Cerpen Apendi
Terbit di Kompas, 27 Januari 2013
Bahan Referensi Cerpen - HIDUP ini absurd. Tak layak dijalani. Dan karena itulah ia
tidak terkejut lantaran menyadari bahwa ia tidak merasa sedih andaikata
malam ini juga ia ditinggal pergi oleh neneknya yang sedang terbaring
koma karena kelelahan.
Namun meski demikian bukan berarti ia tidak dilanda perasaan bersalah
dan penyesalan. Laki-laki itu sebenarnya sudah tahu dari dulu, sewaktu
neneknya masih sehat, bahwa ia akan sama seperti orang lain pada
umumnya—menangis dan menyesal ketika ditinggal pergi orang yang
dicintai, dan bukannya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya ketika mereka
masih hidup.
Seharusnya ia yang cuci piring. Seharusnya ia yang pergi belanja ke
pasar, dan memasak, dan menyapu, dan mengepel dan… dan… segala
tetek-bengek lainnya yang ia anggap sebagai pekerjaan “tak penting”
karena menghabiskan banyak waktunya yang seharusnya bisa digunakan untuk
menulis.
Lima tahun ia telah berjuang di jalan pena ini, dan selama lima tahun
itu hidupnya bagai raja dalam dongeng. Ia tak perlu mengkhawatirkan
perutnya karena makanan akan selalu siap saji di atas meja. Neneknya
yang memasak untuknya, mengurus rumah, dan bahkan mencuci pakaian
kotornya.
Seharusnya ia yang mencuci baju.
Seperti kebanyakan penulis lainnya, laki-laki itu pada mulanya
menganggap bahwa ia hanya perlu bekerja keras selama satu-dua tahun, dan
setelah novel pertamanya terbit dan meledak di pasaran, maka ia akan
punya cukup banyak uang dan waktu untuk menemani dan membahagiakan
neneknya. Ia tak perlu menjadi seperti orang lain yang menghabiskan
delapan sampai sepuluh jam waktu mereka hanya untuk mencari uang dan
mengabaikan kebersamaan dengan orang terdekat.
Malam ini, ketika sedang menjaga neneknya, laki-laki itu sadar bahwa
tidak diperlukan sepeser pun, pada waktu itu, untuk membantu neneknya
mencuci piring atau melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Namun setelah menyadari kenyataan itu pun, ia tetap merasa risau.
Andaikata neneknya siuman dan kembali pulih, lalu apa yang akan terjadi?
Siklus akan kembali bergulir. Sisyphus akan menggelindingkan batu
kembali. Lelaki itu akan menghabiskan banyak waktunya untuk menulis dan
membaca dan membiarkan neneknya mengurus rumah tangga.
Jika ia mempunyai kesadaran, ia akan pergi bekerja. Tapi hati
kecilnya tahu kalau uang banyak juga tidak akan menyelesaikan masalah.
Uang tidak bisa membantu neneknya untuk mencuci piring, mengepel atau
menyapu lantai. Mungkin uang bisa menggaji seorang pembantu untuk
melakukan semua itu, tapi melakukan hal itu sendiri dan menggaji
seseorang untuk melakukan itu, akan berbeda sama sekali. Apalagi jika
tujuannya adalah untuk mewujudkan rasa bakti.
Lalu, jika ia memilih untuk tinggal di rumah dan membantu pekerjaan
rumah tangga (dan mengorbankan waktu menulisnya), ia akan merasa seperti
parasit lajang, dan laki-laki itu tahu kalau neneknya juga cemas
memikirkan masa depan cucunya setelah ia pergi nanti.
Laki-laki itu tahu kalau neneknya berharap ia pergi keluar mencari
kerja seperti pemuda-pemuda lainnya, tapi persoalannya ialah ia tidak
ingin menjadi seperti orang lain pada umumnya. Ia ingin menghasilkan
uang dalam pekerjaan yang benar-benar dicintainya.
***
Seolah masalahnya belum cukup, masalah yang lain pun bermunculan.
Mahasiswi kedokteran itu datang lagi pada malam jaganya yang ketiga.
Seperti biasa, mahasiswi itu mengatur cairan infus, dan menanyakan
seberapa banyak neneknya minum air.
Sikap ramahnya tidak dibuat-dibuat dan ia menjalankan tugasnya dengan
baik. Pada malam jaganya yang pertama ketika ia bertemu dengan
mahasiswi itu, laki-laki itu merasa hidup benar-benar sebuah lelucon.
Neneknya menderita penyakit serius sementara mereka (mahasiswa dan
mahasiswi magang) menganggapnya hanyalah sebuah persoalan. Sebuah ujian
yang harus diselesaikan tak peduli apakah si pasien pada akhirnya dalam
kondisi hidup atau mati. Dan ia sendiri, si lelaki, merasa tidak berdaya
akan panggung kehidupan yang ditawarkan padanya. Ia tidak mempunyai
pengetahuan medis untuk membuktikan apakah seorang dokter atau asisten
magang menjalankan tugasnya dengan baik, atau mungkin malpraktik.
Andaikata dahulu ia memilih untuk menjadi seorang dokter daripada
seorang penulis, mungkin saat ini ia dapat berdiri bersebelahan dengan
mahasiswi yang ingin dikenalnya itu dan menyamakan derajat sosialnya.
Tapi nyatanya, di sinilah ia sekarang. Hubungannya dengan gadis itu
hanyalah sebatas pemain dan penonton.
Gadis itu akan menyelesaikan kuliahnya, magang, dan menjadi dokter
sementara ia sendiri tidak pasti dengan karirnya sebagai penulis. Gadis
itu akan dapat hidup mandiri, menolong orang, dan mempunyai masa depan
yang cerah sementara ia akan mengemis sepanjang hidupnya demi
menyelesaikan novel-novelnya yang ia pikir akan bestseller. Ia juga akan lebih banyak membuat pembacanya bunuh diri ketimbang mendapat manfaat dan “pesan moral” dari buku-bukunya.
Namun tentu saja ada kemungkinan di masa depan sang gadis terlalu
jenuh melihat kematian dan sudah terlalu lelah dan bosan untuk menolong
pasien sehingga menjadikannya lebih materialistis. Dan karena itulah si
lelaki ingin mengenal sang gadis saat ia masih memiliki jiwa idealisnya.
Ia pun ingin tahu apakah sang gadis masih ingat dirinya andaikata
mereka bertemu dua puluh tahun lagi sebagai pasien dan dokter.
Laki-laki itu telah melatih percakapan imajiner itu di malam kedua.
Sang gadis sedang menuangkan air seni neneknya yang ada di dalam kantong
ke ember plastik untuk diukur.
Laki-laki itu bertanya, “Kamu sedang magang ya, di sini?”
Gadis itu menoleh, setengah terkejut kebekuan di antara mereka pecah,
dan setengah terusik karena hubungan profesionalnya terganggu.
“Boleh kenalan? Aku Casey.”
Gadis itu melirik ke arah pintu, khawatir rekan kerjanya memergokinya dalam situasi seperti ini.
“Casey?” gadis itu mengerutkan kening.
“Ah, ya, nama samaran!” jawab laki-laki itu.
“Kau ingin berkenalan denganku dan menggunakan nama samaran?” tanya gadis itu sedikit tertarik.
“Kuberi tahu nama asli pun kau pasti akan melupakannya,” sahut Casey.
Gadis itu sedikit terganggu atas perasaan rendah diri lawan jenisnya.
“Aku Maria Francisca,” ia mengulurkan tangannya dan Casey menyambutnya.
“Nama asli?”
“Ya. Kau tak akan lupa?”
“Tidak akan pernah,” sahut Casey mantap.
Selama beberapa saat mereka berdiam diri satu sama lain.
“Kau percaya kalau kukatakan aku belum pernah mengajak berkenalan seorang cewek pun?”
Maria tersenyum. Casey menebak jalan pikirannya. “Ya. Aku percaya.”
“Kau tahu mengapa aku ingin mengenalmu?” tanya Casey.
“Tidak karena kau tertarik padaku? Karena kau ingin mengajakku nonton?”
“Itu karena kita tidak akan pernah bertemu lagi. Atau bertemu dua
puluh tahun dari sekarang sebagai dokter dan pasien tapi kau tak
mengingatku.”
Maria terkesima, “Kau punya imajinasi yang bagus.”
Casey tersenyum pahit. “Aku senang kita bisa bertemu pada saat sekarang ini. Apa kau punya e-mail atau nomor HP? Aku mungkin membutuhkan bantuanmu dua puluh tahun lagi!”
“Aku tidak punya utang apa-apa padamu. Dua puluh tahun lagi mungkin
aku akan menolak membantumu.” Meskipun demikian ia tetap menyerahkan
nomor HP-nya karena mengira Casey akan meneleponnya seminggu lagi.
“Itu pilihanmu,” sahut Casey.
Sepuluh atau dua puluh tahun lagi dia membutuhkan seorang dokter yang
mau membantunya menjual ginjalnya atau melakukan eutanasia. Seorang
dokter yang berani mempertaruhkan izin praktiknya. Maria mungkin mau
membantunya. Dan mungkin tidak. Tapi tidak ada salahnya dia berkenalan
dengan gadis itu dan menabung mulai dari sekarang.
Sayangnya, percakapan imajiner itu tetaplah menjadi sebuah ilusi yang
ada di dalam pikiran laki-laki itu. Ia tidak pernah berani mengajak
gadis itu berkenalan sampai pada saat neneknya sembuh. Maria tidak
pernah menyadari keberadaan Casey. Baginya laki-laki itu hanyalah
keluarga pasien yang datang dan pergi. Terlupakan.
Casey meringis. Dia bukanlah apa-apa di dunia nyata ini. Rumah sakit
ini bukan panggungnya. Satu-satunya cara agar gadis itu mengingatnya
adalah dengan membuat cerpen atau novel yang bagus. Mungkin gadis itu
akan sadar bahwa sosoknya telah menghiasi salah satu malamnya. Ia
berharap gadis itu membacanya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar