Aksara Amananunna

Cerpen Rio Johan

Terbit di Suara Merdeka, 27 Januari 2013





BERBULAN-BULAN setelah Tuhan mengacaukan bahasa, Amananunna belum pula menemukan bahasanya. Pemuda yatim piatu itu bagai punya kutuk dalam garis kismatnya. Berminggu-minggu dihabiskannya mengelilingi kaki ziggurat Raja Nimrod yang jadi biang amuk Tuhan, menajamkan telinga dan bersusah-payah menangkap bebunyian yang datang dari mulut-mulut manusia sekitar. Tidak satu pun bunyi yang dia mengerti. Lidah yang satu dengan yang lainnya bisa berbeda sama sekali. Seringnya yang dia tangkap cuma suara-suara asing yang coraknya tak bisa dia kenali apalagi rumuskan. Semuanya seperti bunyi kacau yang justru menganggu ketimbang mampu dimengertinya. Kesal, dia menendang basis ziggurat yang jadi perlambangan hubrisitas Raja Nimrod itu.

Tiga minggu dia bertahan di Tanah Babel, tapi tak satu pun lidah manusianya yang bisa bersahabat dengan telinganya. Dia justru heran bagaimana manusia-manusia sekelilingnya bisa tetap bercakap-cakap sebab bahasa yang satu belum tentu sama dengan lainnya. Dia bertanya-tanya, bagaimana bisa cuma dia seorang yang tak punya keserasian lidah dan telinga dengan satu manusia mana pun di penjuru kota ini. Pernah dia mencoba menguji lidahnya, mencoba-coba melafalkan apa yang baru saja keluar dari mulut seorang tetua bermulut besar di satu sisi pasar. Hasilnya sama saja. Yang keluar dari lidahnya tak bisa dimengerti tetua itu. Yang dibalas tetua itu pun tak bisa ditangkap oleh telinganya.
Akhirnya Amananunna memutuskan berkelana dengan harapan menemukan bahasa yang bisa berserasi dengan telinga juga lidahnya. Gurun-gemurun diarunginya, jajaran jejabalan ditalukannya. Tanah Lullubi. Kota Hamazi. Uri-ki. Susin. Shubur. Sampai ke tanah orang-orang Mar-tu. Dilmun. Bahkan suku-suku tanpa nama yang tinggal di Tanah Anshan. Lapar dan lelah harus dia tahan. Kadang-kadang, kalau mujur nasibnya, dia mendapat buruan atau sekadar penganan dari orang-orang nomad baik hati yang ditemuinya—sekalipun untuk berkomunikasi, dia mesti menggunakan isyarat badan, bukan lisan. Tersebab tuntutan perutnya sudah tak bisa ditunda-tunda, pernah juga dia terpaksa makan rerumputan, reptil gurun pasir, juga bangkai yang dirasanya masih layak makan. Semua itu dilakukan Amananunna demi pencarian bahasa.
Namun, tidak satu pun lidah yang dia temui bisa berserasi dengan telinganya. Telinganya serasa terlaknat sehingga tidak lagi punya kuasa menangkap kata-kata. Dia tidak tuli. Beberapa orang yang dia temui mengira dia tuli. Telinganya mampu menangkap suara-suara, tapi tidak kata-kata. Beberapa orang lagi malah menuduhnya idiot. Dia pernah diusir oleh salah satu suku tribal penghuni kaki sebuah jabal karena dianggap membawa kemalangan. Betapapun, dia terus melangkah. Dia terus berkelana mencari bahasa. Hingga melampaui Tanah Sinar. Menumpang sekoci pemukat—beruntunglah keterampilan isyarat badannya sudah dilatih pengalaman—menaungi Laut Merah. Eridu. Uruk. Uru. Samarra. Sungai Tigris. Sampai Tanah Mediterania. Entah sudah berapa masa dia berkelana. Entah sudah sampai mana akhirnya dia merasa lelah.

Dia terduduk di sepucuk batu di wilayah yang sama sekali tidak dia mengerti. Ngarai terjal berdiri gagah di hadapannya. Sialnya ngarai itu berpacak di sisi yang salah sehingga tubuhnya tak terlindung dari sengatan siang. Bercucurlah keringatnya, mengalir dari puncak kepala; beberapa bulir yang singgah di mulut sengaja ditelannya, beberapa lagi dibiarkan menitik pada tanah yang kering-panas. Entah bagaimana dia merasa mendengar bunyi bebuliran peluhnya menyentuh muka tanah. Semacam bebunyian menguap di telinganya. Tahu-tahu ada hawa panas mengembusi liang telinganya—berbisik! Bahasa. Detik selanjutnya dia siuman. Tubuhnya telah terkapar di tengah hamparan tanah tandus. Sengatan siang masih juga menampar-nampar kulit pipinya yang sudah begitu menyala-nyala. Pepasiran mengembus pori-pori kulit mukanya. Itu juga kali pertama dia merasa begitu tercerahkan. Amananunna memutuskan: dia akan merumuskan bahasanya sendiri.
***
DIA melanjutkan pengelanaan dengan tujuan baru. Dia menciptakan kata-katanya sendiri berdasarkan apa saja yang bisa dia dengar dan dia lihat. Tak jarang pula dia menciptakannya sepatah kata secara tiba-tiba. Dan, pernah pula dia menyadur dan mengutak-atik ucapan-ucapan manusia-manusia yang pernah ditangkapnya yang sebetulnya dia tidak mengerti makna aslinyamenjadi bahasanya sendiri. Dia berkelana dari kota ke kota, suku ke suku, tanah ke tanah, selain untuk merumuskan bahasanya sendiri, juga untuk menyebarluaskan khazanah lisannya pada manusia-manusia lain. Sebab, apalah artinya merumuskan bahasa bila hanya dia sendiri penggunanya.
Namun, apadaya Amananunna yang jelaslah bukan siapa-siapa selain pengelana malang di tengah rimbunan bahasa asing yang sudah duluan merajalela. Orang-orang yang ditawarinya berbahasa menggunakan bahasanya selalu menganggapnya gila atau idiot. Tak ada yang memedulikannya; tak ada yang menyeriusinya. Bagaimana pula dia bisa menyebarluaskan bahasanya di tengah rimbunan bahasa-bahasa yang telinganya sendiri tidak bisa memahami? Dia tak punya kuasa ilahiah untuk itu.
Amananunna perlu berpikir keras.
Maka, berpikirlah Amananunna di tepian sungai di dekat pemukiman suku-suku tribal. Dipandangnya erat arus-arus juga sinaran siang yang sudah merasuk ke dalam gelombang larung sungai. Pantulannya terombang-ambing. Cuma bayangannya yang menetap di sana. Menetap di dekat bayang-bayang manusia lain. Manusia lain! Ada perempuan di sampingnya! Sungguh, belum pernah dia menyaksikan keindahan yang seperti itu! Wujud indah itu dililit kain-kain bening; rambut ikalnya panjang sepinggang. Setipis senyum timbul manakala mendapati mata Amananunna menancap pada matanya.
Perempuan itu cuma menumpang minum. Barangkali dia juga pengelana. Dengan seranting kayu Amananunna mengukir suatu aksara baru pada tanah basah: Ketika itulah dia menemukan kata yang maknanya kurang lebih “cinta.” Senyum perempuan itu jadi tumpah-ruah.
Singkat cerita, Amananunna mendapat teman berkelana. Perempuan yang tidak dia ketahui namanya dan kelak dia beri nama Manatumanna—sesuai dengan aksara dan lafal lisan ciptaannya—juga merasa cinta pada dirinya. Perempuan itu diberi pengetahuan aksara dan bahasa Amananunna. Perempuan itu rela menanggalkan aksara dan bahasanya sendiri demi cintanya. Perempuan itu pulalah yang diyakini Amananunna sebagai mukjizat ilahiah, jembatan bagi keberlanjutan bahasanya. Pada pemberhentian tertentu, keduanya bercinta di bawah naungan restu Inanna—dewi asmara dan kesuburan. Entah pada pemberhentian keberapa Manatumanna mengandung bakal keturunan. Amananunna girang sejadi-jadinya. Bakal penerus bahasanya sudah di depan mata. Tersebab kondisi itu pula keduanya memutuskan menetap di sebuah pedusunan suku tribal yang tak pernah bisa mereka eja namanya.
Puluhan minggu berlalu dan tibalah masa kelahiran. Putranya diberi nama Ilanumanna, sesuai dengan aksara dan bahasa Amananunna. Beberapa minggu selanjutnya mereka sudah melanjutkan pengelanaan dengan satu tambahan anggota. Kota ke kota, suku ke suku, tanah ke tanah. Sambil sesekali mencoba menawarkan bahasa ke manusia-manusia yang mereka temui, walaupun hasilnya percuma. Entah sudah berapa masa mereka berkelana. Entah sudah berapa perhentian dan berapa malam bernaungan restu Inanna. Mereka tidak peduli lapar ataupun lelah. Seiring itu, Ilanumanna tumbuh besar, gagah, dan rupawan. Kepiawaiannya berburu serta kebugaran jasmaninya jauh melampaui Amananunna. Juga, sesuai dengan kehendak ayahandanya, pemuda itu tumbuh dalam aksara dan bahasa Amananunna, bukan yang lain.
***
ENTAH pada masa keberapa pula Dewi Inanna menjatuhkan restu kedua. Putra kedua Amananunna lahir dan diberi nama Ilalumanna. Harapan Amananunna pada si bungsu sama besarnya dengan si sulung. Sayang harapan itu terlalu muluk. Ilalumanna tumbuh sebagai lelaki lemah dan pesakitan. Ketimbang turut serta dalam perburuan, Ilalumanna malah membantu tugas ringan ibundanya. Karena dua alasan, tuntutan kesejahteraan dan ketakutan akan pengaruh bahasa-bahasa lain, Amananunna memutuskan untuk membentuk koloni sendiri. Tanah yang dipilihnya: tanah ngarai tempat dia pertama kali mendapati bisikan ilham untuk mencipta bahasa. Seingatnya, ada sungai dan sabana yang bisa jadi sumber hidup mereka tak jauh ngarai itu.
Bertahun-tahun mereka menetap, berburu, bercocok-tanam, juga mengembala sapi dan domba, masih ada satu pikiran yang mengusik Amananunna: keturunan.
Keberlanjutan keturunan diperlukannya untuk melanjutkan tradisi lisan, tapi Inanna tak lagi memberi restu pada mereka. Dia tak punya anak perempuan yang bisa dikawinkan dengan putra-putranya. Tubuhnya sendiri sudah mulai tua dan renta. Dia merasa perlu mengambil langkah segera. Maka, diperintahkannya putra sulungnya, yang semakin hari semakin gagah nan rupawan, mengawini perempuan dari kota terdekat. Ilanumanna patuh dan bersicepat menjalankan tugas ayahandanya. Sial bagi Ilalumanna, sebab si bungsu itu jadi dibebani tugas-tugas kakandanya.
Berminggu-minggu, berbulan-bulan, entah sudah berapa masa, Ilanumanna tak juga pulang membawa pinangan. Ketika Amananunna mendatangi kota tempat putranya berlabuh, si putra sulung tidak lagi memahami aksara dan bahasa ayahandanya. Ilanumanna sudah menanggalkan aksara dan bahasa ayahandanya demi cintanya pada satu perempuan. Amananunna cuma bisa menyaksikan cucu-cucunya tanpa bisa menurunkan pengetahuan lisannya. Telinga dan lidahnya kehilangan kuasa di tengah keturunannya sendiri.
Amananunna pulang dengan harapan yang sudah lebur. Tersebab kerja berlebihan yang bagai tak tertanggungkan, putra bungsunya semakin hari semakin lemah dan pesakitan. Amananunna tak bisa melihat harapan pada si bungsu. Betapapun, dia tidak ingin aksara dan bahasa ciptaannya lenyap begitu saja. Amananunna menempuh cara terakhir. Pria renta itu mengukir aksara-aksara bahasanya di ceruk-ceruk ngarai, pada bebatuan besar, juga di dinding gua. Setidaknya, dengan cara itu dia bisa meninggalkan jejak ciptaannya. (*)


Surakarta, 19-11-2012
Rio Johan, mahasiswa penyuka sastra dan film dan aktif di Komunitas Pawon, Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar