Mahligai Merah Jambu

Cerpen Irwan Kelana

Terbit di Republika, 27 Januari 2012




Bahan Referensi Cerpen - LELAKI itu segera mengontak seseorang.

“Sudah dieksekusi, Bos. Mobilnya menabrak dinding pembatas jalan tol. Semoga orangnya koit.”

“Oke. Sore ini sisa pembayaran gua lunasi.”

“Okelah, kita percaya sama Bos.”

Yang dipanggil bos tersenyum kecut.

“Rasakan olehmu, Rin. Itulah balasan bagi wanita yang berani menolak cinta Dicky. Biar mampus si Bayu.”

Dua tahun lalu, gadis berjilbab itu menolak cintanya. Padahal, selama ini belum pernah ada seorang gadis pun yang berani melakukan hal tersebut kepadanya. Para gadis berebut mencari perhatiannya agar bisa berkencan dengannya dan menikmati mobil-mobil mewahnya.

Sudah barang tentu mobil-mobil mewah tersebut bukan dibeli dari hasil keringatnya sendiri, tapi merengek kepada orang tuanya. Boleh jadi, mobil-mobil yang berharga Rp 1 miliar ke atas itu hasil korupsi ataupun sogokan dari para pengusaha untuk melicinkan bisnis mereka. Siapa tahu? Yang jelas, Rindu paling tidak suka lelaki yang suka pamer barang mewah, tapi masih bergantung di ketiak bapaknya.

***

Hujan deras mengguyur sepanjang tol Cipularang dari arah Bandung ke Jakarta. Indra mengendarai mobil di jalur kanan dengan kecepatan tak melebihi 80 km per jam.

Tanpa mereka sadari, sebuah minibus membuntuti mereka sejak keluar dari kompleks perumahan Sukaluyu di Bandung, rumah keluarga Rindu. Begitu pula ketika mereka melanjutkan perjalanan dari Rest Area Terusan Pasteur.

Di kilometer 97, tiba-tiba minibus bus yang berada di jalur tengah itu menyalip dari kiri dan memotong jalur. Indra terkejut. Refleks, ia membanting setir ke kanan dan menabrak pembatas jalan. Mobil di belakang yang tak sempat mengerem secara sempurna akhirnya menabrak bumper mobil tersebut.

Tak berapa lama, ada iring-iringan rombongan wartawan yang baru saja meliput acara kunjungan seorang menteri ke Bandung. Itu sebabnya, hanya dalam hitungan menit berita itu sudah muncul di layar televisi dan media online.

***

Rindu baru saja menghidupkan pesawat televisi ketika breaking news itu muncul. “Tabrakan di Tol Cipularang”.

Firasatnya tiba-tiba mengatakan ada sesuatu. Satu jam lalu, Bayu menelepon dia dari Rest Area Terusan Pasteur. Bersama dua anak lelakinya, Indra dan Andre, Bayu segera melanjutkan perjalanan ke Jakarta setelah istirahat sejenak sambil menikmati somay Bandung dan membeli oleh-oleh.

Beberapa jam yang lalu, Bayu baru saja datang ke rumahnya untuk menyampaikan lamaran.

Tiba-tiba, Rindu berseru, “Allah akbar. Ya Allah, Mas Bayu…?”

“Ada apa Teh?” tanya Tyas, adiknya, terkejut.

“Ya, ada apa Rin?” mamanya ikut bertanya.

“Mas Bayu, Ma. Mobil Mas Bayu tabrakan di Tol Cipularang,” sahut Rindu sambil menunjuk ke arah televisi.

Astaghfirullah,” ujar Hj Haryati terkejut.

“Bagaimana nasib Pak Bayu, Teh?” tanya adiknya. “Apakah dia selamat?”

“Teteh belum tahu.”

Gambar di televisi itu menunjukkan dua mobil yang tabrakan beruntun. Bumper MPV putih susu itu kelihatan ringsek. Dari pelat nomornya, Rindu ingat betul bahwa mobil itu milik Bayu. Sedangkan, sedan yang menabraknya ringsek di bagian depan. Pintunya penyok.

Tak ada korban jiwa dalam kecelakaan tersebut. Korban luka, yakni tiga penumpang minibus dan dua penumpang sedan sudah dibawa polisi ke rumah sakit terdekat, yakni RS Efaria Etaham di Purwakarta.

Rindu berkali-kali mengontak nomor HP Bayu. Nadanya aktif, tapi tidak ada jawaban.

“Ayo kita ke rumah sakit, Ma,” ujarnya.

“Pa, antar Rin ke rumah sakit sekarang,” kata Rindu kepada Haji Surya yang baru pulang dari masjid.

“Siapa yang sakit, Rin?”

“Mas Bayu tabrakan di Tol Cipularang. Sekarang dia dibawa ke RS di Purwakarta.”

Astaghfirullah. Ayo, kita segera ke sana. Mamamu mana? Tyas juga. Semuanya ikut.”

***

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Rindu tak henti-hentinya menitikkan air mata. Hatinya sangat cemas akan nasib Bayu.

Haji Surya berusaha menenangkan putri sulungnya. “Tenanglah, Rin. Hidup dan mati Allah yang punya. Mintalah pertolongan kepada Allah, semoga Mas Bayu selamat.”

“Ya, Pa.”

“Banyak-banyak zikir dan baca shalawat.”

Rindu mengangguk.

Perjalanan Bandung-Purwakarta yang hanya berjarak beberapa puluh kilometer terasa begitu lama. Meskipun sedapat mungkin selalu berzikir kepada Allah, hati Rindu tetap saja gundah. Dia sangat khawatir akan nasib Bayu. Ya Allah, jangan biarkan aku kehilangan Mas Bayu. Selamatkanlah ia.

Tanpa disadarinya, ingatannya membawa ke pusaran masa lalu. Ia bukannya orang yang pemilih dalam mencari suami. Namun, sejumlah lelaki yang datang menghampirinya atau berminat kepadanya bukanlah orang yang ia yakini akan tulus menjadi imamnya.

Anak seorang gubernur yang sangat menyombongkan harta dan jabatan bapaknya. Mungkin lelaki itu menganggap Rindu mudah silau oleh harta dan jabatan.

Ada pula lulusan perguruan tinggi terkemuka di Timur Tengah. Namun, Rindu menolaknya lantaran dia sangat kaku dan menganggap hanya kelompoknya yang benar, sedangkan yang lain salah.

Ia pun terpaksa menolak cinta seorang dokter muda yang ganteng karena mendapat bocoran informasi bahwa lelaki tersebut bertaruh dengan teman-temannya untuk mendapatkannya.

Lalu, bagaimanakah cintanya kemudian berlabuh kepada Bayu? Sejak lima tahun silam bekerja di kantor tersebut, ia mengenal Bayu (dia selalu memanggilnya dengan panggilan “Pak Bayu” ) sebagai seorang yang selalu menjaga ibadahnya, terutama shalat berjamaah. Ia pun selalu setia mendengarkan kuliah tujuh menit (kultum) tiap usai shalat Zhuhur berjamaah.

Dan meskipun usianya sudah matang dan posisinya sebagai seorang manajer, ia dengan rendah hati dan sungguh-sungguh kursus bahasa Arab di kantor bersama dengan sejumlah karyawan yang umurnya rata-rata kepala dua, termasuk Rindu.

Ia tidak banyak tahu mengenai kehidupan pribadi Bayu. Sebab, lelaki tersebut tidak pernah mau menceritakan hal-hal yang bersifat pribadi.

Hanya dia tahu dari teman-teman bahwa Bayu kini adalah seorang duda. Konon, kata mereka yang pernah melihat istri Bayu, wanita tersebut berjilbab dan sangat lemah lembut. “Mungkin itulah sebabnya Pak Bayu sampai sekarang masih bertahan menduda. Mungkin, dia tidak bisa melupakan mantan istrinya,” kata Lina, sahabat Rindu.

Aneh. Rindu selalu merasa nyaman tiap kali berada di dekat Bayu. Meskipun lelaki tersebut tidak pernah berusaha mengatakan apa pun kepadanya yang mengarah kepada cinta. Dia hanya memberikan perhatian-perhatian kecil. Menanyakan apakah Rindu sehat, apakah Rindu sudah shalat, apakah Rindu puasa Senin- Kamis, bagaimana pekerjaan sehari-hari, dan sebagainya?

Ternyata, Bayu selama ini menaruh perhatian kepada Rindu, namun ia merasa tidak berani dan tidak pantas melakukannya sebab nama Rindu sama dengan nama mantan istrinya, kepribadiannya yang lembut juga mirip dengan almarhumah istrinya, dan umurnya bertaut 20 tahun. Rindu 27 tahun, sedangkan ia 47 tahun.

Setelah Pak Bayu pindah kerja dan menjadi direktur di sebuah perusahaan tambang di Kalimantan, setahun kemudian barulah terungkap perasaan cinta tersebut. Saat Rindu pun mengatakan perasaan yang sama kepadanya, Bayu terbang ke Jakarta. Pesawatnya kecelakaan. Hanya mukjizat yang membuat ia bisa selamat dari kecelakaan pesawat tersebut.

Kini, ia kembali mengalami kecelakaan seuai pulang lamaran.

***

MPV mewah itu dilengkapi sabuk pengaman hingga penumpang belakang. Bayu tidak terluka parah. Hanya memar di wajahnya dan tangan terkilir. Sementara itu, Indra dan Andre juga tertolong oleh air bag. Keduanya hanya memar di bagian kepala dan tangan.

Bayu dan anak-anaknya dirawat tiga hari di rumah sakit tersebut. Tiap hari, Rindu dan Tyas datang membesuk mereka.

Ketika akhirnya diizinkan pulang, Bayu meminta izin kepada orang tua Rindu untuk menikahi Rindu sesegera mungkin. “Dua kali kecelakaan dan selamat, sudah cukup. Belum tentu ada kesempatan ketiga, Pak,” ujar Bayu.

Mereka setuju. Pernikahan dilangsungkan secara sederhana di rumah orang tua Rindu. Sebuah pelaminan sederhana ditata di halaman rumah. Semuanya bernuansa putih.

***

Suara adzan Isya menyusup lewat jendela. Bayu segera berwudhu.

“Sayang, saya ke masjid dulu. Shalat berjamaah.”

“Ya, Mas.”

“Cantik juga segera shalat Isya ya.”

Rindu mengangguk sambil tersenyum manis.

Sepulang Bayu dari masjid, Rindu sudah menunggu di tepi ranjang. Ia masih mengenakan mukena warna putih susu yang makin menguarkan aura kecantikan wajahnya.

“Mas Bayu masih punya wudhu?” tanya Rindu lembut.

“Masih, Sayang,” sahut Bayu.

“Rin juga masih punya wudhu.”

“Kalau begitu mari kita shalat sunah dua rakaat.”

Seusai shalat, Bayu memimpin doa. Rindu mengaminkan. Batinnya dibalut keharuan yang luar biasa. Apalagi, ketika Bayu melantunkan kalimat:

“Ya Allah, hamba hanyalah orang biasa, seorang lelaki yang jauh dari sempurna. Namun, Engkau menganugerahkan kepada hamba seorang gadis yang salehah, salah satu makhluk terbaik yang Engkau ciptakan untuk menjadi istri hamba. Terima kasih ya Allah atas anugerah-Mu yang luar biasa ini. Bimbing hamba untuk selalu mensyukuri nikmat-Mu ini dengan cara senantiasa mencintai, menyayangi, memuliakan, dan membahagiakan Rindu karena-Mu ya Allah.”

Tanpa terasa, air mata Rindu menetes membasahi mukenanya. Ia mencium tangan suaminya dengan takzim. “Mas Bayu, Rin punya banyak kekurangan. Semoga Mas tidak kecewa menikahi Rin” ujarnya penuh kelembutan.

“Sayangku, percayalah, pernikahan itu menyempurnakan kekurangan yang ada. Semoga Allah meridhai dan memberkahi pernikahan kita.”

“Amin.”

Setelah itu, sejenak keduanya kikuk. Rindu menunggu dengan hati berdebar.

Akhirnya Bayu—meski awalnya kaku— mengambil inisiatif. Ia merengkuh tubuh istrinya untuk melaksanakan malam zafaf. Sambil membelai ubun-ubun Rindu, dia membaca doa penuh khusyu, “Allaahumma innii as-aluka khairahaa wa khaira maa jabaltahaa ‘alaihi wa a’udzu bika bin syarrihaa wa syarri maa jabaltahaa.”

“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya, dan kebaikan sesuatu yang menjadi tabiatnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan kejahatan yang menjadi tabiatnya.”

“Semoga Allah selalu memuliakanmu, kekasihku,” bisiknya di telinga istrinya.

Rindu memejamkan matanya. Betapa damai berada dalam pelukan suami yang dicintai dan mencintainya.

Perlahan Bayu membuka mukena istrinya. Ia terkejut saat melihat wanita yang dicintainya mengenakan gaun merah jambu. Gaun berlengan pendek dan panjangnya selutut itu begitu pas di tubuh Rindu yang ramping. Dia begitu terpesona, sehingga seakan kehabisan kata-kata.

“Sayang, terima kasih engkau mengenakan gaun ini pada malam pengantin kita,” suara Bayu tercekat di kerongkongan.

“Rin hanya menuruti kata hati. Begitu melihat gaun ini, Rin ingin sekali memakainya.”

“Tahukah kamu, gaun ini saya beli tiga tahun lalu ketika saya begitu kangen padamu. Saya melihat gaun ini saat melintas di sebuah factory outlet dan ada dorongan yang begitu kuat untuk membeli dan memberikannya kepadamu. Tapi, saya sadar, saya bukan siapa-siapa bagimu. Saya hanya berharap, semoga suatu hari nanti saya berkesempatan memberikan gaun merah jambu ini buatmu. Saya hanya ingin menghadiahkan gaun ini buat Rindu dan tak pernah berani berharap apa pun padamu. Cukuplah bagi saya mengetahui kamu bahagia.”

Rindu tersenyum lembut. “Kini Rin bahagia, Mas. Dan kebahagiaan Rin karena ditakdirkan hidup bersama Mas Bayu.”

Subhanallah walhamdulilah wallahu akbar.” Bayu kembali memeluk tubuh istrinya.

Kembali Rindu memejamkan mata, meresapi setiap detik yang berlalu. Di pojok dinding, sepasang cicak terdiam, seperti tak berani mengganggu kemesraan pasangan yang saling mencinta itu.

Di luar, angin berhembus perlahan, membelai dedaunan dalam sorotan rembulan.

Bayu membelai rambut istrinya yang tergerai hingga punggung. Rambut yang sangat halus, lembut, dan harum.

“Cantik ….” bisiknya lembut di telinga istrinya.

Perlahan, Rindu membuka matanya. Dengan nada malu-malu dan wajah tersipu, ia berkata, “Ya, Mas….” Suaranya terdengar berat dan manja.

“Sekarang, apa lagi yang kita tunggu…?” (*)


Jakarta, medio Oktober 2012
(dalam resah, dalam rindu)
Irwan Kelana, wartawan Republika yang juga cerpenis dan novelis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar