Cerpen Wendoko
Terbit di Koran Tempo, 17 Februari 2013
Bahan Referensi Cerpen - LEWAT teleskop di senapan Steyr-nya, ia mengamati
keadaan di bawah sana. Ia melihat kerumunan mahasiswa, mungkin lebih
dari 1.000 mahasiswa, memenuhi jalan dari gerbang kampus sampai ke dekat
kantor lama walikota. Ia hanya berjarak 400 meter dari mereka. Hampir
seluruh mahasiswa itu berjaket biru-tua, tapi ia juga melihat beberapa
orang yang berjaket kuning dan krem-pudar. Lalu beberapa orang berkaus
oblong tapi mengikatkan jaket ke pinggang atau melingkar di leher.
Jam 15.11.
Hujan sudah lama reda. Sekarang turun gerimis kecil.
Ia melihat hampir seluruh mahasiswa itu duduk atau berjongkok di
aspal, dengan beralas robekan koran. Sebagian lagi duduk-duduk di kantin
trotoar, atau berdiri menggerombol dengan spanduk ‘Turunkan Harga’ dan
‘Mahasiswa Menuntut Demokrasi dan Reformasi’. Beberapa yang lain membawa
bendera. Di sudut yang agak jauh, beberapa orang mengusung spanduk
besar bertulisan ‘Rakyat Minta Presiden Mundur’. Tapi semua mata menatap
ke satu titik di depan kantor lama walikota, pada seseorang yang
berorasi dengan mencangklongkan corong di bahu. Ia tak bisa mendengar
apa yang dikatakan orang itu, tapi ia melihat sesekali mahasiswa
berteriak dan beberapa orang melakukan gerakan-gerakan, seperti
menyanyi.
Lalu 20 meter dari orang yang sedang berorasi, tampak kawan-kawannya
dari angkatan bersenjata membentuk barikade empat lapis. Lapis pertama
adalah polisi dengan tameng dan tongkat. Lapis kedua juga polisi, dan
mereka bersenjata senapan. Lapis ketiga bukan polisi, tapi angkatan
darat. Ia mengenali dari corak seragam mereka. Di baris paling belakang
kelihatan 10 sepeda motor. Masing-masing dengan pengemudi dan
pembonceng, serta senapan menyerong di dada.
Jam 15.17.
Ia lalu menatap ke arah kampus, yang berjarak 200 meter dari kantor
lama walikota. Di dalam kampus kelihatan kerumunan mahasiswa dalam
jumlah besar. Lebih banyak dibanding yang turun ke jalan. Tapi sebagian
mahasiswa mulai meninggalkan kampus lewat gerbang samping. Kampus itu
terletak di persimpangan perempatan jalan. Jadi ada dua pintu gerbang.
Tak jauh dari gerbang samping, ia melihat barikade angkatan darat dengan
dua truk dan lima panser. Angkatan darat juga tampak berjaga di jalan
layang dan di jalan samping pusat perbelanjaan, di seberang kampus.
Sementara di jalan layang tepat di depan kampus, beberapa polisi
berjongkok dan laras senapan mereka mengarah ke kampus. Polisi juga
memblokir jalan tol di bawahnya, dan menaruh regu penembak di jembatan
penyeberangan. Diam-diam ia tersenyum kecil. Kampus yang terletak di
salah satu perempatan paling sibuk itu sekarang betul-betul terkepung!
Tetapi dari kerumunan di dekat kantor lama walikota, ia mendapati pemandangan yang unik. Lewat teleskop di senapan Steyr-nya,
ia melihat beberapa mahasiswa tersenyum atau tertawa. Ia melihat
dua-tiga wartawan asing, yang menelepon dengan muka tegang—dan
ditertawakan oleh para mahasiswa. Ketika salah seorang wartawan
mengangkat kamera, beberapa mahasiswa mendekat dan berpose sambil
berangkulan. Ia juga melihat dua mahasiswa membagikan minuman kemasan
pada polisi-polisi di barikade, lalu meminta foto bersama. Beberapa
polisi malah menyelipkan bunga—mungkin pemberian para mahasiswa—di
senapan mereka. Meskipun semua mata mengarah pada orang yang sedang
berorasi, suasana di depan kantor lama walikota itu tampak santai.
Sekali lagi ia tersenyum kecil. Sejak unjuk rasa mahasiswa merebak
lebih dari dua bulan lalu, ia tak pernah percaya bahwa ribuan mahasiswa
yang sudah turun ke jalan-jalan itu betul-betul serius meneriakkan
tuntutannya. Mungkin banyak dari mereka yang serius, tapi pasti lebih
banyak lagi yang ikut-ikutan—sekadar menunjukkan solidaritas di antara
mahasiswa. Dan pemandangan hari ini, pemandangan di depan kantor lama
walikota, paling tidak menunjukkan dugaannya tidak meleset!
Jam 15.30.
Lewat pengeras suara, polisi mengumumkan unjuk rasa itu hanya diizinkan sampai jam 16.00.
Terdengar teriakan-teriakan dari kerumunan mahasiswa, disusul
lolongan “huuuu” yang panjang. Tapi setelah itu semua mata kembali
tertuju ke ‘mimbar’, pada orang yang tadi berorasi dan sekarang duduk
dan digantikan oleh orang lain.
Lalu ia melihat sesuatu di jembatan penyeberangan. Ia mengarahkan
teleskop ke sana, dan mengamati. Kelihatan seseorang, mungkin wartawan
asing, yang sedang memotret ke bawah—ke arah kerumunan. Orang itu juga
kelihatan menawarkan donat pada regu penembak, lalu memotret salah
seorang di antaranya yang tersenyum sambil mengacungkan jempol.
Sekarang ia teringat. Orang itu, wartawan asing itu, adalah orang
yang beberapa waktu lalu berjalan bolak-balik di depan kantor lama
walikota. Orang itu juga berjalan melintasi kampus, sampai ke barikade
di jalan samping. Di sana orang itu terlihat mengobrol cukup lama dengan
salah satu personel angkatan darat, sebelum keduanya bersalaman, dan
dengan leluasa orang itu memotret di depan barikade.
Kali ini ia tersenyum kecut. Kepalanya menggeleng lambat. Inilah
mental bangsa ini, umpatnya dalam hati. Bangsa ini memang bermental
hamba dan cenderung merendah di depan orang asing. Tetapi ketika
berhadapan dengan sesamanya, bangsa ini bisa berubah beringas. Unjuk
rasa mahasiswa hanya salah satu contoh yang menunjukkan keberingasan
itu. Sejak dua bulan lalu, entah sudah berapa mahasiswa atau
kawan-kawannya dari angkatan bersenjata yang dirawat di rumah sakit.
Unjuk rasa mahasiswa yang mulanya hanya aksi keprihatinan sudah berubah
anarkis dan destruktif, sejak mereka turun ke jalan-jalan. Mereka
menuntut reformasi di bidang ekonomi, politik dan hukum. Lalu mereka
meneriakkan pengunduran diri Presiden dan pembubaran kabinet. Terakhir
mereka mulai berani membakar potret atau patung Presiden. Ketika itulah
kawan-kawannya dari angkatan bersenjata dikerahkan untuk menertibkan,
dan sejak itu muncul bentrokan-bentrokan. Dalam tiap bentrokan selalu
ada yang luka. Makin lama makin banyak, dan makin banyak yang dirawat di
rumah sakit. Bahkan beberapa hari lalu, ia mendengar tentang seorang
mahasiswa dan seorang polisi meninggal dalam dua bentrokan terpisah.
Belum lagi kalau bicara tentang kerusuhan rasial yang akhir-akhir ini mulai merebak.
Terus terang, ia menyesalkan semua aksi unjuk rasa itu. Saat ini
negara tengah dilanda krisis ekonomi yang parah. Nilai mata uang terus
merosot. Harga-harga melambung. Kebutuhan pokok makin sulit didapat.
Banyak perusahaan gulung tikar, yang berakibat tingginya jumlah
pengangguran. Belum lagi ditambah bencana yang datang beruntun dalam
setahun terakhir. Kebakaran hutan. Panen yang gagal. Kelaparan di pulau
terjauh negara ini. Lalu wabah demam berdarah di 12 provinsi. Seharusnya
dalam kondisi ini semua pihak bisa menahan diri, dengan membiarkan
pemerintah bekerja. Mahasiswa tak perlu berunjuk rasa dan menambah
kerumitan. Tapi persoalannya, pihak rektorat universitas mengizinkan,
dan mahasiswa mendapat dukungan dari banyak tokoh oposisi yang mulai
bersuara lantang.
Jam 16.05.
Polisi memasang pita garis-polisi di depan kantor lama walikota.
Jam 16.11.
Lewat pengeras suara, polisi menegaskan unjuk rasa itu hanya
diizinkan sampai jam 16.00. Karena sekarang sudah lewat 16.00, mahasiswa
diminta kembali ke kampus.
Beberapa mahasiswa berdiri dan berjalan ke arah kampus. Tapi sebagian besar tetap duduk di jalan aspal.
Jam 16.17.
Polisi menegaskan agar mahasiswa kembali ke kampus. Jika menolak, akan diambil tindakan untuk memaksa mereka kembali ke kampus.
Kali ini banyak mahasiswa berdiri dan merangsek ke arah barikade.
Beberapa mahasiswa yang tadi duduk di baris paling depan langsung
merapat sambil bergandengan tangan. Mereka membentuk pagar betis untuk
menahan laju mahasiswa yang lain. Ada jarak 15 meter antara kerumunan
itu dengan lapis pertama barikade, yang mulai bersiaga.
Ia mengarahkan laras senapan Steyr-nya ke kantor lama walikota.
Lalu ia melihat dua orang memaksa masuk ke ruang kosong 15 meter itu.
Satu dari kedua orang itu tak ia kenali, tapi yang seorang lagi ia
kenali dengan baik. Wajahnya sudah sangat familiar. Itu adalah hakim
agung, tepatnya mantan hakim agung, yang sudah diberhentikan karena
memenangkan pihak penggugat, yaitu sebuah majalah berita mingguan yang
izin terbitnya dicabut. Keduanya tampak berbicara pada mahasiswa, lalu
berbalik ke arah barikade.
Ia menunggu. Tampaknya terjadi tawar-menawar yang cukup lama.
Langit mulai berwarna keruh.
Jam 16.38.
Lewat pengeras suara, komandan barikade mengucapkan terima kasih
karena mahasiswa sudah berunjuk rasa dengan tertib. Lalu barikade itu
bergerak mundur. Tak lama kemudian mahasiswa juga bergerak mundur.
Beberapa mahasiswa yang membentuk pagar betis tetap bergandeng tangan
menutup jalan, seolah menuntun kawan-kawannya kembali ke kampus.
Jumlah mahasiswa di jalan terus berkurang. Sekarang mungkin hanya
tersisa sekitar 500 orang. Ia menatap ke kampus. Di dalam kampus, jumlah
mahasiswa yang masih bertahan juga jauh berkurang. Mungkin hanya
berkisar ratusan orang. Sebagian tumpah ke pintu gerbang, memesan
makanan atau minuman dari para pedagang yang berjualan di sana.
Jam 16.45.
Tiba-tiba ia melihat orang itu, orang yang menjadi target bidikannya
hari ini. Lewat lensa teleskop, ia melihat orang itu di depan salah satu
gedung yang disebut Gedung A, tak jauh dari gerbang kampus. Orang itu
berdiri pada posisi yang sangat terbuka. Ia tak mungkin salah! Wajah itu
sudah tak asing lagi, sejak potret orang itu diberikan padanya dalam
amplop tertutup tadi siang. Ia sudah memandangi potret itu cukup lama,
sampai-sampai wajah orang itu seperti berpindah dari potret ke dalam
kepalanya.
Ia mulai membidik, ke satu titik di antara kedua alis mata dan
beberapa sentimeter di atas pangkal hidung. Ia hanya berjarak 400 meter
dari orang itu. Dengan peluru 5,56 mm di dalam senapan Steyr-nya,
dan kecepatan tembakan 992 meter per detik, peluru akan mengenai kepala
orang itu kurang dari setengah detik. Tak mungkin meleset, karena sore
ini hampir tak ada angin. Peluru akan menembus kepala dalam garis
diagonal, merusak otak dan sistem saraf, lalu keluar lewat tempurung
belakang dan meninggalkan luka mengeroak.
Tapi saat ini belum saatnya menembak! Belum ada isyarat.
Jam 16.56.
Hujan mengucur dengan deras.
Lalu ia melihat ada keributan di dekat kantor lama walikota. Seorang
berbaju putih tampak berlari ke barikade, dan beberapa mahasiswa
mengejarnya. Orang itu menghilang ke dalam barikade. Lalu terjadi aksi
saling dorong antara mahasiswa dengan lapis pertama barikade. Beberapa
mahasiswa bahkan memukul-mukulkan bambu pengikat spanduk atau bendera.
Ia melihat lapis kedua barikade mulai mengokang senapannya, sementara di
tengah kedua kelompok itu tiga atau empat mahasiswa berusaha melerai
sambil berteriak-teriak.
Keributan itu memancing para mahasiswa yang sudah berada di dalam kampus berlari keluar.
Bentrokan itu tak lama. Pelan-pelan suasana mereda. Mahasiswa berbalik kembali ke kampus.
Sekali lagi ia tersenyum kecut. Sangat mudah ditebak, kalau orang
berbaju putih yang berlari tadi adalah intel yang sengaja ditaruh polisi
di tengah massa mahasiswa. Dan pasti bukan perencanaan yang baik,
karena orang itu ketahuan. Tapi bukankah kejadian hari ini bukan yang
pertama kalinya?
Jam 17.07.
Target bidikannya masih berdiri di depan Gedung A.
Lalu ia merasakan sesuatu yang aneh. Seperti ada yang salah pada
cuaca sore ini. Hujan mereda, tapi setelah itu muncul gerimis yang aneh.
Gerimis yang serupa serbuk-serbuk air. Jumlahnya sangat banyak dan
berjarak rapat. Ia melihat serbuk-serbuk air yang kecil-halus dan hampir
menutup seperti kabut, yang mengapung dan bergerak lambat-lambat. Ia
melihat serbuk-serbuk air tanpa bobot yang tersendat, tapi mengayun-ayun
tiap kali bergesek dengan angin yang tipis. Mengayun dan menari. Ini
gerimis yang menari!
Ia tersentak. Suasana di bawah sana tiba-tiba berubah. Ia seperti
mencium aura ketegangan, berkat latihan bertahun-tahun dan
keterlibatannya dalam banyak pertempuran—terutama di ujung paling barat
negara ini. Ia melihat regu penembak di jalan layang dan jembatan
penyeberangan mulai bersiaga. Juga barikade di jalan samping dan
beberapa personel angkatan darat di seberang kampus. Ia juga melihat
tiga sosok mengendap-endap di atap salah satu gedung dalam kampus. Lalu
ada yang melempar batu ke arah barikade di depan kantor lama walikota.
Serentak lapis pertama barikade merangsek maju.
Inilah isyarat itu!
Ia membidik. Orang itu masih saja berdiri di depan Gedung A. Tapi
sepersekian detik setelah ia menarik pelatuk senapan, seperti ada
seseorang yang menutup target bidikannya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar