Cerpen Bamby Cahyadi
Terbit di Media Indonesia, 3 Februari 2013
Bahan Referensi Cerpen - SELEPAS mimpi buruk, ia bagai terdampar di pulau paling sunyi.
Beberapa serpihan adegan mimpi masih tersisa di pelupuk matanya.
Stefani kedinginan. Tentu saja, karena ia tidur tanpa busana. Tubuhnya
hanya ditutupi selimut tebal. Selimut hangat yang tiba-tiba jatuh ke
lantai membuat ia terbangun. Masih terperangkap dalam ingatannya,
suara-suara pedang beradu, bunyi sepatu berderap di lorong-lorong, tawa
yang menyerupai lolongan iblis kejam dan bunyi kepala terpenggal, lalu
menggelinding di lantai.
Stefani bersedekap, mencengkeram selimut dan menyambarnya sampai ke
dagu, mencoba membuat dirinya tetap hangat dan tenang. Ia menatap
langit-langit kamar. Sesaat kemudian, ia memijat tengkuknya sendiri.
“Tidurku selesai,” gumamnya lirih. Ia menegakkan punggung dan turun
dari ranjang sembari mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang
tergolek di meja rias. “Mimpi sialan!” umpatnya sambil menyalakan rokok.
Stefani menyandarkan kepala di tepi jendela. Matanya menerawang jauh
di kegelapan subuh yang masih pekat. Rokok terus ia isap dan asapnya ia
hembuskan ke kaca jendela. Asap itu membentuk semacam kabut tipis yang
misterius. Dari gumpalan asap yang terhembus dari bibirnya, Stefani
seperti melihat hembusan napas terakhir seseorang. Seandainya mati
seperti orang yang menghembuskan asap rokok, betapa bahagia kematian
nenek dan ibunya. Tentu banyak orang akan memilih mati ketimbang
melanjutkan hidup yang menjengkelkan ini.
***
Ia ingat neneknya. Ketika masih hidup, nenek kerap menuturkan
berbagai cerita seram yang membuat bulu kuduknya berdiri. Cerita tentang
mimpi-mimpi. Nenek sering bermimpi tentang iblis-iblis yang dengan
kejam memenggal kepala manusia. Nyaris semua mimpi nenek penuh jeritan
dan kematian dalam adegan-adegan berlumur darah. Neneknya sering terjaga
pada malam-malam penuh mimpi buruk itu. Akhirnya perempuan tua dan
rapuh itu mencoba bunuh diri di usia 60 tahun. Usaha bunuh diri dengan
menenggak berpuluh-puluh pil tidur gagal dan sia-sia. Neneknya malah
tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang saat ia hendak berobat ke
Belanda. Ibunya juga tewas pada kecelakaan yang sama. Masa itu Stefani
berusia 13 tahun.
Setahun sejak kematian nenek dan ibunya, Stefani kerap disergap
mimpi-mimpi buruk yang mengerikan. Mimpi bergelimang darah selalu
mengepung tidurnya. Untuk mengusir kegilaan itu, dan takut tergoda
mengikuti jejak neneknya—melakukan percobaan bunuh diri secara dini—atau
mengonsumsi narkoba, ia pun menyalurkan cerita mimpinya ke dalam
kanvas-kanvas lukisan. Stefani melukis apa saja yang dilihatnya dalam
mimpi, untuk mengenyahkannya dari alam bawah sadarnya, berbagai adegan
mimpi itu di atas kanvas-kanvas lukis. Kini ia tahu, mengapa neneknya
sering mendongengkan mimpi-mimpi buruk. Rupanya itu sebagai penyaluran.
Agar nenek tak gila.
***
Stefani menyelesaikan isapan rokok terakhir sebelum membenamkan
puntungnya ke dalam gelas minuman di sisi jendela. Ia membuka kunci
jendela dengan sebelah tangannya. Udara dingin langsung berembus kencang
mencubiti sekujur kulitnya yang tak sempat tertutup selimut hangat.
Butir-butir salju yang baru turun bagai menari-nari memasuki kamarnya.
“Walaupun dingin, aku butuh sedikit udara segar,” ujarnya kepada diri
sendiri.
Stefani menyibakkan rambut dan menggosok pipinya dengan telapak
tangan. Rupanya hawa dingin hampir saja membekukan wajah cantiknya. Ia
segera menutup jendela kamar. Lantas berjalan keluar kamar, berdiri di
depan sebuah kanvas berukuran besar yang belum tersapu cat minyak. Tak
lama setelah itu, ia tenggelam dalam keasyikan melukis. Tangannya dengan
lincah bergerak-gerak menyapu permukaan kanvas dengan kuas. Memindahkan
mimpi-mimpinya, perasaannya berangsur-angsur menjadi tenteram.
***
Beberapa bulan lalu, ia memperlihatkan lukisannya kepada seorang
sahabat. Patrick begitu terpukau oleh lukisan Stefani. Itulah lukisan
para malaikat dengan sayap hitam yang terkembang, melayang-layang di
langit merah darah. Keganjilan lukisan itu malah memesona Patrick. Ia
memohon untuk melihat lukisan Stefani yang lain. Maka, diajaklah Patrick
masuk ke sebuah ruangan yang menyerupai gudang. Dinding-dinding ruangan
itu dihiasi berbagai lukisan hasil pelampiasan mimpi-mimpi buruk
Stefani. Di dekat lemari besar yang dipoles mengilap, ada sebuah lukisan
teronggok begitu saja, tersandar pada lemari. Patrick terkesiap dan
hampir menjerit melihat lukisan itu, namun ia langsung menguasai
dirinya. “Begitulah rupa iblis,” ucap Stefani, ringan. Gambar seraut
wajah dengan mata bersinar merah cerah. Mulutnya berbusa dan sedang
menggigit sebuah kitab. Mungkin kitab suci sebuah agama.
Patrick, kurator lukisan, tentu saja bagai menemukan harta karun.
Mulutnya sampai ternganga-nganga dan tak henti-henti lidahnya berdecak
menimbulkan suara serupa cicak yang sedang berburu mangsa di dinding.
Dirancanglah sebuah pameran lukisan karya Stefani. Meski Stefani sempat
menolak, berkat argumentasi Patrick yang cemerlang, akhirnya Stefani mau
juga menggelarnya. Pameran diselenggarakan di sebuah galeri seni di
Jakarta. Banyak pengunjung pameran lukisan itu.
Entah apa sebabnya, ada sekelompok orang merasa tak suka dengan
lukisan karya Stefani. Mereka begitu marah dan mengancam akan membakar
galeri dan seluruh lukisan Stefani apabila pameran tak dihentikan.
“Demi Tuhan, itu lukisan-lukisan setan!” pekik kelompok orang yang
semuanya memakai serban, peci, dan gamis putih. Mereka menunjuk lukisan
sebuah wajah dengan mata bersinar merah cerah dengan mulut berbusa dan
sedang menggigit sebuah kitab. Wajah mereka tampak menjadi lebih seram
dan sangar daripada wajah dalam lukisan itu. Mereka mengepung galeri
itu. “Bunuh pelukisnya!” teriak yang lain. Stefani tersenyum miris,
sebelum ia memutuskan angkat kaki dari galeri dengan linangan air mata
dan kebencian.
***
Stefani menempati sebuah rumah berbentuk setengah lingkaran dengan
halaman depan selalu tertutup salju bila musim dingin tiba. Beberapa
bagian atap rumahnya mencuat ke atas seperti menjulang menggapai langit
malam. Itulah mengapa Stefani memilih rumah ini sebagai tempat
tinggalnya di Jerman. Rumah dengan keheningan yang ganjil.
“Bahkan, malaikat maut pun enggan datang ke sini,” gurau Stefani
ketika teman-temannya dari Indonesia mengunjungi kediamannya, sebulan
lalu. Peristiwa pameran lukisan itu akhirnya membawa Stefani ke Kota
Rheine. Ia memilih meninggalkan Indonesia dan menetap di Jerman.
Pagi telah tiba. Tapi, rumah Stefani tidak menunjukkan tanda-tanda
tentang itu. Sinar matahari yang redup tak mampu merembes melewati tirai
yang ditempel di satu-satunya jendela di balkon rumahnya. Stefani telah
menyelesaikan lukisannya semalam. Ia menegakkan punggungnya. Stefani
melihat ke arah jam dinding. Tiga jam lagi seharusnya mereka tiba. Ia
ingin semuanya sudah siap sebelum itu. Ia menata meja dan kursi-kursi di
ruangan tengah. Ia pun menyiapkan cangkir-cangkir dan piring-piring
untuk beef pie cake dan champagne bagi para tamunya nanti.
Sebentar-sebentar ia memandang jam dinding yang tampak berdetak lambat.
Sampai tiga jam berlalu. Saat Stefani menyimpan kembali beef pie cake dan champagne itu ke dalam lemari pendingin, pintu rumahnya diketuk seseorang dari luar. Ia bergegas menuju beranda.
“Akhirnya datang juga!” serunya dalam hati. Tamunya dua orang
perempuan. Seorang perempuan tua dan seorang lagi perempuan paruh baya.
Perempuan tua tersenyum, menunjukkan gigi-giginya yang masih utuh
walaupun di usia senja. Kulitnya berwarna pucat. Rambutnya nyaris putih
semua dan bergantung selurus panah ke bahunya, tepat mengusap kerah jas
hitamnya. Perempuan yang lain memiliki raut wajah yang cantik seperti
Stefani. Ia tersenyum, kulit wajah bersemu merah, seperti menahan rasa
rindu yang berlarat-larat pada Stefani. Ia memakai rompi bulu-bulu tebal
dan bercorak simbol-simbol perak yang terpilin-pilin. Mereka berdua
kelihatan seperti bidadari yang baru saja keluar dari sebuah buku. Ya,
dari sebuah buku layaknya cerita dongeng.
“Nenek, Mama, aku kangen!” seru Stefani menghambur memeluk dan menciumi pipi kedua perempuan itu.
“Bagaimana perjalanan kalian dari Belanda ke Jerman?” tanya Stefani.
Mereka lantas terlibat percakapan yang penuh kehangatan. Di ujung
beranda yang tertutupi serpihan salju, bergerak-gerak ke arah mereka
bayangan hitam pekat dengan gerakan terputus-putus yang tajam. Meski
gerakan bayangan hitam itu tersentak-sentak, bayangan itu mendekat
dengan gesit.
Tiba-tiba terdengar bunyi gerincing logam bertemu logam. Derap sepatu
di lorong beranda. Suara jeritan yang tercekat dari mulut nenek dan
ibunya, ketika kepala mereka menggelinding di lantai ruang tamu. Darah
tepercik di wajah Stefani. Stefani terbangun di ranjangnya sendirian,
lagi-lagi dengan mimpi buruk yang kian bergejolak. Ia menyeringai
sebelum menyulut sebatang rokok yang telah ia sisipkan di belahan
bibirnya yang seksi.
“Mimpi sialan!” Stefani kini sedang melukis mimpinya.
Jakarta, 2012
Bamby Cahyadi, bergiat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata). Bukunya, Kisah Muram di Restoran Cepat Saji (2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar