Cerpen Riki Eka Putra
Terbit di Republika, 13 Januari 2013
Bahan referensi Cerpen - MAK LEMAN menatap tajam ke arah televisi yang menyiarkan
siaran berita. Segelas kopi dan sepiring ubi rebus yang disediakan
istrinya tak lagi terasa nikmat. Bergumpal rasa iba bercampur marah
menusuk dinding hatinya saat melihat puluhan rumah, tanaman, hewan
peliharaan, dan harta benda lainnya disapu oleh bencana galodo. Tayangan
televisi lokal itu amat menyayat hatinya meski dua hari lalu ia turut
menyaksikan langsung saat bencana memilukan itu terjadi.
“Apa penyebab semua ini?” tanya Tek Baidar yang duduk di samping
suaminya. Wajahnya suram, sesuram suasana Kampung Tikalak dua hari
belakangan ini.
“Apalagi kalau bukan penebangan liar yang terjadi di hulu batang
Pakau sana,” jawab Mak Leman geram. Diminumnya kopi yang tinggal
setengah. Ia tak habis pikir dengan perbuatan manusia yang seolah tak
lagi punya hati nurani. Demi memperkaya diri, mereka rela mengorbankan
kehidupan orang banyak. Di sisi lain, Mak Leman juga menyalahkan dirinya
sendiri, mengapa ia tak pernah memiliki keberanian untuk melarang
tindakan para penebang liar itu.
“Bagaimana keadaan ladang kopi kita?” suara Tek Baidar terdengar tercekat. Gurat kecemasan tergambar jelas di wajahnya.
“Doakan saja semoga tidak terjadi apa-apa.” Mak Leman berusaha
bersikap tenang. Namun, ia tak dapat menyangkal bahwa hatinya turut
diliputi kegundahan. Dua hari sudah ia hanya membantu orang-orang
kampung yang terkena bencana. Dan, selama itu pula ia tak dapat melihat
keadaan ladangnya.
Matahari mulai meninggi. Di luar sana, orang-orang kian banyak.
Kampung Tikalak yang biasanya sunyi, kini tampak ramai oleh kehadiran
manusia yang datang dari berbagai pelosok daerah. Ada yang menjadi tim
penyelamat dan memberikan beraneka bantuan. Ada pula pejabat dan
orang-orang yang ingin berkuasa. Dengan berbagai tujuan, mereka
berlomba-lomba menjadi manusia dermawan. Bermacam bantuan mereka bagikan
kepada para korban. Namun, tak sedikit pula yang hanya menjadi
wisatawan bencana. Entah apa kepentingannya. Dengan handphone berkamera
di tangan, mereka mengabadikan sisa-sisa bencana yang menimpa kampung
itu. Setelah melihat ke sana kemari dan berfoto sepuasnya, biasanya
mereka pergi begitu saja. Ada di antara mereka yang diusir karena
kehadirannya dianggap hanya mengganggu kerja tim SAR.
Dengan tergesa-gesa, Mak Leman bergegas meninggalkan rumahnya yang
selamat dari bencana. Tujuannya hanya satu, yakni ladang kopi yang
berada tak jauh dari bibir batang Pakau. Ia tak sabar ingin melihat
bagaimana keadaannya sekarang. Tak tahulah ia apalagi mata
pencahariannya jika ladang itu ikut terseret galodo. Puluhan tahun sudah
Mak Leman menumpangkan nasib keluarganya di sana. Dua orang anaknya
yang kini bekerja di Kota Padang, dahulunya ia sekolahkan dari hasil
ladang kopi itu. Meski hanya mengecap bangku SMA, setidaknya mereka bisa
mencari kerja yang lebih baik dibandingkan menjadi peladang seperti
dirinya. Kini, tinggal si Marlis, anak bungsunya yang masih sekolah.
Dengan berlari-lari kecil, Mak Leman melintasi jalan setapak yang
tersiram hujan lebat tadi malam. Beragam prasangka buruk tak mau menjauh
dari pikiran lelaki yang tak lagi muda itu. Semakin dekat dengan
ladangnya, perasaan Mak Leman semakin tak menentu. Ia benar-benar
berharap apa yang ada di pikirannya tidak akan pernah terwujud dan semua
bencana ini hanyalah mimpi belaka.
Mak Leman tersentak. Apa yang ditakutkannya benar-benar terjadi.
Jantung lelaki itu seolah hendak berhenti saat melihat pemandangan yang
ada di hadapannya. Ladang yang ketika ia tinggalkan masih berwarna
hijau, kini telah berganti menjadi kuning kecokelatan. Sisa-sisa air bah
masih tergenang di sana-sini. Puluhan tunggul kayu bergelimpangan. Dari
ukurannya yang cukup besar, Mak Leman dapat memastikan itu semua
berasal dari hulu batang Pakau. Tak sedikit pula pohon kopi yang
tercerabut beserta akar-akarnya. Buahnya yang lebat dan tak lama lagi
akan dipanen telah tertimbun lumpur tebal. Pondok kecil tempat Mak Leman
berteduh di kala panas dan hujan juga hanyut entah ke mana.
Mak Leman tak lagi kuasa berdiri. Lututnya gemetar. Pandangannya
berkunang-kunang seketika. Terbayang olehnya bagaimana mendapatkan uang
sekolah Marlis. Melintas pula wajah istrinya yang mengatakan persediaan
beras sudah habis. Tak tahu hendak ia apakan ladang yang sudah
porak-poranda itu. Berulang kali ia menyebut nama Tuhan. Butiran bening
menggenangi kelopak matanya menahan kesedihan.
***
Subuh baru saja pergi. Matahari mulai menampakkan wajahnya ke bumi.
Di rumahnya, Mak Leman sudah bersiap-siap hendak berangkat ke ladang.
Sejenak, ia menonton aneka berita yang kadang kala hanya membuat otaknya
pusing. Rentetan kasus korupsi dan bencana di mana-mana selalu menjadi
topik utama. Entah ada kaitannya antara kedua hal tersebut, Mak Leman
pun tak begitu mengerti. Siaran televisi itu tak lebih sekadar teman
segelas kopi dan sepiring ubi rebus yang disiapkan istrinya setiap pagi.
“Kapan Uda punya uang untuk membayar uang sekolah Marlis? Kemarin
gurunya kembali bertanya. Tak lama lagi ia akan ujian semester. Tentu
tak boleh pula ia ikut ujian jika tak melunasi uang sekolah,” ucap Tek
Baidar dengan wajah gusar.
Di dalam kamar, Marlis tengah bersiap pergi ke sekolah. Jarak sekolah
yang cukup jauh memaksa anak mereka satu-satunya yang masih tinggal di
rumah itu berangkat pagi-pagi sekali.
“Besok kau jemurlah dua karung kopi yang ada di dapur itu. Uda rasa
uangnya cukup untuk membayar uang sekolah Marlis. Alhamdulillah,
sekarang kopi kita sedang berbuah lebat. Bulan depan sudah bisa dipetik
agaknya,” balas Mak Leman.
Tek Baidar mengangguk senang. Ia amat bersyukur memiliki suami yang bertanggung jawab dan gigih bekerja seperti Mak Leman.
“Ada baiknya Uda berangkat sekarang. Hari semakin siang,” ujar Mak
Leman menyudahi pembicaraan. Dengan perlengkapan seadanya, ia pergi
menuju ladang tempat berbagai harapan ia sandarkan.
Tepat tengah hari, Mak Leman beristirahat dalam pondok kecil yang ia
buat beberapa tahun lalu. Atapnya hanya daun rumbia yang ia beli di
kampung dengan harga murah. Lantai dan dindingnya terbuat dari bambu
yang disusun rapat-rapat. Meski terlihat ringkih, pondok itu bisa
dijadikan sebagai tempat perlindungan kala panas dan hujan.
Tengah asyik menikmati istirahat, Mak Leman mendengar suara mesin pemotong kayu dari kejauhan.
“Manusia jahat manakah yang selalu menebang pohon-pohon itu?” tanya Mak Leman dalam hati.
Beberapa bulan terakhir, raungan mesin itu sudah teramat sering ia
dengar. Jantungnya turut merasa sakit setiap kali mendengar suara
berdebum keras, pertanda satu batang pohon telah jatuh ke bumi.
Terbayang televisi kecil di rumahnya yang sering memberitakan aneka
bencana. Banjir bandang dan tanah longsor silih berganti menimpa seluruh
penjuru negeri ini. Akankah hal itu juga menimpa kampungnya yang sedari
dahulu selalu aman dan damai?
Didorong rasa sakit hati dan ingin tahu yang teramat sangat, Mak
Leman meninggalkan pekerjaannya untuk sementara waktu. Ia ingin tahu
siapa sebenarnya penebang liar yang telah menggunduli hutan di hulu
batang Pakau itu. Setinggi apa jabatannya hingga berani benar ia
melakukan hal demikian? Tidakkah ia sadar bahwa di hilir sana,
berhektare-hektare sawah amat bergantung dari aliran sungai berair
jernih itu? Tidakkah ia iba melihat ratusan rumah yang akan hanyut jika
galodo datang melanda?
Semakin dekat dengan hiruk pikuk suara mesin pemotong yang tajam itu,
Mak Leman semakin mempercepat langkahnya. Dadanya bergemuruh menahan
gejolak amarah. Dari balik rimbun semak belukar, ia dapat menyaksikan
dengan jelas beberapa orang pekerja tengah berusaha menumbangkan
sebatang pohon. Pohon banio yang berusia ratusan tahun itu amat besar
sehingga bisa dijadikan ratusan helai papan berkualitas tinggi. Bila
dijual, uang yang didapatkan tentunya juga tak sedikit. Mak Leman bisa
melihat dengan jelas ada lima orang yang tengah bekerja. Satu orang lagi
hanya mengawasi para pekerja yang sedang memotong pohon menjadi
bagian-bagian kecil. Rambutnya keriting dan perutnya buncit. Senyum yang
lebih menyerupai seringai menghiasi wajahnya yang bulat. Ia tampak puas
dengan hasil kerja anak buahnya.
Berulang kali Mak Leman menahan ludah. Tangannya terkepal. Diurutnya
dada yang sedari tadi terasa panas. Ia mengenali siapa orang-orang itu,
hingga membuat nyalinya menguap seketika. Tak tentu apa lagi yang ingin
ia lakukan. Sungguh, tak ada keberaniannya untuk mendekat dan melarang
mereka berbuat demikian.
***
Pagi ini, Mak Leman kembali duduk di depan televisi. Segelas kopi dan
sepiring ubi rebus dihidangkan oleh Tek Baidar. Tiga bulan sudah galodo
berlalu. Bencana itu meninggalkan bekas luka yang amat dalam di hati
masing-masing penghuni Kampung Tikalak, tak terkecuali dengan Mak Leman.
Ladang kopi yang ia miliki tidak lagi bisa diharapkan sebagai sumber
mata pencaharian. Demi kebutuhan hidup yang mesti dipenuhi, ia terpaksa
bekerja apa saja. Mengambil upah ke sawah orang, menjadi kuli bangunan,
dan berbagai pekerjaan serabutan lainnya ia lakoni. Meski hasilnya tak
seberapa, setidaknya tetap bisa membuat dapur rumahnya terus berasap.
Mata Mak Leman tak berkedip saat stasiun televisi lokal itu menyiarkan acara berita.
“Kemarin pagi Bang Zainudin datang ke rumah, katanya mau mengajak Uda
ikut acara itu,” ucap Tek Baidar sambil memandang siaran televisi.
“Saya katakan padanya bahwa Uda sudah pergi ke sawah Pak Sulaiman.”
Mak Leman hanya tersenyum kecut. Kedua bola matanya memandang kesal
televisi kecil itu. Memang, beberapa hari yang lalu ada pengumuman
tentang kegiatan penanaman bibit pohon di hulu batang Pakau. Tetapi, ia
tak hendak ikut serta. Masih jelas di ingatannya, acara serupa yang
diadakan di punggung bukit Talago dua bulan silam. Bibit yang telah
ditanam dengan acara meriah dan tentunya dengan biaya tak murah itu
dibiarkan begitu saja. Tak ada yang peduli bagaimana perkembangannya.
Akhirnya, banyak bibit pohon yang telah ditanam menjadi mati sia-sia.
Di layar televisi itu, Mak Leman melihat jelas wajah ratusan aparat
pemerintah daerah beserta pihak terkait lainnya. Puluhan wartawan tampak
mengabadikan sang kepala pemerintahan yang tengah menanam bibit pohon.
Amarah Mak Leman memuncak seketika saat melihat seorang lelaki berwajah
bulat. Dengan senyum merekah, ia ikut serta menanam bibit pohon yang
juga disediakan untuknya. Mak Leman tak pernah lupa dengan lelaki
tersebut. Perutnya buncit dan rambutnya keriting. Mak Leman terasa
hendak muntah. Tangannya terkepal. Ingin rasanya ia melempar televisi
itu dengan gelas kopi yang ada di tangannya. Tapi ia sadar bahwa itu
perbuatan sia-sia dan sungguh tak ada gunanya. (*)
Keterangan:
Mak = Paman
Tek = Bibi
Galodo = Banjir bandang yang disertai tanah longsor
Banio = Jenis kayu yang berkualitas tinggi
Penulis lahir di Lubuk Sikaping, 10 Oktober 1980. Ia
aktif menulis puisi, cerpen, maupun artikel. Beberapa tulisannya telah
dimuat di harian lokal dan nasional. Saat ini bekerja di Perguruan
Diniyyah Puteri Padang Panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar