangguk. Tahukah orang tua ini bahwa ia telah merusak pagiku?
Di taman ini aku hanya ingin menghirup bebauan musim semi, manis donat
dan memandangi tulip warna-warni yang bergoyang. Bukan dan sama sekali
tidak ada niatku untuk mendengar ceritanya.
“Di sore hingga malam hari, saya ikut kursus apa saja, asal
cuma-cuma. Mulai dari kursus bahasa Belanda, membetulkan sepeda,
komputer untuk pemula, matematika, sampai membuat keramik. Saya tidak
ingin terus menerus mencuci piring. Dengan mengikuti kursus-kursus itu,
saya berharap kehidupan saya akan lebih berarti.” Ia terdiam, menoleh
padaku dan bilang, “Sampeyan pastinya pelajar, toh.”
Aku menelan ludah. Pahit.
Delft, Musim Panas
Kami bertemu di kamarnya, di loteng lantai tiga sebuah rumah bedeng.
Ada lima kamar di rumah itu, hampir semua penghuninya kerja serabutan
macam ia juga. Kecuali penghuni satu kamar bawah, yang juga pemilik
rumah, yang bekerja memasak di sebuah kedutaan negara.
Kamarnya sungguh sempit, hanya seluas rentangan tangan. Sebelah ruang
miring mengikuti atap. Kertas dinding pudar dan mengelupas. Di sudut
dinding, lumut menghitam oleh kondensasi. Sebuah wastafel tua, kacanya
berbintik-bintik hitam, bersebelahan dengan meja berlaci. Permukaan meja
ia pakai untuk meletakkan apa saja, mulai dari makanan, piring-gelas
sampai buku. Kasur tidurnya sudah tipis sekali, ketika aku duduk, pernya
terasa menusuk.
Ia menawari aku makan. Ada makanan sisa kemarin, katanya. Ayam
dibumbui rendang. Kami makan sambil memandangi jendela. Luar jendela itu
hanya dinding bata flat sebelah. Tapi cukuplah untuk menghindari
pandangan mataku dari dinding kamarnya yang buram.
“Kau tahu,” ia berkata di sela kunyahan, “dulu saya seorang
profesional. Profil saya ramai ditulis koran-koran. Tapi di sini, tak
ada seorang pun mengenal saya.”
Ia tersenyum kecut. Jemari tangan kanannya berlumuran bumbu rendang, dan nasi menempel di sana sini.
“Dulu, saya seorang mahasiswa yang aktif di organisasi seni. Saya
telah menulis dan mementaskan naskah pertunjukan teater di berbagai
kota. Saya piawai menyutradarai macam-macam drama sastra, dan memiliki
tiga buku puisi tunggal. Banyak penghargaan saya dapat. Orang ramai
memuji. Banyak yang berkata, saya berpotensi menjadi seniman besar
Indonesia! Dengan umur semuda itu!”
Aku diam, berusaha menghabiskan nasiku. Sebagian nasi yang ia suguhkan sudah mengering, dan ini sulit sekali untuk kukunyah.
“Kau tak percaya?” ia bertanya.
Aku mengeleng, lalu mengangguk. Mulutku penuh, tak bisa menjawab
pertanyaannya. Selesai makan, ia mengajakku ke rumah kenalannya. Aku
melirik jam di dinding. Sudah jam sembilan malam, tapi matahari masih
terik di luar sana. Aku mengiyakan ajakannya.
Ia menuju satu-satunya radiator pemanas di kamarnya. Lalu ia
mengambil jas di gantungan di balik pintu dan mengenakannya. Ia kembali
berlalu ke radiator pemanas, memastikan radiator itu mati.
Ini musim panas, pikirku, radiator itu mungkin sudah dimatikan berminggu-minggu lalu.
Dan ia masih terus berbicara, “Setiap malam, sendirian di kamar yang
sempit, badan terasa remuk redam. Betis kaki lelah kejang mengayuh
sepeda. Ada kala hati pun terasa penat luar biasa. Jika sudah begitu,
saya kembali menguatkan diri. Saya kembali mengingat-ingat kenangan
tentang Indonesia. Tentang rumah, keluarga dan sahabat. Ah, setidaknya
saya masih hidup. Tidak seperti kawan-kawan lain, yang dipenjara,
disiksa dan kuburnya entah di mana.”
Ia membukakan pintu kamarnya, menyilakan aku keluar. Ia masih terus
bercerita, “Dulu tabungan saya cukup banyak. Dengan tabungan itu saya
berharap dapat pulang ke Indonesia. Namun lama-kelamaan tabungan itu
sering terpakai. Ada-ada saja penyebabnya. Ban sepeda yang perlu
diganti. Jaket hangat yang berlubang dan sepeda yang dicuri orang,
memaksa saya membeli yang baru. Gigi yang kerap sakit memerlukan biaya
perawatan.”
Ia mengunci pintu dan kami menuruni tangga. Satu-dua anak tangga, ia
memintaku menunggu. Gegas, ia kembali ke pintu kamarnya, memutar
pegangan pintu berkali-kali, memastikan pintu telah dikunci.
Lalu, ia kembali menuruni tangga, dan masih melanjutkan
kisahnya, “Kalau saja tak ada peristiwa itu. Kalau saja saya menolak
beasiswa yang diberikan pemerintah atau puas berkuliah di dalam negeri
saja. Tentu saya tak akan sengsara seperti ini. Tak akan merasa kesepian
yang sangat. Bahkan mungkin, saya tak akan mengenal apa itu ‘kesepian’.
Dan mungkin saja, saya sukses dan hidup bahagia.”
Di luar rumah matahari bersinar hangat dan burung-burung merpati
ramai mematuki sela-sela bebatuan jalan. Kami berjalan pelan, menuju
taman. Satu-dua langkah, ia memintaku berhenti. Ia berlari ke pintu
utama rumah sewanya, memastikan pintu itu sudah ia kunci.
Ito dan Khaled
“Kemari, minum teh dulu, Ito.”
Aku membungkuk dan menyemprotkan desinfektan ke tempat duduk kloset.
Mengelap dudukan itu melingkar, kemudian mengangkatnya dan menyandarkan
pada tangki air. Di sudut-sudut bagian belakang dudukan terlihat
bercak-bercak sisa orang buang hajat. Sungguh menjijikkan dan berbau
tidak sedap.
“Orang-orang kerap terlalu tak peduli untuk membersihkan kotorannya sendiri,” dengusku.
Tak terkecuali di kantor yang mewah seperti ini, yang mempekerjakan
ratusan orang pintar, yang berpakaian rapi dan wangi. Perlakuan mereka
terhadap kebersihan toilet tak jauh berbeda dengan perlakuan teman-teman
di rumah sewaku, yang kebanyakan imigran berpendidikan rendah, tak
memiliki pakaian mahal dan jarang mandi, berbau harum apalagi.
Segera saja kusemprotkan berkali-kali cairan pembersih, dan
menyapukan lap ke sekeliling tutup. Seandainya cairan pembersih yang
kupakai beraroma apel atau lavender, tentu pekerjaanku akan jauh lebih
menyenangkan. Tapi, tentu karena harga pengharum itu dua kali dari
pembersih biasa, tak pernah kantor ini menyediakannya.
Selesai dengan tutup dudukan kloset, hati-hati aku menuangkan cairan
pemutih pada mangkuk kloset, demi memastikan bahwa sela-sela ceruk
pangkal mangkuk ikut tersiram. Kemudian, dengan sikat berpegangan
panjang, kubersihkan sampai ke ujung leher pipa. Cairan pemutih yang
berwarna kekuningan berubah kecokelatan karena bercampur kotoran.
Kutekan tombol siram. Air berhambur deras dari tangki, menghapus semua
kotoran dan meninggalkan mangkuk kloset yang putih bersih. Selesai sudah
yang satu ini.
“Ito, minumlah dulu,” Khaled kembali memanggil. Di gedung ini, Khaled bertugas mengepel lantai.
Keluar dari bilik jamban, kulepaskan sarung tangan karet kuning.
Sambil membawa botol desinfektan dan cairan pemutih, aku menuju gudang
perlengkapan, meletakkan botol-botol itu pada sebuah rak. Setelah itu
aku pergi ke wastafel, membasuh tangan dengan sabun dan air hangat.
“Aku sudah minum teh pagi tadi,” kataku.
“Satu setengah jam yang lalu? Ayolah minum dulu barang segelas.”
Akhirnya aku menarik sebuah kursi kayu berkaki tiga dari bawah rak,
duduk bersebelahan dengan Khaled di lorong gudang perlengkapan yang
sempit, penuh sesak oleh sapu, ember, pel dan berol-rol kertas toilet,
juga segala macam bentuk dan warna botol-botol cairan dan semprotan
pembersih. Kursi yang kami duduki terlalu kecil untuk Khaled. Ia
terlihat seperti raksasa yang duduk di kursi kanak-kanak. Khaled
menuangkan teh panas, dari termos yang ia bawa dari rumahnya, ke gelas
plastik.
“Bagaimana kursus bahasa Belandamu?” tanyaku, meneguk hangat teh.
“Mijn naam is Khaled,ik komt uit Afghanistan en ik hou van patat met mayo.”
Sambil mengucap itu, mata Khaled berputar-putar jenaka, alis tebalnya
naik turun. Aku tertawa. Masih ada sekitar dua puluh empat kloset lagi
yang harus aku bersihkan. Sebaiknya aku bangun dan bergegas. (*)
Delft-Lancaster, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar