Cerpen Dadang Ari Murtono
Terbit di Kompas, 13 Januari 2013
Bahan Referebsi Cerpen - SIAPA PUN pasti akan sulit percaya bila aku katakan bahwa saat
ini aku sedang berada di sebuah kota yang tak ada dalam peta. Kota
dengan penghuni yang bisu. Ya. Bisu. Semua penduduknya bisu.
Dan karena semua penduduknya bisu, maka mereka hanya saling tersenyum
atau menganggukkan wajah bila berpapasan sebagai tanda menyapa. Mereka
menunjuk barang apa saja yang ingin mereka beli di toko. Dan karena
semua bisu, maka sebanyak apa pun penduduk kota itu, suasana tetap saja
begitu hening.
Kota itu adalah kota yang tua. Begitu tua. Kau bisa mengetahuinya
hanya dengan melihat bangunan-bangunan yang ada di kota itu. Semua
mengesankan bahwa bangunan-bangunan itu telah ada semenjak ratusan tahun
yang lampau. Begitu pula dengan model pakaian yang mereka kenakan. Aku
tidak tahu kenapa bisa begitu. Aku menduga karena posisinya yang begitu
sulit dicari (bahkan, peta paling lengkap pun tak sanggup menggambarkan
letak kota itu), maka kota itu menjadi terputus dengan peradaban yang
ada di luar kota tersebut.
Konon, dulu sekali, penduduk kota itu sama seperti orang normal
kebanyakan. Tidak bisu. Bisa bicara. Pada waktu itu, kota tersebut
dikuasai oleh seorang penguasa yang kejam. Yang begitu haus kekuasaan.
Yang takut kekuasaannya bakal direbut orang lain. Tidak sekali dua kali
si penguasa menerapkan kebijakan yang sama sekali tidak bijak. Misal:
menetapkan tarif pajak yang sama dengan penghasilan penduduknya. Atau
ketika si penguasa hendak merenovasi kediamannya yang besar selayaknya
istana, mewajibkan setiap penduduk kota itu bekerja di sana tanpa upah.
Persis kerja rodi. Atau romusa. Si penguasa juga menjadikan segala
tambang yang ada di kota itu (dulu, kota itu memiliki banyak tambang,
mulai tambang emas, tambang minyak bumi, hingga tambang batu bangunan)
menjadi milik pribadinya.
Tidak ada yang berani melawan si penguasa. Si penguasa memiliki
pasukan yang kuat dengan persenjataan yang canggih. Siapa pun yang
berani melawan, akan bernasib tragis. Pagi melawan, sore mati. Begitulah
selama bertahun-tahun.
Tidak ada yang secara terang-terangan mencoba melawan si penguasa.
Semua penduduk merasa ketakutan. Dan orang yang takut, pada akhirnya,
hanya berani bergunjing di belakang. Membicarakan segala sesuatu tentang
si penguasa yang buruk-buruk.
Namun, seperti kata pepatah, sebaik-baik menyimpan bangkai, baunya
akan tercium juga, begitu pula dengan gunjing-gunjing tersebut. Entah
bagaimana, si penguasa akhirnya tahu juga bila semua warga kota itu
selalu menggunjingnya, membicarakan keburukannya.
“Suatu hari, gunjing-gunjing itu bisa berubah menjadi gerakan
pemberontakan!” demikian kesimpulan si penguasa. “Ketika waktu itu tiba,
bukan tidak mungkin sekuat apa pun pasukanku, tidak akan dapat meredam
orang-orang itu,” pikirnya lagi.
Maka begitulah. Pada suatu ketika, dengan tujuan agar tak ada lagi
penduduk kota yang membicarakan keburukannya, yang kemungkinan besar
bisa membahayakan kedudukan si penguasa di kemudian hari, si penguasa
mengeluarkan kebijakan yang aneh. Kebijakan paling aneh yang pernah
dibuat. Memotong lidah semua penduduk kota itu.
Dan bukan hanya lidah orang yang sudah dewasa yang dipotong,
melainkan juga lidah anak-anak. Bahkan, lidah mereka yang masih bayi.
Lalu begitulah. Entah kenapa, setelah semua lidah penduduk dipotong,
setelah semua yang ada di kota itu menjadi bisu, setiap bayi yang lahir,
tiba-tiba saja sudah tak berlidah. Semua orang menjadi bisu. Hingga
hari ini.
Itu memang cerita yang sulit diterima akal sehat. Namun, cerita itu
bukanlah satu-satunya cerita tentang asal mula bisunya penduduk kota tua
itu.
Ada cerita lain. Konon, dulu, penduduk kota ini adalah orang-orang
yang banyak bicara. Tidak sedetik pun mereka tidak bicara. Bahkan, dalam
tidur pun, mereka bicara. Mengigau. Semua selalu ingin bicara. Semua
selalu ingin ucapannya yang didengar. Namun siapa yang mendengar bila
semua orang hanya ingin bicara? Semua seolah lupa kenapa Tuhan
menciptakan satu mulut dan dua telinga. Semua seolah lupa bila Tuhan
ingin kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Dan keadaan
seperti itu semakin parah karena ternyata yang mereka bicarakan semata
bualan! Bualan belaka!
Pada waktu itu, entah dari mana, seseorang yang konon adalah wali
Tuhan, sampai ke kota itu. Si wali begitu terkejut mengetahui betapa
orang-orang di kota itu teramat suka membual. Namun si wali tahu, lidah
bisa membual, tetapi tidak halnya dengan mata. Mata selalu jujur perihal
apa yang ada di dalam hati. Segala yang ada di hati, yang sebenarnya,
seperti tersirat dari pandangan mata. Mata seolah telaga bening dengan
dasar berupa hati. Itu pula sebabnya orang-orang menyebut mata sebagai
jendela jiwa.
Konon, kemudian si wali yang prihatin berdoa. Berdoa agar semua orang
di kota itu berhenti membual. Agar orang-orang di kota itu tidak lagi
bicara dengan mulut dan lidah. Melainkan dengan mata.
Semenjak itu pula, semua orang menjadi bisu. Bisu hingga turun temurun. Hingga hari ini.
Aku tidak tahu cerita versi mana yang benar. Dan itu tak penting
benar bagiku. Aku datang ke kota ini dengan niat awal untuk tinggal di
sini. Tinggal bersama kekasihku. Kekasih yang pada awal-awal percintaan
kami berkata bahwa dia akan selalu mencintaiku. Kekasih yang bersumpah
hanya akan mengucap cinta kepadaku.
Waktu itu, aku percaya. Hingga kemudian, beberapa waktu yang lalu,
aku tahu, ia menggunakan lidah dan mulutnya untuk mengucap cinta kepada
lelaki lain. Dan bukan hanya mengucap cinta, lidah dan mulut itu juga
mengecup serta mengulum mulut dan lidah lelaki lain. Bahkan, mungkin,
bukan hanya lidah dan mulut lelaki lain itu saja yang ia kecup dan
kulum. Mungkin juga bagian tubuh yang lain dari lelaki itu.
Aku cemburu. Aku menuntut sumpahnya. Tapi ia bilang aku terlalu
mengada-ada. Ia bilang aku terlalu cemburu. Ia bilang ia tidak melakukan
apa-apa yang aku tuduhkan kepadanya. Ia berkata lagi, ia bersumpah lagi
tetap mencintaiku. Dan aku meminta pembuktian. Aku meminta kepastian
bahwa lidahnya tidak bakal mengucap cinta kepada lelaki lain. Aku
meminta kepastian bahwa lidahnya tidak bakal menjilati tubuh lelaki
lain.
Begitulah. Dengan bersusah payah, dengan cara yang teramat sulit
dijelaskan, kami sampai ke kota ini. Kota tua bisu. Aku yakin, ada
enggan di dalam hati kekasihku. Barangkali kadarnya cuma sedikit. Tapi
ada. Dan aku memaksanya.
Demi cinta.
“Di sana, di kota orang-orang bisu, tidak bakal ada yang melihat kita
dengan aneh. Tidak ada yang memandang kita dengan pandangan kasihan.
Bukankah sangat tidak nyaman menyadari bahwa orang memandang kita dengan
pandangan yang serupa itu, bukan? Bukankah kita hidup di negeri yang
aneh? Negeri di mana orang- orang suka meremehkan orang-orang yang
mereka anggap cacat? Di kota itu, di kota orang-orang bisu itu, kita
tidak akan mendapat pandangan yang aneh. Kita tetap menjadi manusia yang
utuh, manusia normal ketika berada di sana,” kataku. Meyakinkan.
“Bukankah kau mau membuktikan kalau kau memang benar-benar mencintaiku?” desakku.
Begitulah mulanya kami sampai di kota itu. Kami saling mengucap
cinta. Mengucap nama masing-masing. Itulah kata-kata terakhir yang lidah
kami ucapkan. Sebab setelah itu, kami sama-sama menghunus pisau. Saling
memotong lidah. Saling membisukan diri. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar