Cerpen Benny Arnas
Terbit di Media Indonesia, 20 Januari 2013
Bahan Referensi Cerpen - PADA kedatangan tak diundang dan tanpa pemberitahuan, pemuda
27 tahun itu sudah menyiapkan sebuah cerita untuk Mayang, perawan yang
saban petang selalu menyendiri di simpang kabupaten. Kebiasaan yang
sudah berumur 25 tahun.
Namun alih-alih mendengarkannya, perempuan itu bahkan tidak
serta-merta bisa menerima kedatangan seorang tak dikenal. Pemuda itu
berusaha tampak tenang, seolah sudah mengantisipasi semua kemungkinan.
Ia katakan bahwa sudah hampir dua tahun ia mencari perempuan itu. Jadi,
adalah konyol apabila ia harus kembali tanpa menuntaskan maksudnya.
Saya datang dari Binjai, sebuah dusun di Muarakelingi, katanya. Namun
apalah arti sebuah tempat bagi kedatangan yang tiba-tiba. Mayang
bergeming seperti tidak mendengar apa-apa. Bagi si pemuda, itu pertanda
baik. Apalagi perempuan itu lalu membuka daun pintu lebih lebar dan
menyilakannya masuk.
Ah, lampu-lampu di sepanjang jalan tujuannya mulai menyala.
Namun, baru saja ia duduk di kursi rotan tua dalam rumah papan itu,
perempuan itu sudah mengejutkannya. “Namamu Musmulikaing,” begitu
gumamnya. Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat
tanya. Dan, ia sepertinya memang tak memerlukan jawaban. Ia hanya
menatap si pemuda tanpa selidik. “Aku tak pernah berpikir kalau kali ini
mimpiku akan jadi kenyataan.” Lalu ia berlalu ke bilik belakang,
menyeka tirai kerang yang sudah jarang dan renggang.
Pemuda itu diam. Matanya mengekor punggung si perempuan yang lenyap di balik bilik.
“Sudah puluhan tahun, ada suara yang selalu berdenging dalam
mimpi-mimpiku. Seorang pemuda bernama Musmulikaing akan datang dalam
waktu dekat.” Suara Mayang terdengar jelas dari balik bilik kayu itu.
Sesekali bunyi sendok yang beradu dengan cangkir sayup mengetuk gendang
telinga. “Namamu memang rada aneh tapi kedengarannya tak asing. Aku tak
tahu kapan dan di mana namamu pernah kuakrabi. Ah biarlah, namanya juga
mimpi, kadang tak bisa dinalar.” Perempuan itu sudah kembali menerobos
tirai dengan secangkir teh hangat di tangan kirinya. “Tapi mimpi kali
ini, bagaimanapun, rasanya ada yang lain.” Ia meletakkan cangkir teh itu
di atas meja lalu duduk di kursi rotannya. “Minumlah. Tamu adalah raja.
Apalagi tamu dari alam mimpi.” Ia tertawa kecil, seperti mengejek
kata-katanya sendiri.
Pemuda itu cengengesan. Tangan kanannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Di zaman sekarang, mimpi yang benar-benar mengisyaratkan sebuah
kejadian sudah langka. Mimpi tak lebih sebagai perpanjangan kehendak
seseorang; apa-apa yang tidak atau belum mampu diraih di alam nyata, ia
bawa ke dalam tidurnya. Mimpi yang begitu, yang disebut bunga tidur,
mimpi yang tak berguna!”
“Lalu untuk apa seseorang dalam mimpi itu mendatangimu?” tanya pemuda itu setelah menyeruput teh.
Mayang menggeleng. “Tapi… bukannya, kau ingin bercerita?”
***
Syahdan, seorang laki-laki mengungkapkan rahasia terbesar dalam hidupnya.
Ketika masih muda, ia menjalin hubungan dengan seorang gadis. Pemuda
itu ingin mempersembahkan kejutan kepada gadisnya dengan meminangnya
tiba-tiba. Benar! Apa yang ia lakukan memang mengejutkan. Pinangannya
ditolak. O, bagaimana ia lupa kalau seseorang yang lahir, tinggal, dan
berdikari di Binjai, dusun rumah tinggi yang hidup dari menyadap karet
dan menjaring ikan seluang di anak Sungai Musi, taklah mampu berdiri di
atas anak tangga yang sama dengan gadis keturunan pesirah di Kayuara.
Tercorenglah keluarga besar sang pemuda. Betapa malunya. Sang gadis
benar-benar kecewa dengan apa yang keluarganya perbuat. Ia memang
menyesalkan tingkah kekasihnya yang tiba-tiba datang dengan 20 orang
sanak kerabat, 12 nampan berisi bejek ketan hitam, 6 tandan pisang
tanduk, dan sepikul beras dayang rindu. Namun, sungguh, semuanya menguap
dan menjadi tak berarti bila dibandingkan dengan ketakterimaannya atas
kepongahan keluarganya. Maka, lewat seorang pesuruh yang setia, ia
mengirimkan sepucuk surat kepada si pemuda. Ternyata maksud tak
selamanya selaras dengan kenyataan. Surat yang dilemparkan si
pesuruh—sebagaimana amanah si gadis—lewat daun jendela kamar si pemuda,
tertangkap pandang oleh ayah si pemuda.
Sebuah rencana pembalasan pun disiapkan. Sang ayah tak pernah
menyampaikan surat itu kepada putranya. Bahkan, hingga putranya ia
jodohkan dengan seorang perempuan yang masih berkerabat jauh satu tahun
kemudian.
Ia tahu, putranya menerima begitu saja karena kecewa pada kekasihnya yang tiada kabar berita setelah pengusiran itu. Bagi si pemuda, peristiwa memalukan itu bagai menegaskan bahwa gadis itu sengaja menjauh darinya, melepas hubungan yang sudah sekian lama dikebat….
Istrinya, karena tak kuat menjadi pajangan yang hanya digauli di
malam punai, akhirnya meradang berpanjangan. Sebenarnya, tiadalah si
pemuda bermaksud demikian. Namun, alam bawah sadar bagai menuntunnya
untuk melakukan hal-hal yang bukan tabiatnya. Mereka tak ubahnya dua
orang asing yang dirumahkan. Tanpa sapa, canda, apalagi cerita mesra.
Entah karena ajal yang sudah tiba atau rajaman kenelangsaan, sang istri
meregang nyawa beberapa hari seusai melahirkan anak pertama; laki-laki.
Suaminya membesarkan putra semata wayangnya sendirian. Ia ingin
membuktikan kepada ayahnya yang sudah renta bahwa cintanya kepada gadis
Kayuara itu tak akan luruh hingga kapan pun, oleh apa pun. Awalnya sang
ayah tak mengacuhkan. Namun, mendapati kenyataan bahwa putranya mampu
hidup sendirian sembari membesarkan cucunya hingga bujang, adalah
tamparan keras baginya. Ia trenyuh. Sungguh, sebenarnya ia benci pada
ketaklukannya. Namun begitu, sejatinya ia lebih benci lagi pada
keegoisannya yang berlumut dan baru terkikis setelah hampir seperempat
abad kemudian—walaupun ia jua takkan lupa kesombongan keluarga si gadis.
Maka, pada suatu malam yang temaram, di ujung sakit tersebab usia
yang berkarat, ia membuka rahasia itu. Tentang surat itu. Tentang
pertemuan—di simpang kalangan dekat pohon merbau di Muarabeliti jelang
terbenamnya matahari—yang tak pernah ia beritakan kepada putranya.
***
“Simpang Muarabeliti—ibu kota kabupaten?” Tiba-tiba perempuan itu menyela.
Pemuda itu mengangguk.
“Petang?” Pemuda itu mengangguk lagi.
“Jadi surat itu tak pernah dibacanya? Apakah laki-laki itu tahu bahwa, hingga saat ini, gadisnya masih melajang?”
Pemuda itu diam.
“… dan hidup sebatang kara karena keluarganya tak sudi punya anak
pembangkang, tak sudi serumah dengan gadis yang mencintai pemuda tak
sepadan.”
Tiba-tiba perempuan itu bangkit dari tempat duduknya. “Mengapa, mengapa ceritamu….”
“Ya, mungkin Ibu heran mengapa ceritaku sangat mirip dengan kisah hidup Ibu, bukan? Ibu pernah tinggal di Kayuara?”
“Jangan sok tahu!” Suara Mayang meninggi.
“Bukannya Ibu yang sok tahu?” Pemuda itu balas berseru. “Ibu sok tahu kalau gadis dalam ceritaku masih melajang hingga kini!”
Mayang tercenung seperti terhenyak. Lalu perlahan ia kembali duduk.
“Ternyata penantianku adalah panggilan tanpa bunyi dan jawaban.”
Suaranya terdengar lempang tanpa gairah. Matanya memerah.
“Penantian? Menantikan laki-laki dalam ceritaku?” Suara pemuda itu lirih, hampir tak terdengar.
Mayang tak menjawab. Hanya air matanya yang tiba-tiba meleleh.
“Menantikan Semibar?” Suara pemuda itu bagai tercekat.
“Dan kau adalah Musmulikaing.” Suara Mayang memarau. Ada senyum
tipis, sangat tipis, menggurat di bibir perempuan itu. Ia menyeka air
matanya dengan ujung baju katunnya.
“Bukan!” tukas pemuda itu cepat. “Aku….”
“Ya, bukan hanya itu!” potong Mayang tak kalah cepat. “Musmulikaing
adalah buah perkawinan Semibar dengan Jeruma yang tak berumur lama.”
Mulut pemuda itu terkunci.
“Dan gadis Kayuara itu adalah Mayang Nilamsari binti Umar Hamid, kan?!”
Pemuda itu tiba-tiba merasa kerongkongannya menyempit.
Perempuan itu kini tersenyum, benar-benar tersenyum. “Terima kasih
atas ceritamu. Ayahmu memang pujangga ulung. Untuk menjelaskan semua
keganjilan masa silam kami, ia bahkan merasa perlu mengutusmu untuk
bertandang dalam mimpi-mimpiku sebelum akhirnya hadir di hadapanku.”
Pemuda itu tersenyum, senyum yang lebih mirip seringaian.
“Aku tidak marah pada Semibar. Tak ada guna. Aku bahkan memaklumi
perkawinan itu. Cinta yang tulus adalah tinta daun bilau yang menetes di
kain kafan, nodanya takkan terkelupas apalagi terhapus oleh air hujan
sekalipun. O ya, sampaikan pada ayahmu: ‘Ada salam dariku’.”
Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya. Sebenarnya ia ingin
menjelaskan kalau namanya bukan Musmulikaing. Tapi hal itu menjadi tidak
penting lagi ketika mendapati kenyataan yang begitu menggetarkan:
seorang perempuan rela melajang hingga usianya merayap separuh abad.
Pemuda itu mencium punggung tangan Mayang dengan takzim, seolah
tengah mengucapkan selamat tinggal kepada ibu kandungnya, untuk membawa
kabar gembira nan memilukan ke tepian anak Sungai Musi lalu
menyampaikannya kepada Semibar.
Kepada ayahnya. (*)
------------
Linggau, Agustus-Desember 2012
Benny Arnas, mengelola Benny Institute di Lubuk Linggau, Sumsel. Buku terkininya Bulan Celurit Api (2010) dan Jatuh dari Cinta (2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar