Cerpen Sunlie Thomas Alexander
Terbit di Jawa Pos, 10 Febuari 2013
Bahan Referensi Cerpen - “INI makam seekor kuda,” kuingat jawaban ibuku ketika aku
pertama kali menanyakan perihal makam yang terletak di tengah-tengah
kota kecamatan kecil kami itu—tepatnya di samping kantor lurah yang
bermuka-muka dengan rumah dinas camat. Itu kurang lebih dua puluh lima
tahun silam dan aku masih duduk di sekolah dasar.
“Kuda? Kuda siapa?” tanyaku bingung. Namun Ibu hanya mengulum senyum saat itu.
Makam tua itu berbentuk empat persegi panjang, berundak-undak dengan
undakan bagian teratas miring ke bawah. Di permukaannya, terukir sederet
tulisan dalam bahasa Belanda yang bukan saja tak banyak lagi orang di
kota kecil kami paham, tetapi juga sudah nyaris tak terbaca. Toh,
masih tampak sebuah nama: HELENA. Jadi aku pikir kuda itu memang seekor
betina seperti dikatakan orang-orang tua. Samar-samar tereja sederet
tanggal: Geb 21-9-1927 – Overl 3-7-1933.
“Ya, ini memang kuburan kuda,” tukas Brenda dalam bahasa Inggris usai
mengamati tulisan di atas makam itu beberapa lama. Lalu tanpa kuminta
ia mengartikan kalimat yang tertera di bawah nama: “Telah beristirahat
dalam damai, kuda kesayangan kami….”
Asap dupa-dupa merah yang tertancap di bagian kaki makam, mengepul
pekat, menebarkan aroma gaharu yang santer. Sehingga Brenda terpaksa
menutup hidungnya dengan sapu tangan lantaran tak tahan pada wangi dupa
yang tajam menyengat itu. Sudah tiga kali ia bersin sejak kami tiba
setengah jam yang lalu.
Tiga buah apel, kue apem, dan sejumput rumput dalam tiga piring
kecil—juga satu sloki arak—tersaji di depan batang-batang dupa menyala.
Brenda mengabadikan semuanya dengan tustel yang ia bawa. Ketakjuban
terpancar jelas dari kedua mata birunya yang berbinar-binar.
Seorang perempuan Tionghoa berumur separoh baya kemudian datang
tergesa-gesa. Dari keranjang bawaannya yang penuh sayur-mayur, tampaknya
dia baru pulang dari pasar. Dikeluarkannya sebungkus dupa dari
keranjang, mengangguk saat melihat kami, lalu mencabut tiga batang dupa
dari bungkusan. Disulutnya batang dupa dengan korek api, lantas berdiri
di depan makam dan mengangkat dupa dengan sikap takzim. Tiga kali dia
menjura sebelum akhirnya menancapkan dupa ke kaki makam.
Aku jadi teringat lagi pada Ibu. Ingat bagaimana dulu beliau
terkadang mengajakku mengunjungi makam ini membawa dupa, sesekali
buah-buahan. Meski kini, setelah mengidap rematik yang membuat jalannya
tertatih-tatih, tak pernah lagi beliau datang bersembahyang. Maklum,
umurnya sudah 65 tahun. Bahkan, beliau tak pernah lagi pergi ke pasar
tiga tahun belakangan. Untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk belanja dan
masak-memasak, Bibi Cin, adiknya nomor empatlah yang menangani.
“Ibumu marah,” kata bibiku yang tidak menikah itu tak lama setelah
aku dan Brenda tiba di rumah. Kami sedang minum kopi di teras belakang
ketika ia muncul sambil menenteng kantong kresek yang ternyata isinya
kue jajanan pasar. Dituangkannya kue-kue itu ke atas piring dan
menaruhnya di atas meja di hadapan kami.
“Marah kenapa, Ji Cai?” [1]
Bibi tidak menjawab, tapi ekor matanya melirik Brenda dengan segan.
Aku menghela nafas, membiarkannya masuk kembali ke dapur tanpa merasa
perlu menuntut jawaban. Rasanya aku sangat mengerti. Dan ternyata apa
yang aku duga benar: Ibu tak suka aku berhubungan dengan Brenda, apalagi
membawanya pulang.
“Aku masih lebih senang kau menikah dengan orang Melayu, daripada aku harus punya mantu gadis Holland yang suka telanjang itu!” kata Ibu ketus malam harinya ketika Brenda sedang beristirahat di kamar atas.
“Brenda bukan Belanda, dia orang Belgia,” aku coba menjelaskan
meskipun tahu sia-sia belaka. Di mata Ibu—orang lama yang nyaris buta
huruf—semua orang Barat sama saja. Mau orang Amerika, Perancis,
Australia, bahkan Hispanik bakal tetap disebutnya Holland. Ai, aku jadi terkenang pada orang Jawa yang suka menyebut semua orang bule sebagai Londo.
Tentu aku tak perlu menjelaskan padanya letak negara Belgia yang
bertetangga dengan Belanda, atau negeri itu dulunya bagian dari Belanda
sebelum memisahkan diri. Keadaan bisa tambah runyam.
“Kalau kakekmu masih hidup, dia pasti ngamuk!” tukas Ibu yang tak mau
memandang wajahku. Bahkan sebelum beranjak ke kamar, beliau sempat
memperingatiku: “Pokoknya aku tak mau dia berada dekat-dekat di altar
kakekmu.”
Aku terhenyak di sofa. Lelah. Bayangan wajah mendiang Kakek
berkelebat di mataku, juga cerita-cerita yang sering dituturkannya
semasa hidup. Kakek meninggal saat aku duduk di bangku kelas tiga SMA.
Dalam usia yang relatif tua: 92 tahun. Namun aku tidaklah sependapat
dengan Ibu. Kurasa jika beliau masih hidup, Kakek akan menghargai
pilihanku.
Almarhum Kakek—seperti halnya mendiang ayahku, putra keduanya yang
tamatan Chung Hwa Hok Tong [2]—cukup berpendidikan. Walau tak pernah
memiliki ijazah, Kakek fasih menulis hanji dan latin. Kurasa beliau juga
bisa sedikit bahasa Belanda. Terbukti dari berkardus-kardus buku
peninggalannya yang berbahasa China, beberapa di antaranya berbahasa
Belanda.
***
KUDA betina yang dikuburkan di samping kantor kelurahan itu
konon kuda kesayangan seorang Wedana Belanda. Van Sevenhoven namanya.
Mendiang Kakek pernah mengambarkan sosoknya sebagai lelaki bertubuh
jangkung sebagaimana umumnya orang Barat, tapi tidak kurus. Kedua
matanya tajam dan berkilat-kilat licik, hidungnya yang mancung bengkok
seperti paruh burung betet, keningnya lebar menonjol dan dagunya lancip,
dengan rambut pirang berminyak yang tersisir rapi ke atas.
“Wedana itu membenci orang Tionghoa,” kuingat kata-kata mendiang
Kakek. Sehingga ada saja peraturan yang sengaja dibuatnya untuk
mempersulit orang Tionghoa. Toko-toko kerap tak cukup punya surat izin
usaha tapi harus ada tambahan surat berstempel dari dirinya. Dan jangan
harap bisa mengadakan keramaian bila dia tak memberi restu.
Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan adat-tradisi Tionghoa pada
hari-hari besar dibatasi, termasuk kegiatan kelenteng dalam skala agak
besar.
“Ini karena Pemerintah kita waktu itu terlalu lemah untuk melindungi
rakyatnya. Jangankan kita yang jauh berada di seberang lautan ini,
rakyat di Thai Luk [3] saja tak mampu mereka lindungi. Kelaparan
meluas, perang saudara tak kunjung berhenti, bandit berkeliaran di
mana-mana. Manchuria sudah diduduki Jepang, Shanghai seenaknya
dikangkangi orang Barat. Bayangkan di sana, di negeri kita sendiri,
setan-setan putih itu berani menulis papan pengumuman berbunyi ‘orang
China dan anjing dilarang masuk’ di daerah yang mereka kuasai! Dan
Pemerintah Republik China tak berbuat apa-apa!” ujar Kakek mengertakkan
geraham.
“Kadang peraturan wedana sinting itu tak masuk akal, misalnya saat Ko Ngian
[4] kita tak boleh bermain petasan malam hari,” menyambung Sam Suk
Kong, adik laki-laki Kakek nomor tiga yang waktu itu sering bertandang
ke rumah kami untuk makan malam, “Padahal nenek-moyang kita sudah
melakukannya sebelum orang Belanda bisa bikin meriam!”
“Dia hanya bersikap agak baik pada penjual daging babi!” lanjut Kakek
tergelak, “Tiga kali sehari dia pasti mengajak istrinya ke pasar babi.
Dia paling suka babi panggang bikinan A Tet! Hahahaha….”
Begitulah pertama kali aku mendengar cerita tentang Van
Sevenhoven—entah benarkah demikian namanya. Karena hingga saat ini aku
belum berhasil mendapatkan satu pun catatan mengenai sosok wedana yang
berkuasa kira-kira tahun 1925-1930-an itu. Maklum, kota kami hanyalah
sebuah kewedanaan kecil kendati cukup kesohor sebagai kota penambangan
timah. Dan Indonesia, kau tahu, selalu saja tak punya arsip yang utuh.
Selain itu Kakek juga kehilangan banyak surat pentingnya tatkala terjadi
kebakaran di tahun 1982. Jadi, jika aku ke Eropa bersama Brenda nanti,
aku berjanji akan menelusuri jejaknya ke Belanda, mungkin ke
perpustakaan Institut Kerajaan, Bahasa, Geografi dan Etnologi di Leiden.
Sam Suk Kong ikut tertawa, tapi kemudian terdiam. Sambil menyulut
lagi sebatang kretek, adik kakekku yang pernah berdagang kain keliling
Sumatera itu lantas berkisah bagaimana ia pernah ditangkap oleh opsir
dan dimasukkan ke tahanan tangsi Belanda karena menggelar Judi
Kodok-kodok pada malam Sam Sip Pu [5]. A Tet, penjual daging babi
langganan sang wedana-lah yang menebusnya. Tak pernah jelas alasan Sam
Suk Kung ditangkap, padahal di masa itu sudah jadi kelaziman jika pada
hari-hari besar selain pasar malam, akan digelar aneka permainan judi.
“Ulangtahun Ratu Belanda saja boleh berjudi!” tukas Sam Suk Kong
gusar mengingat pengalaman masa mudanya itu. Tapi wajahnya kemudian
berangsur cerah dan ia terbahak-bahak saat Kakek menyinggung bagaimana
istri sang wedana gemar mengoleskan minyak babi ke kulit lengannya yang
kasar.
“Buah dada perempuan itu juga besar tapi kendor kayak payudara
induk babi! Hahaha….” Kedua kakak-beradik itu tertawa sampai mata
mereka yang sipit tinggal segaris. Ibu—yang menyimak semua pembicaraan
dari kamarnya yang berbatasan langsung dengan ruang keluarga merasa
obrolan kedua orang tua itu sudah menjurus ke hal-hal yang tak boleh
didengar anak kecil—tiba-tiba keluar dan memintaku pergi tidur. Apalagi
Kakek sudah mulai mengeluarkan arak-arak simpanannya. Biasanya mereka
akan ngobrol sambil minum sampai dini hari.
***
BAGAIMANA makam kuda milik seorang wedana Belanda yang dibenci
bisa disembahyangi orang-orang Tionghoa di kota kecamatan ini tentu ada
ceritanya. Namun itu akan aku kisahkan nanti. Sebelumnya aku ingin
menceritakan dulu bagaimana aku bertemu lagi dengan mendiang kakekku
empat malam yang lalu.
Hantu Kakek mendatangiku pada malam ketiga aku berada di rumah ketika
aku baru saja hendak terlelap. Mula-mula aku mencium aroma arak yang
tajam di sekeliling tempat tidurku. Tapi karena badanku terlalu penat
dan mataku sudah demikian berat, aku tak menghiraukan aroma yang kian
santer itu. Sampai kemudian aku merasa seseorang mengguncang-guncang
sebelah bahuku dengan keras. Aku terlonjak bangun dan menemukan ruh
Kakek sudah duduk di kursi samping tempat tidurku.
Aku memang tak terlalu kaget lagi dengan kehadiran Kakek. Lantaran
sebelumnya sudah pernah dua kali beliau mengunjungiku. Bahkan terakhir
kali, sekitar dua tahun lalu, dia mengunjungiku di sebuah kamar hotel di
Makassar saat aku sedang ada urusan kerja di kota itu. Waktu itu beliau
datang untuk mengabari kalau ayahku sudah meninggal, sebelum setengah
jam kemudian aku menerima telepon dari rumah. Kata orang, “Mereka yang
telah mati tak bisa menyeberangi lautan,” tampaknya tak berlaku bagi
arwah Kakek. Seperti kunjungannya yang lalu-lalu, beliau masih
mengenakan stelan pakaian China model Pemimpin Mao berwarna abu-abu yang
dikenakannya saat dikuburkan.
“A Kong [6]?” sambil menguap lebar aku buru-buru duduk di tepi
ranjang, “Maaf Kong, aku belum sempat berziarah ke kuburan A Kong.
Rencananya besok aku akan ke sana.”
Kulihat arwah orang tua itu tersenyum. “Tidak apa-apa, aku baik-baik
saja. Aku ke sini karena ada yang ingin kutanyakan. Ibumu memberitahuku
waktu dia sembahyang,” katanya sambil menatapku lekat-lekat. Aku
menghela nafas, sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan selanjutnya.
“Hubunganmu dengan gadis Barat itu serius?” tanyanya dengan pandangan seperti menyelidiki. Aku mengangguk, “Tapi dia bukan Holland, Brenda orang….”
“Aku tahu. Aku tak mau mencampuri urusanmu sebenarnya. Zaman sudah
berubah. Lagipula dulu juga tidak semua orang Belanda seperti si Van
Sevenhoven. Orang Melayu juga banyak yang baik. Malah banyak orang China
lebih jahat dari tentara Nippon!” kata Kakek. Aku tersenyum lega.
“Tapi kalau kau mau dengar nasihat aku yang sudah mati ini,
sempatkanlah bawa dia ke makam kuda itu sebelum kalian pulang. Ajak dia
sembahyang. Kalau dia mau, berarti dia memang jodohmu yang tepat,”
lanjut beliau sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun.
“Ajak dia sembahyang ke makam kuda?” tanganku urung mengambil rokok yang kusimpan dibawa bantal. Kulihat arwah Kakek mengangguk.
“Aku tak bisa lama di sini. Kalau kau berziarah ke makamku nanti,
bawakan aku kretek,” itu kata-katanya yang terakhir sebelum pergi.
“Kong!” aku hendak menahannya lebih lama karena banyak hal yang ingin
aku tanyakan, namun ia sudah keburu menghilang. Lenyap seperti asap.
Hanya aroma araknya yang tajam tersisa di kamarku.
***
YA, bagaimana mungkin makam kuda milik seorang wedana Belanda
yang dibenci bisa disembahyangi orang-orang Tionghoa di kota kecamatan
ini? Dahi Brenda tampak berkerut-kerut bingung. Ah, aku tak bisa
langsung menjawab pertanyaannya. Untuk beberapa lama aku terdiam,
mencoba mengumpulkan potongan-potongan cerita dari mendiang Kakek dan
Sam Suk Kong yang terpencar-pencar dan menyatukannya lagi.
15 bulan 8 kalender lunar tahun masehi 1932, begitulah aku kemudian
menceritakan ulang kisah yang kudengar semasa kanak itu pada Brenda. Kau
tahu, kataku, itu hari Pat Ngiat Pan, puncak perayaan bulan
dewa-dewi. Konon pada malam hari, purnama akan tampak lebih terang
dibandingkan purnama-purnama di bulan manapun. Dan jika hatimu bersih,
dengan mata telanjang sekalipun kau bisa melihat dewi bulan Song Ngo
melayang-layang di sana….
Menurut Kakek, siang menjelang sore hari itu, ratusan orang Tionghoa
yang telah berkumpul di sejumlah kelenteng berbaris keluar dari halaman
kelenteng sambil menggotong patung-patung para dewa dalam tandu-tandu
kecil. Selain Thai Pak Kung, juga patung Dewi Kwan Im dan Dewa Kwan
Kong. Patung-patung suci itu seperti biasa akan diarak berkeliling kota:
sebuah tradisi tahunan yang mereka bawa dari tanah leluhur.
Tiba-tiba salah satu rombongan (di mana Kakek ada di dalamnya)
dikejutkan oleh suara letusan. Bukan mercon tapi pistol! Sang wedana Van
Sevenhoven muncul di tikungan jalan menunggang kuda putihnya bersama
dua serdadu berseragam tentara kerajaan Belanda.
“Kalian belum mendapatkan izin dariku!” teriaknya lantang menghadang
barisan sambil mengangkat tongkat di tangan kanannya. Senapan dua
serdadu terkokang ke arah rombongan. Ciu Suk Kong, pengurus kelenteng
yang jadi ketua rombongan tergopoh-gopoh menghampiri sang wedana.
“Maaf, Tuan. Tuan Wedana masih di Palembang waktu kami datang meminta
izin keramaian. Tapi kami sudah mendapatkan izin dari asisten Tuan,”
ucap Ciu Suk Kong dengan wajah pucat.
“Aku sudah dua hari di sini, tapi kalian tak datang lagi kepadaku!
Tanpa tanda tanganku, kalian tak bisa bikin keramaian. Bubar! Bilang ke
semua rombongan, bubar sekarang!”
“Ta-tapi, itu tidak mungkin…. Arakan sedang di tengah jalan, dewa
kami bisa murka,” tukas Ciu Suk Kong tak berani menentang mata biru Van
Sevenhoven. Semua orang dapat menyaksikan bagaimana wajah wedana yang
putih itu memerah. Dia menggebrak kudanya ke depan dan mendorong dada
Ciu Suk Kong dengan ujung tongkatnya, “Apanya yang tak mungkin? Aku mau
lihat bisa tidak dewa kalian marah padaku? Minggir kau!”
Dia mengangkat tongkatnya dan bermaksud hendak menyabet patung Dewa
Kwan Ti yang sedang diusung di depan barisan. Semua orang menahan
nafas, sebagian berseru tegang. Tak ada yang mampu mencegah. Semua orang
sudah bersiap melihat patung porselin sang dewa perang yang dibawa dari
Tiongkok itu terguling dari tandu dan pecah berhamburan di jalan. Namun
mendadak kuda putih tunggangan Van Sevenhoven meringkik keras sambil
mengangkat kedua kaki depannya. Tubuh sang wedana oleng dan tongkatnya
hanya menyabet udara kosong. Sesaat berikutnya tubuh jangkung itu jatuh
terbanting di badan jalan. Dua serdadu yang mendampinginya kaget. Salah
satunya tak sengaja menekan pelatuk. Senapannya meletus. Pelor melesat
ke depan menembus kepala kuda. Ah!
“Apa yang terjadi kemudian? Wedana itu pasti mengamuk. Dia terluka?”
tanyaku tak sabaran pada Kakek. Namun beliau menggeleng. Melihat kuda
kesayangannya mati, lanjut Kakek, tanpa pedulikan tulang bahunya yang
retak sang wedana langsung menghambur ke arah kuda pemberian Gubernur
Jenderal di Batavia itu. Dia menangis meraung-raung seperti anak kecil
sambil memeluk bangkai kudanya….
“Serdadu yang menembak kudanya tak dihukum?” kejar Brenda. Nah, soal
ini aku tidak tahu. Kakek tak pernah cerita, mungkin beliau juga tidak
tahu.
Kata Kakek, Van Sevenhoven membangun makam untuk kuda kesayangannya
yang dikuburkan di seberang kewedanaan (tak jauh dari gedung Societet)
itu tiga bulan berselang sebelum masa tugasnya sebagai wedana usai.
1933, tentu saja kala itu kantor lurah belum berdiri.
“Kalau masa tugasnya lebih panjang, barangkali akan dibuatnya patung
untuk kuda betina itu,” ujar Kakek sambil menyeringai lebar. Tapi Van
Sevenhoven kembali ke negeri Belanda dengan badan sakit-sakitan. Pejabat
wedana yang kemudian menggantikannya—maaf, aku tak ingat lagi
namanya—menurut mendiang Sam Suk Kung, bersikap sedikit lebih baik pada
orang Tionghoa. Orangnya gemuk pendek dan suka makan bakmi!
“Lalu sejak kapan kalian orang-orang China mulai bersembahyang di
makam ini?” bisik Brenda sambil memperhatikan seorang lelaki tua
membakar dupa di depan makam.
“Sejak Ciu Suk Kong mendapat mimpi,” kataku. Mimpi? Kedua mata biru Brenda melebar. Ya, mimpi. Aku mengangguk.
“Suatu malam sekembali Van Sevenhoven ke Belanda, Ciu Suk Kong
bermimpi hantu kuda betina itu mendatanginya. Kuda itu tak datang
sendirian, tetapi ditunggangi seorang lelaki tinggi besar berseragam
perwira China tempo dulu. Ciu Suk Kong kaget bukan kepalang saat
mengenali penunggang kuda itu tak lain adalah Dewa Kwan Kong! Dia
terbangun dengan baju basah kuyup.”
Keesokan paginya bergegas dia menyambangi makam kuda itu sambil
membawa dupa, buah-buahan, dan sejumput rumput kering. “Kuda itu titisan
kuda Kwan Ti!” katanya dengan yakin kepada orang-orang, “Aku melihat
sendiri Kwan Kong menungganginya dalam mimpiku. Sosoknya begitu jelas,
membawa pedang bercula. Tidak diragukan lagi.”
Tak semua orang percaya, tapi sebagian besar yakin kalau penjaga kelenteng itu tidak berdusta. Toh,
Chiu Suk Kong selalu dikenal sebagai orang yang jujur. Satu-dua orang
kemudian mulai ikut bersembahyang pada hari-hari berikutnya. Bertambah
lagi pada hari yang lain, terus bertambah kendati tak semuanya percaya
kalau kuda itu merupakan titisan kuda dewa. Hanya saja mereka percaya
kuda itu telah mengorbankan nyawanya untuk menolong orang-orang
Tionghoa.
“Kalian orang China memang aneh,” tukas Brenda mengulum senyum. Aku
ikut tersenyum dan mengeluarkan sebungkus dupa dari dalam tas. Tentu
saja tak kuceritakan padanya tentang hantu Kakek yang mendatangiku dan
memintaku mengajaknya ke makam ini untuk bersembahyang. Bisa-bisa ia
menganggapku gila. (*)
Krapyak Wetan, Jogjakarta,
Januari 2013
Catatan Kaki:
[1] Ji Cai: Bibi kecil, adik ibu (dialek China-Hakka).
[2] Chung Hwa Hok Tong atau Tiong Hoa Hak Tong: adalah sekolah Tionghoa yang berada di bawah payung organisasi pendidikan Tiong Hoa Hwe Koan
(Asosiasi Tionghoa), sebuah perkumpulan untuk memajukan pembaruan
Konfusian dari kebudayaan Tionghoa lokal dengan memajukan pendidikan
berbahasa Tionghoa modern. Karakter sekolah ini menggunakan bahasa
Mandarin dalam pengajarannya, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa
kedua, tetapi tidak memberikan pelajaran bahasa Belanda. Model mereka
adalah sekolah modern di Tiongkok dan Jepang, dengan pengaruh Barat yang
kuat dalam mata pelajarannya. Sekolah Tiong Hoa Hak Tong yang
pertama dibuka di Batavia (1901), Pangkalpinang-Bangka (1907),
Belinyu-Bangka (1908), Sungailiat-Bangka (1910) dan Toboali-Bangka
(1912).
[3] Thai Luk: berarti daratan besar, sebutan untuk negeri China.
[4] Ko Ngian: Tahun Baru Imlek (ejaan China-Hakka).
[5] Sam Sip Pu: Malam Tiga Puluh, malam Tahun Baru Imlek (ejaan China-Hakka).
[6] A Kong: Kakek (dialek China-Hakka).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar