Cerpen Meutia Fauziah
Terbit di Republika, 3 Februari 2013
Bahan Referensi Cerpen - KAMPUNG Sedap Malam yang terkenal dengan bebunga merimbun
dengan harum memuaikan itu sedang dilanda musibah. Kampung itu tak lagi
sedap dihirup. Harum bunga yang tumbuh liar di segala penjuru kampung
itu kalah dengan bebauan yang belakangan timbul tenggelam menggerayangi
hari-hari dan mimpi. Bau darah dan daging busuk sayup-sayup beterbangan
terbawa angin ke utara, selatan, ke segala penjuru ke mana angin pergi.
Ketika udara menjadi lengang, angin tak datang, bau itu hilang. Tapi
cuma sekejap. Dan udara busuk kembali membentangkan tabirnya.
Tapi penduduk tetap harus hidup. Dengan sisa-sisa udara yang dapat
dihirup, mereka menjalani kegiatan sehari-sehari sebagaimana biasanya.
Sawah tetap digarap, ternak tetap diangon, karet tetap disadap,
telur-telur yang harus ditetaskan. Bau tidak sedap menjadi bagian dari
napas-napas mereka yang sesak.
Namun, bau yang sesayup mampir ke kampung tetangga menimbulkan dampak
yang merugikan. Ternak-ternak yang sedang diangon sampai ke perbatasan
kampung mengalami gejala penyakit yang aneh. Sepulang ke kandang, mereka
tidak doyan makan dan muntah. Kerbau dan sapi mengeluarkan lenguhan
yang tidak biasanya. Kambing pun mengembik dengan anehnya. Ayam dan itik
bergelinjang. Mereka lalu sahut-menyahut seperti kesurupan
Sejak kejadian itu, penduduk kampung tetangga pun memagari tanah
mereka agar hewan tidak berkeliaran masuk wilayah yang menyebabkan bau
itu. Tidak hanya itu, kepala desa masing-masing kampung tetangga itu
mewajibkan warganya untuk menggunakan penutup hidung, masker, dan
sejenisnya.
Akan tetapi, karena secara teritorial Kampung Sedap Malam berada di
tengah-tengah kabupaten, penduduk kampung tersebut tidak mungkin tidak
keluar untuk macam-macam urusan. Dan itu berarti harus melewati
kampung-kampung yang telah “mengisolasi” mereka.
Beberapa perwakilan kampung-kampung tetangga itu pun berkumpul di
suatu tempat untuk membicarakannya. “Kita harus siaga satu, jangan
sampai orang-orang kampung itu masuk membawa penyakit ke kampung kita,”
kata salah seorang dari mereka dengan geram.
“Kita usir mereka!”
“Kita bakar saja kampung itu!” yang lain menimpali.
Pembicaraan para wakil kampung tetangga itu berlangsung sengit.
Sampai larut malam baru ditemukan kesepakatan yang akan dilakukan
terhadap kampung itu: mengisolasi wilayah mereka dengan tembok batu yang
tinggi.
Selepas fajar, dikerahkanlah semua tenaga yang ada untuk mengumpulkan
bebatuan kali. Sampai setengah hari, baru terkumpul sedikit sekali
batu-batu dan pasir. Padahal, diperlukan bahan baku yang banyak untuk
membuat tembok yang kokoh dan tinggi. Orang-orang sudah menggali tanah
sampai lapisan cadas. Semuanya tidak terlalu berarti.
Masing-masing perwakilan kampung berkumpul kembali untuk
membicarakannya. Ternyata alam kampung mereka tidak tersedia banyak
bebatuan besar dan pasir. Batu-batu yang kuat ada di kali, dan kali yang
melalui kampung mereka hanyalah cabang-cabang. Aliran air tidak
melimpah dan tidak deras. Hulu kali-kali yang becabang itu ada di
Kampung Sedap Malam. Sumber mata air yang besar dan berlimpah. Di sana
terdapat bebatuan yang besar dan kuat, juga pasir-pasir yang mengendap
tebal. Ini menjadi masalah yang lebih serius. Bagaimana mungkin mereka
akan mengambil bahan baku dari orang-orang yang akan mereka isolasi? Apa
yang harus dilakukan selanjutnya?
Berhari, berminggu, berbulan, tidak ada satu pun ide dari hasil
pertemuan para wakil kampung tetangga yang disepakati ataupun
dijalankan. Mereka pun masih sibuk membicarakan apa yang harus dilakukan
untuk melindungi kampung mereka dari bahaya udara busuk.
Sementara itu, kehidupan bergulir sangat wajar di dalam Kampung Sedap
Malam. Penduduknya tetap membajak sawah, berkebun, menyadap karet,
mengangon ternak tanpa mengetahui grasak-grusuk yang terjadi di luar
kampung mereka. Tidak ada satu pun warga Kampung Sedap Malam yang
menyadari adanya persekongkolan yang sedang berlangsung untuk
mengisolasi mereka. Kecuali sang kepala desa dan ajudan-ajudannya.
Kepala desa dengan sadar sangat memahami apa yang terjadi dengan
kampungnya dan orang-orang di luar sana. Tapi, sebagai pemimpin yang
baik, ia selalu menjaga ketenteraman warganya dari sumber-sumber
kekacauan. Secara rutin, kepala desa mengumpulkan para kepala keluarga
untuk bermusyawarah membicarakan kesejahteraan, keamanan, juga
kelancaran berkehidupan di desa itu.
Pak kepala desa tidak pernah menyinggung tentang bau. Dia
mendatangkan orang ahli ke desa untuk memberikan semacam imunisasi
kepada ternak-ternak. Dia juga memberikan obat jika ada tanaman mereka
yang berubah warna atau mati tiba-tiba. Dan ternyata semua solusi yang
diberikan kepala desa membawa hasil. Ternak mereka semakin sehat beranak
pinak. Sawah dan kebun pun lebih cepat panen, serta hasilnya berlipat.
Satu hal saja yang dimintanya kepada warga, tidak mendekati tanah kosong
di balik hutan, di kaki bukit. Warga pun sama sekali tidak keberatan
memenuhi permintaannya.
Warga sangat berterima kasih dengan kepala desa yang telah
menyelamatkan mereka dari wabah. Untuk itu, warga silih berganti ke
rumahnya mengantarkan hasil panen dan ternak. Namun, dengan sangat welas
asih, ia menolak persembahan warga yang tulus itu.
“Sudah menjadi kewajiban saya untuk mengabdi kepada warga. Saya tidak
mengharapkan apa-apa selain ketenteraman dan kesejahteraan bapak dan
ibu sekalian.” Begitu katanya. Namun, apa daya, ia tak kuasa menolak
rasa terima kasih yang besar dari warga. Maka, persembahan hasil panen
dan ternak itu pun senantiasa memenuhi rumahnya. Warga yang tersentuh
hatinya dengan sikap kepala desa yang begitu merakyat itu menjadi lupa
dengan bau anyir darah dan daging busuk yang masih menyelimuti langit
kampung mereka.
***
Warga kampung tetangga pun mendengar kabar baik yang terjadi di
Kampung Sedap Malam. Tidak ada untungnya menjauhi kampung dengan
penghasilan sawah, ladang, dan ternaknya yang melimpah. Siapa tahu
dengan niat memperbaiki hubungan dapat memberikan keuntungan terhadap
kampung mereka.
Dan datanglah serikat utusan tiap kampung tetangga ke Kampung Sedap
Malam untuk memberikan selamat atas keberhasilan panen yang berlipat dan
ternak yang subur itu. Kepala desa merasa tersanjung dengan
pujian-pujian itu. Tapi, ia tetap rendah hati dengan mengatakan itu
semua bukan prestasi, melainkan sebuah tanggung jawab dan kewajiban yang
sudah semestinya dia emban. Utusan tiap kampung itu berbasa-basi dengan
wajah ramah dan penuh hormat sambil menahan bau anyir yang menyengat
tak habis-habisnya. Tapi, demi perbaikan hubungan yang harmonis, hal itu
dapat disembunyikan.
Hasil panen dari kampung masing-masing yang dibawa untuk kepala desa
itu pun dibalas dengan buah tangan yang sudah diharap-harapkan oleh
mereka: pupuk dan pakan ternak. Mereka masing-masing dapat satu karung
untuk percobaan. Dengan semringah meski sambil mengernyit menahan bau,
mereka pamit pulang. Usaha mereka tak sia-sia.
***
Di tengah ketenteraman kampung itu, gejala yang dulu pernah terjadi
pada tanaman dan ternak mereka muncul lagi. Tanaman berubah warna dan
mengerut, hewan-hewan muntah dan melenguh ribut, menggaduh, air sungai
pun berubah menjadi hijau keunguan, bau anyir darah dan daging busuk
semakin menyengat. Warga yang sudah merasa ditolong oleh kepala desa
merasa kebingungan. Apa lagi yang salah? Di satu sisi, mereka tidak enak
berkeluh kesah lagi kepada kepala desa. Di sisi lain, mereka akan
kehabisan bahan pangan dan ternak-ternak bisa mati. Air dari sumbernya
pun tidak aman untuk diminum.
Namun, sang kepala desa, sebagai pemimpin yang mengerti warganya,
segera tanggap sebelum ada satu mulut pun yang menyuarakan keluhannya.
Dia mendatangkan ahli-ahli itu lagi. Memberikan pupuk dan imunisasi
dengan dosis lebih tinggi.
Tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama, hasil dari usaha para ahli
itu pun membuahkan hasil. Kondisi kembali normal. Tanaman, ternak, mata
air kembali seperti biasa lagi meski bau yang semakin menyengat itu
tetap tidak dapat ditangani. Warga tidak terlalu mempermasalahkan bau
selama sawah, ladang, dan ternak mereka baik-baik saja. Mereka kembali
bergembira.
Lambat laun, bunga sedap malam yang menjadi simbol desa tersebut
tidak dapat dipertahankan lagi. Banyak akhirnya yang mati dan secara
merata lenyap dari keseluruhan kampung itu. Hal yang sama sebenarnya
juga telah dilakukan seperti memberikan pupuk tambahan. Tidak seperti
tanaman lain, hanya bunga itu yang tidak bereaksi positif dengan
penanganan apa pun dari para tenaga ahli. Hingga, sampailah kampung yang
dikenal karena wewangian yang berasal dari salah satu bunga tersedap
harumnya itu pada suatu kondisi tinggal sekadar nama.
Belum jeda beberapa jenak, muncullah pemandangan aneh di penjuru
kampung itu setelah lepas dari satu masalah. Di mana-mana tumbuh
bunga-bunga berkelopak biru kehijauan, berbintik-bintik hitam, berbulu
halus, dan mengeluarkan bau anyir darah dan daging busuk yang masih
memenuhi udara kampung itu. Setiap hari, warga mencabutinya,
membakarnya. Namun, bunga itu tidak berhenti tumbuh dengan kecepatan
yang tidak masuk akal. Bunga itu tumbuh tidak hanya di pelataran
rumah-rumah, tapi juga di tengah-tengah sawah, ladang, di kandang
ternak, di tepi kali, di sela-sela pepohonan. Tidak hanya menimbulkan
bau, tanaman itu juga menjadi gulma yang tumbuh subur memakan tanaman
lain, dimakan ternak-ternak dan menyebabkan mereka kembali sakit.
Tidak ada cara lain selain membakar tanaman menjijikkan itu. Penduduk
berduyun-duyun membawa obor membakar sawah, ladang, kandang ternak,
pepohonan yang ditumbuhi bunga itu. Sambil terus beroperasi, mereka
melihat halaman rumah kepala desar dirimbuni bunga-bunga dengan ukuran
yang lebih besar dan batangnya sampai masuk ke teras, melilit
kursi-kursi kayunya, jari-jari kayu teralis terasnya. Penduduk yang
kalap pun juga membakar bunga-bunga itu, lalu kembali beroperasi ke
tengah hutan. Sepeninggalan warga, api merayapi batang-batang bunga
tiada sisa dan menyambar kursi, pintu, kusen. Dan, dirajai apilah rumah
kepala desa itu. Namun, sang empunya rumah tidak ada di sana. Dia ada di
suatu tempat yang tidak ditumbuhi bunga-bunga itu. Tempat di mana ia
melarang siapa pun di desa itu untuk memasukinya.
***
Pak kepala desa berada di sana. Di antara orang-orang yang menyemut
dalam kekalapan mereka. Ia tidak sendirian. Para petinggi dan orang kaya
bergabung dalam pergumulan itu. Mereka berlutut, menggaruk dan mengaduk
tanah. Ada yang dengan tangan kosong, ada pula dengan cangkul, sabit,
golok. Benda-benda itu juga untuk saling menjegal, membeset, memukul.
Tidak ada yang saling peduli dengan luka yang menganga, darah yang
bercucuran, rintih kesakitan. Karena, semua itu teredam dalam bentang
tanah yang menggiurkan.
Itu bukan tanah biasa. Itu tanah keramat. Hanya orang-orang
pentinglah yang disediakan jalan untuk mencapainya. Ya, tentu saja tanah
ini benilai tinggi. Harganya melampaui timbunan emas 24 karat. Karena
ini adalah tanah keramat.
Mereka memasukkan tanah ke dalam mobil. Ke dalam tas mewah yang
harganya selangit. Ke dalam saku-saku baju. Tak peduli dengan bau
menyengat yang menusuk-nusuk hidung. Mereka juga memasukkan tanah ke
dalam map, amplop, dan mulut mereka seolah ketakutan tanah akan segera
habis direbut oleh yang lainnya.
Orang-orang yang diliputi kerakusan itu tidak menyadari apa yang
terjadi di luar sebentang tanah merah berbau anyir darah dan daging
busuk itu yang sedang mereka gumuli. Seperti para warga yang juga tidak
menyadari kekalapan mereka membakar kampungnya sendiri. (*)
---------------
Penulis lahir di Jakarta, pada 1 Oktober. Saat ini bekerja di Harian Umum Republika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar