Cerpen Mashdar Zainal
Terbit di Suara Merdeka, 24 Februari 2013
Bahan Referensi Cerpen - SETIAP pagi, di depan gerbang sekolah, Hardi selalu
menyaksikan adegan peluk-memeluk yang begitu menggetarkan. Pagi-pagi,
sebelum masuk ke dalam kelas, Hardi selalu berdiri berlama-lama di depan
gerbang sekolah, demi menghitung adegan peluk-memeluk yang ia saksikan,
yang begitu indah dan ia idam-idamkan. Mata Hardi menyipit dan hampir
tak berkedip mengawasi Siska dipeluk dan dicium mamanya sebelum masuk
kelas. Sepulang sekolah, ia juga selalu memperhatikan bagaimana Bram
meloncat-loncat setelah dipeluk kakeknya, sebelum masuk ke dalam mobil
jemputan. Ia juga selalu melirik Bu Guru yang sangat suka memeluk
erat-erat anaknya yang masih TK, dengan bonus kecupan di kening.
Banyak sekali adegan peluk-memeluk yang ia saksikan sepanjang
hidupnya, dan ia hanya bisa menggigit jari. Membayangkan tubuhnya yang
kecil dapat memeluk atau dipeluk seseorang. Hardi merasa, hidupnya
sangat menderita. Selama tinggal di panti asuhan, ia tak pernah memeluk
atau dipeluk siapa pun. Bahkan, dalam mimpi sekalipun, Hardi tak pernah
memeluk atau dipeluk siapa-siapa. Menyedihkan sekali, bukan?
Di panti asuhan yang ia huni, untuk mendapatkan sebuah pelukan,
beberapa balita harus menangis terlebih dahulu, hingga ibu pengasuh
datang dan kemudian mendiamkannya dengan pelukan. Tapi Hardi sudah masuk
SD, dan hampir kelas dua, ia merasa malu jikalau harus menangis. Ia
terngiang kata Bu Guru di TK, setelah masuk SD seorang anak, apalagi
anak laki-laki, tidak boleh menangis. Lagi pula, menangis bukan perkara
mudah. Pernah sekali ia mencoba mencubit pahanya sendiri sampai merah,
tapi ia tetap tidak bisa menangis. Sejak itu, Hardi bertekad, ia ingin
mendapatkan pelukan dengan cara yang lain.
***
BILA malam mulai larut, dan Hardi sudah naik ke ranjang
susunnya, Hardi akan memeluk guling pesingnya berlama-lama sampai ia
tertidur. Memeluk guling sebelum tidur rasanya sangat nikmat. Seperti
memeluk seseorang yang sedia menemaninya sepanjang malam, ketika lampu
dimatikan dan kamar menjadi gelap. Hmm, memeluk guling saja sudah begitu
hangat dan nyaman, apalagi memeluk seseorang. Pasti jauh lebih hangat
dan nyaman, pikirnya.
Pagi hari, sampai di sekolah, Hardi kembali menyaksikan adegan
peluk-memeluk: Siska dan ibunya, Bram dan kakeknya, Bu Guru dan anaknya,
dan masih banyak lagi. Hardi melongo. Keinginannya untuk memeluk dan
dipeluk seseorang kian menjadi-jadi. Hingga ketika jam istirahat tiba,
Hardi memutuskan untuk memeluk seseorang. Hardi akan mencari seseorang
yang cukup berpengalaman untuk ia peluk. Dan Hardi sudah memutuskan, ia
akan memeluk Siska atau Bram, dan kalau boleh, Bu Guru juga.
Namun, rupanya kenyataan tak semanis yang dia bayangkan. Ketika ia
mencoba untuk memeluk Siska, Siska malah mendorongnya hingga ia
terjerembab. Ketika ia mencoba memeluk Bram, Bram malah menjotosnya dan
mengatainya homo. Hardi benar-benar bingung. Memeluk seseorang ternyata
bukan pekerjaan yang mudah.
Tak selesai sampai di situ, setelah mendorongnya hingga jatuh,
rupanya Siska masih belum puas dan melaporkan kejadian itu pada Bu Guru.
Bu Guru memarahinya dan menyuruhnya berdiri di muka pintu, sambil
memeluk daun pintu, selama satu jam pelajaran penuh. Teman-teman sekelas
Hardi tertawa tak karuan. Hardi kian sedih, mengapa tak ada seorang pun
yang sudi memahaminya.
Sambil memeluk daun pintu, Hardi terus bertanya-tanya, apakah memeluk
seseorang tanpa izin termasuk perbuatan tak pantas, hingga ia dihukum
sedemikian rupa—memeluk daun pintu satu jam pelajaran lamanya. Ketika
jam pelajaran selesai, Bu Guru baru mempersilakannya duduk. Kaki dan
tangan Hardi terasa pegal-pegal semua setelah memeluk daun pintu yang
keras, gepeng, dan hanya diam tak berperasaan, selama satu jam pelajaran
penuh.
Sesampainya di rumah panti, Hardi berjanji dalam hati, akan lebih
berhati-hati. Ia tak akan memeluk orang sembarangan lagi. Ia juga akan
menahan sekuat mungkin perasaan ingin memeluk atau dipeluk seseorang.
Sampai malam tiba, seperti malam-malam sebelumnya, Hardi akan kembali
mengobati keinginannya untuk dipeluk dengan memeluk guling pesingnya.
Ya, memeluk guling memang lebih aman. Bu Guru tak akan mungkin
memarahinya, apalagi menyuruhnya memeluk daun pintu.
***
KEESOKAN harinya, Hardi tidak ingin lagi memperhatikan adegan
peluk-memeluk di depan gerbang sekolah. Karena itu bisa membuat
keinginannya untuk memeluk atau dipeluk seeorang bertambah parah. Ia
akan berjalan sedikit menunduk sampai pintu depan kelas. Hardi tak mau
keinginanya untuk memeluk atau dipeluk seseorang kembali menjadi
malapetaka. Hardi tak berniat memeluk siapa pun. Hardi tak ingin Bu Guru
menyuruhnya memeluk daun pintu lagi.
Bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi. Pelajaran Bahasa Indonesia.
“Anak-anak, hari ini kita akan belajar tentang perkenalan,” Bu Guru
melenggang. Tiba-tiba Hardi memperhatikan lengan Bu Guru yang jenjang,
juga dadanya yang lebar. Pasti mujur sekali menjadi anak Bu Guru,
pikirnya. Setiap hari mendapatkan pelukan yang nyaman.
“Sekarang, mari kita menuliskan identitas kita masing-masing, mulai
dari nama, alamat, tanggal lahir, hobi, dan cita-cita. Nanti akan kita
bacakan satu per satu, di depan,” Bu Guru masih terus mengoceh di depan,
sementara Hardi masih terbengong-bengong, membayangkan dipeluk Bu Guru.
“Hardi!” bentak Bu Guru membuyarkan khayalannya. Ia mengkhayalkan
dipeluk Bu Guru, tapi Bu Guru malah membentaknya dan membuatnya kaget.
Benar-benar tidak setimpal.
“Perhatikan!” tegas Bu Guru lagi.
Hardi mengangguk, merunduk-runduk.
“Baiklah,” Bu Guru kembali melenggang di depan kelas, “sekarang tuliskan identitas kalian, Bu Guru kasih waktu sepuluh menit.”
Serentak anak-anak mulai sibuk dengan pensil dan buku tulis masing-masing, termasuk Hardi.
“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan di depan,” ujar Bu Guru setelah beberapa menit berlalu.
Di antara 30 anak, Hardi selesai paling pertama. Beberapa anak mulai
menyusul. Satu per satu, Bu Guru meneliti tulisan anak-anak. Bu Guru
berhenti agak lama ketika membaca buku tulis milik Hardi.
“Hardi,” seru Bu Guru.
Hardi kaget. Apakah ia mendapatkan giliran pertama untuk membaca di depan kelas?
“Coba bacakan ini, hobi dan cita-cita kamu, di depan, yang keras.”
Hardi maju ke depan kelas dan mulai mengeja tulisannya sendiri. Terbata-bata.
“Nama Hardian, alamat….”
“Stop, stop, baca hobi dan cita-citanya saja,” pekik Bu Guru.
“Hobi saya…,” berhenti sejenak, “memeluk.”
Tawa-tawa anak sekelas meledak. Serentak.
“Siapa yang tertawa?” Bu Guru menggebrak meja, “ayo lanjutkan!” Bu Guru memelototi Hardi.
Dengan suara terlunta, Hardi melanjutkan bacaannya, “Cita-cita saya… ingin dipeluk.”
Alunan tawa kembali menggelegar. Gempar.
“Diam!” Bu Guru kembali menggebrak meja, sebelum kembali memelototi
Hardi, “Apa ini maksudnya, hobi kok aneh, memeluk, cita-citamu malah
lebih aneh, dipeluk. Apa ini maksudnya? Mau melucu? Mau cari perhatian?”
Hardi mengerut. Tak tahu di mana letak kesalahannya, sehingga Bu Guru kembali marah-marah dan memelototinya.
“Memalukan! Kecil-kecil otaknya sudah nggak jelas. Sekarang kamu Bu
Guru hukum memeluk tiang di teras depan, supaya kamu tidak ngawur. Hobi
sama cita-cita kok sama-sama nggak jelas. Besok harus kamu perbaiki.
Harus lebih jelas. Ingat. Je-las.”
Sepulang sekolah kepala Hardi berdenyut-denyut memikirkan kata-kata
Bu Guru. Ia tak paham, “harus lebih jelas” yang dimaksudkan Bu Guru itu
seperti apa. Sepanjang malam Hardi berpikir bagaimana memperjelas hobi
dan cita-citanya. Setelah menggigit pensil sampai hampir patah barulah
Hardi mengangguk-angguk. Matanya berbinar, ia akan menulis begini: hobi
saya memeluk Bu Guru, dan cita-cita saya ingin dipeluk Bu Guru. Sangat
jelas.
Hardi yakin, Bu Guru akan puas.
***
KEESOKAN harinya, jam pelajaran Bahasa Indonesia ada di jam
terakhir. Hardi tak sabar menunggu komentar Bu Guru tentang hobi dan
cita-citanya yang sudah sangat jelas. Ia berkhayal lagi, setelah membaca
hobi dan cita-citanya, barangkali Bu Guru akan terharu dan kemudian
benar-benar memeluknya.
Namun, seperti sebelum-sebelumnya, kenyataan memang tak pernah
berpihak pada Hardi. Tak seperti yang ia bayangkan, setelah membaca hobi
dan cita-citanya yang baru, Bu Guru malah semakin marah dan kembali
menghukumnya. Kali ini Bu Guru menyuruhnya memeluk pohon mangga yang ada
di depan ruang guru. Kata Bu Guru, sambil marah-marah, hobi itu paling
tidak harus menggambar, memancing, berkebun, nonton tivi, atau
sejelek-jeleknya bermain game. Sedangkan cita-cita lebih banyak lagi pilihanya, bisa menjadi pilot, polisi, ABRI, dokter, pelukis, atau petani juga boleh.
Hardi benar-benar kesal dengan Bu Guru yang tak pernah mau
memahaminya. Lepas dari itu, Bu Guru juga sudah melakukan pemaksaan
terhadap dirinya. Sungguh, dalam hati kecilnya, Hardi tak pernah suka
menggambar, memancing, berkebun, nonton tivi, apalagi bermain game.
Hobinya memang memeluk. Hanya satu. Memeluk. Meski hobi itu tak pernah
terlaksana dengan baik, kecuali memeluk guling, daun pintu, tiang, dan
pohon mangga di depan ruang guru.
Terlebih tentang cita-cita yang ditawarkan Bu Guru, sama sekali tak
ada yang menggiurkan. Keinginannya cuma satu, cita-citanya cuma satu;
dipeluk. Lebih jelasnya dipeluk Bu Guru. Tapi, setelah kejadian
menjengkelkan itu, sertamerta cita-citanya berubah: ia ingin dipeluk
siapa pun yang penting bukan Bu Guru. Ia sudah terlanjur membenci Bu
Guru.
***
SAMPAI di rumah panti, kejengkelan Hardi terhadap Bu Guru
masih belum padam. Hardi jadi berpikir, jangan-jangan, di dunia ini
memang tak ada seorang pun yang benar-benar ikhlas untuk memeluk atau
dipeluk orang lain, kecuali keluarganya. Buktinya, ia tak pernah melihat
Siska dipeluk orang lain, kecuali mamanya atau terkadang papanya. Ia
juga tak pernah menyaksikan Bram memeluk orang lain selain kakeknya.
Begitu juga dengan Bu Guru, yang hanya sudi memeluk anaknya.
Pikiran Hardi semakin ke mana-mana. Bukankah ia tinggal di panti
asuhan? Tanpa ibu, tanpa ayah, tanpa keluarga yang sebenarnya. Dan itu
artinya, takkan pernah ada orang yang mau untuk ia peluk atau
memeluknya. Menyadari hal itu, Hardi semakin sedih. Masa iya, aku harus
memeluk tubuhku sendiri, batinnya. Hatta, berulang kali Hardi mencoba
menyilangkan kedua tangan untuk memeluk tubuhnya sendiri, namun tetap
saja, kedua tangannya tak cukup panjang untuk tubuhnya. Bagaimanapun,
seseorang memang tak pernah bisa memeluk tubuhnya sendiri, ia tetap
butuh orang lain. Sampai matanya terlelap, Hardi masih bertanya-tanya,
adakah seseorang yang sudi memeluknya? (*)
Malang, 26 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar