Dongeng Peri

Cerpen Rilda A.Oe Taneko

Terbit di Media Indonesia, 17 Februari 2013



Bahan Referensi Cerpen - PINTU
Pintu telah dibuka. Engsel tuanya berderit menyayat. Sebuah pintu kayu, padat dan tebal, dicat merah dengan dekorasi cor cetakan besi legam berbentuk sulur tanaman jalar, yang seakan mencengkeram. Pintu yang tinggi besar, sekokoh, dan seraksasa ayah.

Pintu yang pernah ayah lalui. Dan, sekali ia tiba di sisi lain pintu, ayah tak pernah kembali. Dia begitu senang dengan kehidupan barunya hingga lupa masa lalu. Itu semua karena bunda. Ayah jatuh cinta begitu dalam kepada bunda hingga ia memutuskan untuk tinggal di sisi lain pintu, di tempat baru nan asing. Ia juga jatuh cinta pada tempat itu, pada hutan tropis, dan hangat matahari.

“Tapi bukan untuk saya,” beberapa waktu lalu aku berkata. “Saya berbeda. Saya pirang dan kulit saya cerah. Hidung saya mancung, mata saya biru. Saya serupa denganmu, kita berbeda dengan orang-orang di tempat ini.”

“Tidak, tidak begitu,” jawab ayah.

“Ya, tentu seperti itu,” aku bersikeras, melihat langsung ke matanya, menantang.

Ayah mengusap rambut di dahinya, lalu menghelanya ke belakang kepala, memperlihatkan tanda lahir di dahinya. Tanda itu seperti kelopak kecil mawar merah dicap di tengah dahi. Ia menghela napas.

“Kau lebih mirip dengan orang-orang di tempat ini daripada di sisi lain pintu. Kulit dan rambutmu lebih gelap dibanding mereka,” kata ayah.

“Tidak. Saya berasal dari tempat yang lebih indah dari tempat ini, tempat di mana semua orang menatap kagum.”

Ayah diam, berhari-hari lamanya. Bunda bilang, terkadang diam adalah tangisan yang paling keras. Tapi, aku tak peduli. Dan sekarang pintu telah dibuka, aku tidak perlu mendengarkan bunda dan ayah lagi.


ISTANA 

Di sisi lain pintu, karpet tebal merah panjang menyambutku. Matahari dan bulan muncul bersamaan. Ada dua pelangi di langit abu-abu. Pada sisi-sisi karpet, deretan pohon sakura terusik angin. Bunga-bunga mekar, meski saat itu musim dingin, dan kepingan salju lembut berputar-putar di udara.

Pada akhir karpet, ada sebuah balairung, berlangit kubah tinggi, dan dihiasi lukisan menakjubkan: malaikat-malaikat kecil dan kesatria tampan. Temboknya biru berkilau, tirai-tirai bercorak bunga panjang menjuntai, berat dan anggun. Di tengah ruangan, pangeran-pangeran tampan dan putri-putri cantik berdiri, mengenakan gaun terindah yang pernah kulihat. Untaian aster jadi mahkota. Peri-peri mungil melompat ringan dari lantai, tertawa, bercanda, menaburkan debu ajaib ke seluruh ruang. Sayap mereka berkilau, memantulkan pelangi.

“Etta, Etta! Mengapa hanya berdiri? Mari berdansa!” seorang pangeran mengulurkan tangannya. Namaku bukan Etta. Tapi, melihat pesona senyum sang pangeran, aku enggan menjelaskan.

Kami menari, mengelilingi ruang, berpegangan tangan. Pangeran dan putri menatap dan berbisik di belakang kami. Namun, tak lama kemudian mereka turut menari. Rasanya begitu ajaib. Aku merasa seperti sedang terbang di angkasa. Hatiku meleleh oleh senyum-senyum menawan, gaun-gaun yang tersibak bergelombang, dan tarian memikat. Aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa ayah tak pernah bercerita tentang dunia yang menarik ini? Mengapa ia menyembunyikan keindahan ini? Dan, mengapa ayah memilih untuk meninggalkan semua ini, lalu menukarnya dengan dunia yang biasa dan membosankan?

Musik perlahan memudar dan seorang perempuan, penuh karisma dan daya tarik, memasuki ruang. Semua pangeran dan putri menekuk lutut, menghaturkan kesopanan. Perempuan itu tentunya tokoh penting, aku menduga. Mungkin ia seorang ratu.

Tidak lama, perempuan itu memulai pidatonya. Ia berbicara melalui kelopak mawar yang dipegangnya dengan dua jari lembut dan panjang. Kelopak itu mengubah serak suaranya menjadi lagu pengantar tidur terindah yang pernah aku dengar. Ia berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan dan kebahagiaan, tentang hal-hal besar dan amal yang telah ia lakukan. Ia menyalurkan energi positif ke seluruh ruang, membuat lantai-dinding balairung semakin bersinar dan peri-peri kecil bercahaya. Di sekitarku, orang-orang bersorak dan bertepuk tangan.

Pangeran di sampingku berbisik, “Hanya suara yang menjadi tua di sisi ini. Ia bicara aneh, kau tidak akan mengerti apa-apa!” Dia tersenyum jenaka dan aku membalasnya dengan senyum manis.

“Mari kita pergi, akan aku tunjukkan tempat yang menarik.”

Aku tidak bisa menolak keinginan pangeran karena ia begitu manis meminta.

Kami mengendap-endap ke taman di bawah langit gelap, di mana tanaman dipangkas rapi beraneka bentuk: angsa, bidadari, dan kuda. Ada juga labirin dan taman mawar, air mancur patung malaikat. Kelopak warna-warni bunga mawar tertiup angin sejuk, harum merebak. Pangeran membawaku ke gerbang besi tinggi. Di setiap sisi jalan menuju gerbang, deretan patung batu pangeran dan putri berdiri sedih. Wajah mereka tampak menderita, seakan menanggung kesengsaraan yang sangat, berbeda dengan aura di balairung yang penuh kebahagiaan.

Ini pertama kalinya aku melihat rasa sakit di bagian lain pintu merah. Aku ingin bertanya kepada pangeran tentang patung-patung itu, tapi aku takut merusak sukacita kami.


SUNGAI, HUTAN 

Dari gerbang, kami menuruni jalan berbatu, melewati rumah-rumah berlampu terang, lalu bertemu sungai, airnya ungu gelap. Sungai itu begitu luas dan kabut begitu tebal hingga aku tak bisa melihat ke seberang. Pangeran mengajakku naik gondola hitam. Ia bersenandung pelan, dan gondola bergerak bersama dengan alunan nada dan riak sungai.

Dua sosok gelap menunggu di seberang. Mereka membantu pangeran, dan aku melompat dari gondola. Ketika tanganku menyentuh tangan mereka, aku merasakan sengatan tajam. Aku berdiri di tepi sungai ketika kabut perlahan menghilang dan sangat terkejut melihat wajah penolong kami. Mengerikan! Mata mereka bengkak, nyaris keluar, hidung terbuka lebar, mulut juga bengkak, satu sisi wajah tampak terbakar, dan kulit yang rusak. Aku menjerit!

“Jangan takut,” kata pangeran. “Mereka teman kita. Mereka orang-orang baik di bagian dunia ini.”

Pangeran memintaku untuk terus bergerak. Kami berjalan di jalan setapak sempit, menuju ke sebuah hutan yang gelap.

Aku menutup mulut dan berbisik, “Apa yang telah terjadi pada mereka?”

“Orang-orang di sisi lain sungai, yang kamu temui di istana, mengirim pasukan untuk membunuh mereka, merampas tanah, juga mengambil berlian, emas, gas, dan minyak. Orang-orang itu membangun istana di atas darah dan air mata.”

“Tapi bagaimana mungkin? Mereka terlihat penuh cinta dan kehalusan.”

Pangeran tak menjawab. Kami masuk jauh ke dalam hutan. Di tengah hutan, pohon raksasa berdiri. Pohon itu tampak seperti sebuah apartemen. Aku dapat melihat lampu dan asap perapian melalui lubang cabang-cabang pohon. Di dalam pohon, aku melihat anak-anak kurus-kering, sekarat, para wanita membalut luka-luka, dan orang-orang, seperti dua sebelumnya, yang kehilangan bagian tubuh mereka.

“Lalu kamu siapa?” tanyaku, bingung. “Saya pikir kamu salah satu dari mereka.”

“Saya seorang pemberontak,” pangeran tersenyum. “Mereka tidak tahu tentang itu. Jika mereka tahu, mereka akan mengubah saya menjadi patung batu.”

“Apakah itu yang terjadi dengan patung-patung dekat gerbang besi? Apakah mereka pernah hidup?” tanyaku lagi.

Pangeran mengangguk, “Mereka pernah sangat hidup. Hati mereka lembut, berakal sehat dan berkulit segar.”

Aku ingin kembali bertanya, namun pangeran meletakan jarinya di bibir mengisyaratkan untuk diam. Kami mendengar ledakan keras di luar. Pangeran berlari ke luar pohon. Aku bergabung. Langit berwarna-warni cerah. Seolah hujan cahaya.

“Mereka meluncurkan kembang api! Mereka meluncurkan bom,” teriak pangeran.

Orang-orang berlari ke pohon, bersembunyi ke bawah tanah. Aku melihat hutan terbakar, dan di atas kobaran api, kembang api memecah-mecah. Setelah semua orang pergi ke ruang bawah tanah, pangeran memintaku turut. Malam itu kami semua tidur di tanah yang keras, berdampingan, diselimuti daun mapel berwarna-warni. Aku bisa mendengar napas lembut bayi tidur dalam pelukan ibu mereka. Anehnya, aku merasa damai di tempat suram ini.

Sebelum ia jatuh tertidur tak jauh dariku, pangeran berkata, “Bermimpi indahlah untuk kita semua, Etta. Mungkin semua ini benar-benar hanya mimpi.”

“Nama saya bukan Etta,” aku menjelaskan.

“Saya tahu itu,” gumam pangeran, mengantuk.

Aku terkejut, “Kau tahu?”

“Saya tahu kau akan datang, jadi saya pergi ke balairung, demi membawamu kemari. Orang-orang itu, mereka tidak suka berbaur dengan orang yang terlihat berbeda dari mereka.”

Pangeran menguap lalu tertidur. Rambut di dahinya jatuh ke samping. Tepat di tengah dahinya, aku melihat sebuah tanda lahir. Seperti kelopak kecil mawar merah. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar