Cerpen Gunawan Budi Susanto
Terbit di Suara Merdeka, 17 Februari 2013
Bahan Referensi Cerpen - DIA mati. Kematian yang wajar. Kata orang, lantaran sakit
menahun. Tetapi kabar kematian itu baru saya dengar setelah sekian lama.
Kabar kematian yang diam-diam saya syukuri.
Betapa tidak? Dialah penjagal haus darah itu. Di tangannya, sapi-sapi
bertumbangan di pejagalan. Tertebas goloknya. Namun, kemudian, di
tangannya pula orang-orang bertumbangan di tepian hutan. Tertebas
pedangnya.
Saya mendengar: dia menyatakan telah mencabut berpuluh-puluh nyawa
manusia. Dia membunuh dengan tangan sendiri. Dan, dengan bangga pula
pengakuan itu dia katakan di hadapan ratusan, bahkan mungkin ribuan,
orang di alun-alun kota.
Tahun 1977, masa kampanye pemilihan umum. Hampir setiap hari silih
berganti partai-partai berkampanye, arak-arakan, berkumpul di lapangan
atau alun-alun kota. Para juru kampanye adu keras suara, adu janji, adu
kecaman, adu ancaman. Dan, dia adalah juru kampanye partai penguasa.
Juru kampanye paling galak, paling bersuara keras, meledak-ledak.
Suaranya mengoyak langit kota, mengebor kuping setiap pendengar di
lapangan atau pendengar radio.
“Ora kurang saka wong seket wis mati ning tanganku! Ya, tak
kurang dari lima puluhan orang sudah kubunuh. Dengan tanganku. Tangan
ini,” ujar dia seraya meninjukan tangan kanan ke langit. “Ya, tangan
ini!”
Suaranya menggelegar, lalu bersipongang ke segenap penjuru mata angin
di alun-alun. Orang-orang terdiam. “Sampean boleh coba. Kena tangan
kiri,masuk rumah sakit. Tangan kanan, masuk kuburan! Itu pula yang bakal
dialami para perusuh, yang menjelek-njelekkan golongan kita. Ya, siapa
berani melawan golongan kita berarti menantang saya!” lagi-lagi suaranya
menggelegar, dan menyusup jauh ke liang kuping siapa pun. Bertahan
berlama-lama di hati siapa pun yang mendengar.
Malam itu, seusai kampanye, orang-orang di warung kopi, di
pojok-pojok kampung, atau di mana pun bakal membicarakan dia dan segala
ucapannya. Yang bersetuju akan berucap berterang-terang, sekeras mereka
bisa. Memuji-muji dia sebagai lelaki paling pahlawan, lelaki pemberani,
lelaki keras dan tegas. Berani berbuat, berani bertanggung jawab, dengan
segala resiko, dengan segala akibat. Sebaliknya, yang tak bersetuju
berbisik-bisik seraya menjelingkan mata kian-kemari, khawatir didengar
entah siapa yang mungkin membuat sang pengucap bakal berurusan dengan
tangan kiri atau malah tangan kanan sang juru kampanye pilih tandhing, tiada bandingan, itu. Jika itu terjadi, jelas malapetaka bagi siapa pun dan seluruh keluarganya.
Seperti dulu, beberapa tahun lalu. Tumpes kelor, dibinasakan sampai ke anak-cucu! Sementara dia, sang juru kampanye itu, menjadi anggota parlemen yang terhormat.
***
“DIA memang telengas. Hampir setiap malam, ada yang dia tebas
dengan pedang. Lalu, orang-orang kampung yang dia minta menguburkan
mayat orang-orang itu. Di lapangan pinggir desa itu ada belasan mayat
kami kubur,” ujar Mbah Reso seperti gumam. “Saat itu siapa pun, termasuk
saya, tak berani membantah perintah dia untuk menggali lubang dan
mengubur jasad mereka.”
Lelaki tua itu terdiam beberapa saat. Matanya menerawang jauh.
“Siapa yang dibunuh dan dikuburkan itu, Mbah? Lelaki, perempuan? Tua,
muda? Ada yang sampean kenal?” tanyaku, setelah sekian lama dia terdiam
sembari terus menatap sesuatu, entah apa, di kejauhan.
Mbah Reso tergeragap, “Ah, maaf, Gus.” Dia menghela napas panjang.
Menjangkau gelas di atas meja, lalu menyeruput kopi hitam kental yang
disuguhkan anak perempuannya. Lalu tangan yang mengeriput itu mencekau
tembakau dari dalam plastik, melinting dengan kertas tipis setelah
mencampurkan remahan cengkih. Rada gemetar dia menjentikkan korek dan
menyulut rokok. Ketika menyedot, pipinya mengempot. Dia seperti memeram
sejenak asap rokok di dalam rongga dada, sebelum mengepulkan
perlahan-lahan. Bau tembakau terbakar segera mengisi ruangan. Ampeg.
“Ya, Gus, hampir semua saya kenal. Mereka tetangga saya, bahkan
beberapa saudara sepupu saya,” tutur Mbah Reso. “Saat itu umur saya likuran,
Gus. Sudah beberapa tahun menikah, tapi kami belum punya anak. Titin,
yang menyuguh kopi tadi, sulung saya. Dia lahir setelah Gestok, eh
Gestapu. Ah, setelah saya keluar tahanan. Lalu, setiap dua tahun lahir
adik-adiknya. Nrecel, Gus.”
Saya ganti terdiam.
Saya menemui dia atas rekomendasi Badrun, yang bertahun-tahun bersama
beberapa kawan muda NU, mendampingi mereka, para eks tahanan politik
(tapol) 65. Ya, anak-anak muda itu dengan segala keterbatasan, dan bukan
tanpa cemooh dan resiko berhadapan dengan aparat keamanan dan aparat
pemerintahan yang masih bercuriga terhadap segala yang berbau 65,
melakukan gerakan nguwongke uwong, memanusiakan manusia. Mereka
menyapa, bertandang, dan mendengarkan kisah atau keluhan para eks tapol,
yang sebagian pernah diasingkan ke Pulau Buru itu. Lalu, jika mungkin,
mengembalikan rasa percaya diri mereka sebagai manusia, sama seperti
manusia lain.
Mbah Reso adalah salah seorang yang diciduk dan ditahan. Dari penjara
lokal, di B, kemudian Mlaten Semarang, dan terakhir di Nusakambangan.
Tak lama, katanya. “Cuma 15 hari, enam bulan, empat tahun,” ujar dia
sambil terkekeh ketika kali pertama saya, diantar Badrun, menjumpai
lelaki tua yang masih pengkuh itu. Humor yang getir.
Namun, bukankah dia salah seorang di antara warga kampung itu yang
acap diperintah mengubur mayat orang yang dibunuhi di kelengangan malam,
di pinggiran hutan itu? Jadi, bisa dibilang, dia bagian dari para
algojo itu bukan? Dus, bukan korban?
“Jalan hidup acap tak terduga, Gus. Bukan kita yang menguasai hidup
kita. Bukan! Ada kuasa lain di luar diri kita, yang bahkan berwenang
mengatur jalan hidup kita,” tutur Mbah Reso.
“Siapa, Mbah?”
“Bukan siapa, Gus. Apa!”
“Apa, Mbah? Tuhan?”
“Kayane gak ana urusan karo Gusti Allah, Gus, meski nama Tuhan acap dibawa-bawa. Negara, Gus, negara kadang ngalah-ngalahke Gusti Allah.”
Saya kembali terdiam. Tertunduk, kelu.
“Dan dia wujud nyata kekuatan tak terlawan, Gus. Kekuatan yang
melibas siapa pun, melindas apa pun, yang dianggap membahayakan, yang
dianggap berkhianat kepada negara. Mereka, orang-orang itu, kemudian
dibunuh, Gus.”
“Dan, Mbah Reso? Kenapa sampean tersangkut-sangkut, sampai ditahan
pula? Padahal sampean acap diminta membantu mengubur jasad orang yang
disebut pengkhianat itu bukan?”
“Dia pula yang menyeret saya, Gus. Dia!” sahut Mbah Reso.
***
TEGAR Alam Bahrul Ahmadi Husaini namanya. Anak kiai terkemuka
di kota kita. Muda, gagah dan tampan. Dia memimpin barisan kaum muda dan
segera jadi anutan bagi mereka. Dengan pakaian seragam bak tentara,
berbaret hijau pula, siapa di kota kita tak mengenal dia?
Para gadis berebut perhatian. Para orang tua saling mendahului sowan sang
kiai, mengadu peruntungan: siapa tahu bisa mengambil dia sebagai
menantu. Namun orang-orang itu undur diri ketika mendengar sumpah dia:
tak akan menikah sebelum kekuatan merah lenyap dari kota kita.
Maka, ketika terdengar kabar kaum merah di Jakarta membunuhi para
jenderal dan mencemplungkan mayat mereka ke lubang sumur mati, dia pun
berdiri paling depan, mengepalkan tangan: bunuh semua kaum merah! Dia
segera dipercaya memimpin barisan, menggelandang siapa pun yang dianggap
merah, siapa pun yang dicurigai memihak kaum merah. Dia pula yang
dipercaya jadi algojo, penjagal. Ya, dialah algojo paling jago, paling
berani, paling digdaya, paling berangasan.
Berkali-kali saya dan warga kampung diperintah menggali dan mengubur
jasad orang yang dia bunuh di tepian hutan. Kami tak berani membantah,
tak berani menolak perintah.
Kami kaya gabah den interi, bak butiran beras diayak di atas
tampi. Dan, saya seperti sebutir gabah berkulit yang tak diinginkan
ketika suatu ketika, lantaran takut dan kecapekan, menggerendeng
sendirian. Celaka, dia mendengar!
“Apa kaubilang? Heh, apa kaubilang? Mereka pun mengenal Tuhan? Dan
kau mau bilang aku tak kenal Tuhan?” bentak dia sambil melarak tubuh
saya menjauh dari lubang yang belum rampung kami gali. Tak terhitung
berapa kali dia menampar kepala saya sehingga oleng ke kanan dan ke
kiri. Lalu, bluk! Saya tak sadarkan diri.
Tahu-tahu, saya sudah berada di sebuah sel bersama puluhan orang
lain. Dari B saya dipindah ke Semarang, lalu terakhir di Nusakambangan.
Setiap kali diperiksa, saya digebuki. Berulang-ulang. Lalu kerja paksa.
Begitulah, saat pembebasan tiba, saya kembali ke desa, ke keluarga saya.
Alhamdulillah, mereka menerima saya apa adanya. Namun, tentu, jabatan petengan tak bisa lagi saya sandang. Saya pun jadi petani. Sesekali jadi buruh penebang pohon, mblandhong. Bertahun-tahun, berbelas tahun.
Suatu hari saya dengar dia meninggal. Saya merasa plong, Gus. Sesuatu
yang selama ini mengganjal dalam pikiran—ketakutan jika sewaktu-waktu
kembali diciduk jika dia masih hidup—melenyap. Diam-diam, tanpa setahu
siapa pun, keinginan saya mengisi perut dia dengan penggorengan agar tak
bisa bangkit dari tempat tidur sudah menemu jalan penyelesaian. Dia
mati. Dan saya bersyukur, sungguh bersyukur. Kini, saya berharap bisa
lebih tenteram momong cucu. Itulah keinginan saya, Gus. Cuma itu. (*)
Kota Lama, 30 Januari 2013
Catatan:
- Ora kurang saka wong seket wis mati ning tanganku!: Tak kurang dari lima puluhan orang telah mati di tanganku!
- Pilih tandhing: tiada bandingan.
- Tumpes kelor: dibinasakan sampai ke anak-cucu.
- Ampeg: bau sengak.
- Nrecel: kelahiran anak yang susul-menyusul.
- Nguwongke uwong: perlakuan secara manusiawi.
- Pengkuh: sentosa, sehat walafiat, kukuh.
- Kayane gak ana urusan karo Gusti Allah: Sepertinya tak berurusan dengan Tuhan.
- Ngalah-ngalahke Gusti Allah: mengesampingkan Tuhan.
- Sowan: menghadap.
- Kaya gabah den interi: bak butiran beras diayak di atas tampi.
- Petengan: (kini:) kepala urusan kesejahteraan rakyat di desa/kelurahan.
- Mblandhong: menjadi blandhong, buruh menebang dan mengangkut kayu di hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar