Cerpen Ubaidillah
Terbit di Suara Merdeka, 13 Januari 2013
Bahan Referensi Cerpen - BAGAI tak ada luka yang paling lara yang pernah ia rasakan
sepanjang hidupnya daripada melihat senja yang memerah di pantai itu.
Senja yang sebenarnya sejak kecil sangat ia sukai. Saat itu, ia sering
melukis senja merah di pasir yang berkilauan persis di bibir pantai
dengan ranting kering yang terhempas ombak sambil membayangkan dirinya
berlarian dan menari-nari di atas mega-mega yang dikhayalinya bagai
kapas lembut berwarna merah bersemburat cahaya keemasan.
Setiap ia melukis senja merah, selalu saja tak pernah selesai, sebab
lidah gelombang selalu mengempasnya. Namun ia tak mau berhenti melukis
senja merah itu. Ia akan melukis lagi dan melukis lagi hingga senja
merah itu lenyap.
Kini, setelah bertahun-tahun menjalani hidup yang sebenarnya, ia tak
mau lagi mengkhayali merahnya senja. Jagat senja yang ia ciptakan di
alam pikirannya kini telah berubah menjadi kebencian. Setiap senja
memerah, saat itu pula ia menjadi geram dan menjerit hingga parau
suaranya hingga meronta-ronta seperti ubur-ubur yang tertusuk duri-duri
kulit ikan baronang, kemudian ia akan melempari senja dengan pasir,
batu, tempurung siput, kerang, sendok, kaleng, bubu, jala, sisir, gincu,
cermin, gelas, toples, bedak, atau apa saja yang bisa ia lempar dengan
gigi yang gemelutuk sembari mengumpat dan bersumpah serapah dengan
kata-kata yang tak mudah dipahami. Beberapa untaian kata lebih mirip
sebagai mantra yang ia ucapkan dengan tangan terkepal bergetaran dan
tubuh yang kian kaku. Ia akan menumpahkan kemarahannya yang lebih merah
dari merahnya senja, hingga senja itu akan tertutup oleh benda-benda
yang ia lemparkan hingga warna merah dengan semburat cahaya keemasan
mulai pudar dan berganti gelap. Saat seperti itulah bayangan wajah dan
peristiwa yang menghancurkan hidupnya baru mulai bias. Namun bukan
hilang. Hanya bersembunyi dalam gelap pantai dan dentuman gelombang yang
menghantam dinding-dinding batu pemecah gelombang.
***
KEGANJILAN wanita itu rupanya telah lama membuat para nelayan
perahu sopek di pantai itu kesal. Sebab jagat langit adalah jagat
mereka. Ketika di tengah laut, mereka akan bergantung pada langit,
bintang, matahari, bulan, dan senja. Saat senja pula para nelayan perahu
sopek di pantai itu akan membongkar ikan-ikan yang ia tangkap dengan
jaring mini purse seine. Sementara istri mereka akan menunggu di
rumahnya dengan perasaan was-was akan hasil jerih payah lelakinya di
atas perahu sopek. Juga anak-anak mereka yang kehilangan senja saat
bermain-main sembari mencari ikan atau kepiting dengan kail atau dengan
jala. Untunglah, kebanyakan dari mereka masih mau bersabar dan melas.
Satu-satunya orang yang bisa menghentikan ulah wanita itu hanyalah
Sakam, suaminya sendiri.
“Sudahlah, Sum! Berhenti atau mau aku lempar kau!”
Bila sudah dibentaknya, barulah Sum mau berhenti melempari
benda-benda ke arah senja dan ia akan berlari memasuki gubuk lalu
menutupi kepalanya dengan kain atau bantal. Tapi Sum tidak pernah
menangis, sebab ia tak lagi bisa menangis. Ia tidak seperti kebanyakan
wanita yang mudah menangis dan menyerah kalah karena ketidakberdayaannya
menghadapi yang tak mampu dihadapinya. Laut telah menjadikan ia wanita
karang.
Tubuhnya saja yang bergelimpang ke sana ke mari di atas pasir yang
mengeras yang menjadi lantai rumahnya, seperti waktu-waktu yang lalu,
ketika senja mulai turun di atas pantai yang tak begitu jauh dari
rumahnya. Rumah kecil yang lebih pas disebut gubuk, karena hanya
berdinding bilik bambu yang sudah mulai lapuk dan berlubang-lubang, yang
membuat angin basah dari laut dengan mudah menembus pori-pori kulitnya
yang kian legam.
Di gubuk itu pula, hidupnya setiap saat makin digerogoti oleh
ketidakberdayaan menghadapi keadaan. Ketidakberdayaan menghadapi
persoalan hidup, harga diri, dan cinta yang telah dicampakkan oleh
suaminya pada dirinya. Lelaki itu mestinya menjadi satu-satunya sandaran
hidup. Namun kini justru tak ada bedanya dengan anjing-anjing di negeri
seberang yang telah memangsa kehormatan kewanitaanya, saat dirinya
mengais rezeki di sana. Begitu juga cinta Sakam yang mestinya semakin
menggunung dan berubah menjadi rasa kasih sayang yang paling purba, kini
justru makin menjadi jurang yang sangat curam. Dan ia berdiri di
bibirnya.
“Bangsat kau, Sakam!” jeritnya bagai menggetarkan dinding-dinding gubuk tua yang telah lapuk dikoyak angin bergaram.
“Kau kira aku akan menyerah dan bertekuk lutut di kakimu? Cuih! Tidak akan, Sakam!”
“Tapi kenyataan lain, Sum,” kata sesosok bayangan wanita tua yang
membuat Sum terperanjat. Sosok bayangan itu memang selalu hadir usai Sum
merasa nyaris kalah menghadapi Sakam. Entah sudah berapa lama bayangan
itu muncul di depan jendela bergorden kain lusuh sembari memandangi
jagat laut dengan senja yang merahnya mulai dirayapi awan hitam
keemasan. Pandangannya tenang dengan sorot mata tajam menatapi laut yang
makin tebal ombaknya. Desir angin mulai kuat, dingin, dan basah. Wajah
sosok wanita tua itu seperti memahami betul bagaimana jagat berputar dan
bagaimana jalan hidup yang harus dilakoni Sum.
“Kalaulah senja itu runtuh, apakah kau yakin Sakam akan berhenti
bercinta dengan Darti di perahu sopek yang dibeli dari hasil keringatmu
bekerja di negeri seberang?”
Pertanyaan wanita tua itu bagai menampar kesadaran Sum. Sebab dengan
perlawanan yang ia lakukan selama ini terhadap suami dan bayang-bayang
kelamnya telah diyakini Sum bakal mampu meluluhkan kecongkakan Sakam,
lelaki yang masih sangat dicintainya. Tapi, justru cara itu
dipersalahkan oleh wanita tua itu.
“Kalaulah benda-benda yang kau lemparkan setiap senja memerah itu
ambruk, akan mampu mengubur dalam-dalam anjing-anjing di negeri seberang
yang telah menggerogoti tubuh dan kehormatan kewanitaanmu?”
Pertanyaan wanita tua itu kembali bagai membentur-benturkan kepalanya
pada batu karang. Pertanyaan itu terasa lebih keras dan membuat darah
Sum makin mendidih. Napasnya seperti napas anjing kelelahan.
“Tidak akan, Sum,” kata wanita tua itu menjawab sendiri
pertanyaannya. “Meskipun senja merah yang kau benci itu runtuh, Sakam
tetap saja akan bercinta dengan Darti, di perahu yang ia beli dari uang
yang kau dapat dari negeri seberang. Sakam akan tetap membawa Darti ke
tengah laut dan menghabiskan malam di perahu sopek itu.”
“Aku yakin Sakam akan berubah. Sebab aku tahu benar bagaimana
perasaan cintanya padaku sebelum aku berangkat ke sana,” sanggah Sum.
“Tidak mungkin, Sum. Sakam selamanya akan seperti itu sebab ia merasa
kecewa padamu, juga pada dirinya sendiri. Kecewa padamu, karena dulu
kau membangkangnya. Kau nekat pergi ke negeri seberang, padahal Sakam
sudah melarang. Pembangkanganmu menyebabkan ia merasa kalah sebagai
lelakimu. Sementara waktu berjalan, cinta Sakam pada Darti akan semakin
hebat. Nah, apa mungkin ia mau meninggalkan Darti lalu ia kembali padamu
lagi? Jangan bodoh, Sum!”
***
BAGAI kelebat sayap kelelawar, bayangan wanita tua itu lenyap
tak tertangkap kedip mata. Sum masih duduk dan menunduk menatapi lantai
tanah berpasir. Lalu dipandanginya rumahnya yang nyaris kosong. Semua
benda yang ada sudah habis dilempar Sum untuk menutup senja merah yang
dibencinya. Benda satu-satunya yang tertinggal hanya sebuah bingkai foto
saat pernikahannya dulu dengan Sakam. Di luar awan nyaris sempurna
hitamnya.
“Brak!”
Sum terperanjat ketika pintu terdobrak. Matanya terbelalak melihat
dengan samar-samar sebuah sosok tubuh lelaki. Tapi Sum tahu betul. Sosok
itu adalah Sakam. Kini ia telah berdiri di bawah pintu gubuknya. Sum
dengan cepat mengangkat kedua kaki di atas dipan tak berkasur dan
didekapnya dengan erat kedua kakinya itu. Sum merasa ketakutan yang luar
biasa. Sum membenamkan wajahnya pada kedua kakinya. Tak ada cahaya di
gubuk itu, selain dari semburat bulan di awan.
Sakam melangkahkan kakinya perlahan mendekati Sum, lalu ia duduk di belakang tubuh istrinya.
“Sum,” panggil Sakam datar, “aku ingin mengatakan sesuatu yang selama
ini menjadi ganjalan di antara kita. Sudah lama kita tidak bicara.”
Sum masih tetap saja membenamkan wajah di kedua kakinya. Kali ini
tanpa disadarinya, kedua mata Sum basah, lalu membanjir hingga membasahi
baju, kedua kaki dan tangan, dan tak lama kemudian pantatnya telah
basah dan berkubang oleh air matanya, lalu air mata itu menetes ke
lantai hingga lantai tanah yang berpasir itu banjir, hingga keheningan
dalam gubuk itu terpecah oleh suara tetesan air dari kedua mata Sum.
Malam terus beringsut. Suara debur ombak makin terdengar jelas.
Dentum benturannya bagai menggema di rongga dada Sakam yang makin terasa
sesak. Sakam lama tak melanjutkan ucapannya. Mulutnya terasa berat
untuk kembali mengucapkan isi hatinya. Sementara air mata Sum terus
mengalir dan menggenang di lantai. Sakam makin merasakan dinginnya air
mata Sum. Air mata kesedihan sorang wanita yang sebenarnya masih ia
cintai, yang bertahun-tahun tak pernah tertumpahkan.
“Sum, aku berpikir semua ini harus berakhir. Jadi, biarlah aku yang mengakhiri. Maafkan aku, Sum.”
Tak banyak kata yang kembali terucapkan oleh Sakam. Lalu ia beranjak
dari duduknya dan menghambur keluar berjalan dengan langkah sigap di
malam yang makin kelam. Entah ke mana Sakam pergi. Sementara Sum masih
tetap membenamkan wajah di kedua kakinya. Pintu gubuk yang tetap
terbuka, membuat desir angin laut makin leluasa memainkan rambut Sum.
Sum mengangkat wajahnya dengan mata yang lembab.
“Kau mau ke mana?”
Tak ada sahutan. Lalu Sum beranjak dari tempat duduk dan dengan
langkah setengah berlari ia pergi menuju dermaga kecil. “Sakam, kau
jangan pergi,” katanya dalam hati. Sum makin galau ketika dilihatnya
perahu sopek milik suaminya sudah tak tertambat di dermaga kecil itu.
***
DI kejauhan tengah laut yang ombaknya berkilauan bagai sapuan
sinar rembulan yang bulat utuh, Sakam telah membawa Darti di atas perahu
sopeknya. Ah, apalagi kalau bukan untuk mengukuhkan cinta mereka yang
makin membara. Sakam pergi membawa dendam pada Sum dan pada dirinya
sendiri yang dianggapnya telah kalah menghadapi ketakberdayaan hidup
bersama Sum. Meskipun untuk hidup apa adanya.
Di dermaga kecil itu, hati Sum makin remuk redam. Bagai tak tahan
menahan sembilu di hatinya, ia segera melompat ke sebuah perahu kecil.
Dilepaskannya tali yang terikat pada sebuah kayu yang terpancak. Lalu
digayuhnya perahu itu sekuat tenaga. Sum tak memperdulikan lagi
kencangnya angin. Sum sudah tak gentar lagi dengan ombak yang makin
ganas. Sum terus menggayuh perahunya hingga tubuhnya basah bercucuran
oleh keringat dan debur ombak yang menghantam perahunya, hingga perahu
itu makin tak terkendali, terseok-seok diperdaya arus dan gelombang. Di
langit, rembulan yang bulat utuh perlahan tertutup awan hitam.
Setelah malam itu, berhari-hari bahkan ribuan hari orang-orang tak
pernah melihat lagi Sum, Sakam, dan Darti. Orang-orang tak pernah tahu
ke mana mereka pergi. Hingga senja di pantai itu tak pernah ada yang
mengganggu lagi. Dan di pantainya, senja itu akan tetap memerah. (*)
Tegal, Oktober 2012
Catatan:
Perahu Sopek: sebutan untuk perahu kecil bermesin out-board di daerah Tegal dan sekitarnya.
Mini purse seine:jenis jaring lingkar dengan ukuran kecil atau pendek.
Ubaidillah lahir di Tegal, 11 Oktober 1970 dan kini mengajar di SUPM Negeri Tegal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar