Malam

Cerpen Vivi Diani Savitri

Terbit di Koran Tempo, 27 Januari 2013




 Bahan Referensi Cerpen
 
Malam pertama.

AKU tidak sepenuhnya terjaga. Tidak juga sepenuhnya terlena. Antara mimpi dan nyata. Lampu kamar kadang terasa terlalu benderang. Kadang terasa malam terus-menerus dan siang tak pernah datang.
Aku silau dalam kegelapan.


Malam kedua.

AKU mengalami apa yang sejak kemarin aku inginkan: aku ditinggalkan oleh rasa takut. Rasa takut itu hilang tiba-tiba. Lega sekali rasanya. Tadinya aku kesulitan menduga apa penyebabnya. Kenapa sesuatu yang demikian gelap dan berat bisa hilang begitu saja?

Akhirnya, setelah lama berpikir: aku mulai bisa menebak sebabnya. Malam itu aroma yang sejuk dan mewah masuk ke indra penciumanku.

Aroma karbol.

Aku jadi senang. Aku kenali aroma ini sebagai wewangian yang kadang kucium di dalam kelas. Ruang kelas kami sedikit pengap, apak, dan lembap, tapi pada saat-saat tertentu ada jadwal kerja bakti: kelas harus dibuat bersih dan wangi. Di lingkungan seperti tempat kami begini, karbol adalah barang mewah. Yang memberi jatah tiap kelas langsung adalah Bapak Kepala Sekolah. Pada hari kerja bakti, ia akan mendatangi setiap kelas, membawa sebuah kaleng putih dengan gambar hijau pohon cemara. Siapa saja yang diberi tugas mengepel akan berdiri di pintu kelas dengan ember yang sudah terisi air. Bapak Kepala Sekolah akan mendatangi kelas-kelas, mulai dari yang terdekat dengan kantornya, menuangkan karbol dalam sekian hitungan, lalu menyambangi ruang kelas berikutnya, begitulah seterusnya. Dengan kehati-hatian yang mengesankan, Bapak Kepala Sekolah menuangkan cairan putih keperakan itu pada ember yang kami tunggui. Karbol langsung tercium harum begitu meluncur mulus dari bibir kaleng. Ia akan meliuk cantik melingkar berpusaran di dalam air. Putihnya berpendar-pendar, aromanya makin menguar.

Aku selalu merasa bangga bila mendapat tugas mengepel. Guru dan teman-teman juga senang menyuruh aku melakukan tugas itu. Aku bukan juara kelas, tapi aku pandai membersihkan ruangan sebagaimana ibuku, yang jadi pembantu rumah tangga paruh waktu.

Aroma karbol mengingatkanku bahwa aku adalah sesuatu.


Malam keempat.

INI hari yang mengasyikkan. Sambil menikmati keharuman, aku mulai bisa merasakan sesuatu. Ada yang sedikit tegang pada tubuh bagian bawahku. Seperti akan bergerak, berjalan. Tentu aku girang. Aku inginkan kakiku mampu melangkah lagi. Kaki yang sudah tertidur berhari-hari.

Karena keriangan itu, aku sempat mimpi bermain petak umpet. Aku pandai mencari tempat sembunyi, mungkin juga karena aku suka tempat sepi. Aku jago berlari, mungkin juga karena tubuh kurusku ringan sekali. Petak umpet sering kumenangi. Saat si Penjaga tiang hong meninggalkan tempatnya untuk mencari kami yang sembunyi, aku berlari dari tempat sembunyiku dan sudah akan mencapai tiang hong sebelum si Penjaga datang, lalu aku berteriak kencang sekali. Hong!!

Tapi mimpi juga seperti hidup itu sendiri. Awal dan akhirnya bisa tak bersambungan sama sekali. Satu saat aku menang dan meneriakkan hong, namun saat berikutnya aku berada di kebun kosong tiba-tiba. Setiap pohon seperti tiang hong buatku. Tidak ada si Penjaga. Tidak ada teman lain yang keluar dari persembunyian mereka. Aku menanti, meneriakkan hong berkali-kali.

Sewaktu ada yang menyeruak, aku tahu itu bukan si Penjaga, tapi si Orang Jahat yang harusnya dijauhkan dari kami, anak-anak begini. Bagaimana mungkin dia bisa ada di sini? Tentu karena si Penjaga tidak ada pada tempatnya. Mungkin juga karena aku biarkan dia ada. Aku tidak menyangka bagaimana seorang bisa berlaku begitu jahat pada orang lain. Juga kepada diriku.

Saat si Orang Jahat mendatangiku berkali-kali, memaksa memasuki aku di antara kedua kaki kurusku yang jago berlari, aku berteriak, Hong! Hong! Tolong!


Malam keenam.

ATAU malam keenam belas? Rasanya sudah lama sekali. Aku berhenti menghitung hari karena lebih sering didatangi mimpi.

Namun kali ini aku mendengar suara perempuan yang terdengar cerdas dan lugas. Aku membayangkannya seperti Ibu Guru Siska yang mengajar IPA di sekolah. Kalimat-kalimatnya pendek. Nadanya datar. Pilihan katanya selalu pintar, mungkin karena didengar oleh aku yang kurang pintar. Sesungguhnya Ibu Guru Siska juga jarang datang mengajar IPA di sekolah karena rumahnya di pusat kota sedang sekolah kami di daerah bantaran di pinggir kota. Untuk mencapai sekolah kami, Ibu Guru Siska perlu naik bis kota, lalu mobil angkot, lalu mobil angkot lain, lalu ojek sepeda motor. Kata orang, Ibu Guru Siska sudah banyak berkorban untuk penugasannya. Mengetahui itu, kami semua maklum jika Ibu Siska jadi jarang datang. Siapa pula yang mau menikmati tugas demikian dan mengorbankan diri untuk kami?

Perempuan yang suaranya seperti Ibu Guru Siska ini kadang memang datang. Entah ia datang karena ditugaskan, atau memang ia sekadar suka berkunjung ke mipi orang-orang di waktu malam.

“Ada yang salah,” katanya.

Aku mendengar guman berkepanjangan sebagai jawabannya.

“Harus ada pemeriksaan lanjutan,” lanjut suara sosok yang mirip Ibu Guru Siska itu.

Kini tanggapan di sekitarnya berupa suara isak bersahutan. Siapa yang menangis? Kenapa pula harus menangis? Sementara sejak tadi aku mencoba tersenyum. Ada hasrat besar agar kebahagiaanku diperhatikan. Kalau kepedihan selama ini tidak bisa membuat aku dipedulikan, semoga kebahagiaan bisa membuat aku mendapat tanggapan.

Ibu Guru Siska tidak pernah mengatakan di saat pelajaran IPA bawah tubuh bisa menangis dan berdarah. Baru sekarang aku paham sungguh-sungguh bahwa kita tidak boleh main-main dengan tubuh. Tidak boleh! Ada rasa sakit yang begitu besar jika tubuh diperlakukan tak sepatutnya. Mencuci diam-diam cairan kesakitanku yang tercecer pada celana dalam tidak semudah mengepel kotoran pada lantai kelas dengan karbol. Menyeka luka di tubuh yang menanah justru lebih mudah daripada mengobati luka yang menganga dalam dada.

Tapi kini aku sudah tidak merasa takut lagi, bukan? Si Orang Jahat jarang menyambangi mimpiku. Maka aku memanggil, Ibu, Ibu! Ada bentangan seprei tali yang terikat pada dua tonggak, menghalangi aku dan ibu. Seprei putih yang tidak pernah kami miliki. Dalam mimpi bahkan Ibu tetap babu cuci. Kutanya pada Ibu, Ibu, mengapa Ibu mencuci dengan karbol? Pak Kepala Sekolah bisa marah. Ini kan barang mewah. Aku berani bersumpah bisa membaui karbol dalam mimpi. Saat seprei putih tertiup angin dan tersingkap sejenak, aku melihat wajah Ibu yang pucat pasi. Ibu menangis atau tersenyum? Ibu mengulur tangannya. Aku meraih apa yang diberikan dari genggamannya. Celana dalamku yang berlumur warna merah sekali. Ibu aku minta karbol dulu ke Bapak Kepala Sekolah. Aku cuci dulu ini supaya nanti aku harum lagi.

Aku ahrum lagi. Aku perlu menjadi harum lagi. Aku berlari meninggalkan Ibu. Aku berlari hingga sesak napasku, dan berteriak hening sekali. Hong! Hong! Tolong!


Malam kedelapan.

KADANG orang perlu bermimpi agar tahu bahwa hidupnya saat terbangun justru punya arti. Tapi ya janganlah lebih dari itu. Maksudku, seperti mimpiku yang terlalu sering datang, sementara aku tak punya kendali terhadapnya. Tentulah berbeda bila aku terjaga. Aku bisa punya sedikit kuasa, punya tenaga, seperti ketika aku menunaikan kerja bakti dengan ember, pel, dan karbol.

Aku ingat, pada mimpiku yang kesekian aku mulai membulatkan tekad. Aku pelari handal, aku ingin memenangi petak umpet lagi dan lagi. Aku ingin jadi ketua kelas, tidak sekadar petugas pel kelas. Aku ingin tahun depan mengikuti ujian. Masuk SMP Negeri, agar aku tidak memberatkan ayahku yang hanya pemulung jalanan. Sayang sekali aku harus pergi, karena tubuhku rupanya meremuk tak sanggup menampung jiwaku lagi.

Padahal aku ingin kembali. Bukankah aku sudah jadi pemberani? Di malam kedelapan di rumah sakit ini, aku ingin mengatakan siapa yang telah memerkosaku berkali-kali sampai aku tak sadarkan diri, tak pernah siuman lagi, hingga jadi mati begini. (*)



Vivi Diani Savitri tinggal di Jakarta. Buku cerita pendeknya berjudul Menanti Sekarini (Koekoesan, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar