Menebang Pohon Silsilah

Cerpen Indra Tranggono

Terbit di Kompas, 17 Februari 2013



Bahan Referensi Cerpen - SEGALA kenangan tentang Bapak mengucur dan menggenang di rongga dada. Kenangan itu selalu begelombang memukul-mukul dinding dada, menimbulkan rasa sesak. Aku ingin membakar kenangan-kenangan itu, hingga rongga dada dan benakku terbebas dari tekanan bayangan Bapak.

Aku merasa sangat siap untuk terlepas dari pohon silsilah yang ditanam Bapak. Jika aku ini rantingnya, aku ingin mematahkannya, hingga berderak dan jatuh di tanah. Jika aku ini daun, aku ingin menggugurkan daun itu, hingga melayang terbang menuju dunia sunyi atau jatuh dan membusuk menjadi humus.

Jadi ranting atau daun Bapak? Ah. Dari mana keinginan konyol itu menyeruak? Kenapa bayangan Bapak selalu membuatku lemah?

Sejak semula aku telah memilih menjadi penantang Bapak. Aku ingin jadi penebang pohon silsilah yang menancap kuat dalam darah, daging, dan jiwaku. Impian itu telah lama mengeram dalam benak, sejak Bapak memberikan pengakuan yang menyentak: dia punya istri serigala.

Darahku berdesir mendengar pengakuan itu. Sontak, tanganku terkepal. Namun, Bapak seperti bisa membaca pikiranku. Ia pun sangat cepat berkilah, “Bukan… bukan istri, melainkan kekasih.”

Kekasih? Bagaimana mungkin Bapak bisa bercinta dengan seekor serigala?

“Garda…. Kamu boleh menumpahkan sumpah serapah. Tapi, jangan sebut dia seekor serigala. Jangan, please.” Wajah Bapak tampak keruh. Ketampanannya seperti lenyap ditimbun kerutan-kerutan yang meruyak.

“Apakah aku harus menyebut dia Ibu?”

“Dia lebih dari sekadar Ibu, Garda,” ujar Bapak sambil menyulut rokoknya.

Rokok itu kurebut dan kubanting. Bapak memandangku. Matanya berkilat. Aku menunggu dia marah. Aku telah menyiapkan perlawanan. Tapi dugaanku meleset. Dia malah tersenyum.

“Bapak tidak mencintai Ibu lagi? Kenapa?”

“Garda anakku… Cintaku pada ibumu sudah sangat sempurna. Telah kutebus cinta itu dengan menjalani seluruh kewajiban. Tanpa cela. Masihkah cintaku harus dipertanyakan? Bukankah cinta menjadi sempurna ketika semua gairah asmara telah pupus dalam jiwa? Cinta pun menjelma jadi puisi, Garda.”

“Jadi Bapak lebih mencintai serigala itu?”

Bapak tertawa. “Aku tak tahu persis. Apakah aku mencintai atau menyukainya. Namun, dari kekasihku, aku mendapat hasrat dan gairah petualangan yang luar biasa….”

Gigiku gemeretak. Tubuhku gemetar. Degup jantungku terpompa cepat. Darahku berdebur di kepala, menghantam saraf-saraf otakku.

“Sekarang kekasihku itu hamil. Sebentar lagi melahirkan. Doakan, persalinan itu lancar. Dan, kita akan punya bayi mungil dan lucu….” Bapak tersenyum.

“Kita? Kita siapa?” aku menyergah.

“Kita? Ya, kita…. Kita harus menyambut kelahiran bayi mungil itu dengan sukacita. Aku yakin, kelak bayi itu jadi orang besar.”

“Orang besar? Bapak tetap menganggap bayi itu manusia, seperti aku, seperti kakak-kakakku, seperti adik-adikku? Keterlaluan!”

Mendadak Bapak meloncat dari kursi. Wajahnya terbakar. Matanya melolot. Gigi dan gerahamnya gemeretak. Dia menerkamku. Aku tersungkur di lantai. Tangan Bapak bertubi-tubi memukuliku.

Gerakan Bapak semakin lincah hingga aku semakin payah mengikutinya. Kubiarkan dia menari melingkar-lingkar. Begitu dia mendekat, aku menendangnya. Sekuat tenaga. Tubuh Bapak terpental. Kukira perlawanan Bapak berakhir, tetapi ternyata tidak. Dia malah semakin kalap.

Aku hampir tak percaya, mendadak bulu-bulu kasar tumbuh di wajah Bapak. Bulu-bulu itu semakin lebat dan menjalar ke leher, tangan, dan kakinya.

Bapak terus menggeram. Meraung-raung. Tangan dan kakinya mencakari lantai. Ubin-ubin terkeping-keping dan melayang-layang di udara. Dia cakari tembok, kaca jendela, daun pintu, televisi, lemari…. Semua terkeping-keping. Semua melayang-layang. Lalu, terdengar suara berderak-derak. Dalam sekejap rumah kami berubah jadi kapal pecah.

Keberanianku langsung susut, bangkrut. Dengan sisa tenaga, aku meloncat lewat jendela. Kegelapan meringkusku, menolongku. Aku berlari menembus malam.

***

Garda, anakku. Bagi seorang pejuang seperti aku, tak ada yang lebih buruk selain jadi renta dan tak berguna. Aku telanjur menyukai medan pertempuran dan penaklukan. Tak ada yang lebih indah dari keringat yang mengucur dan darah yang mendidih. Keringat dan darah itulah yang menyepuh lencana di dadaku, hingga selalu berkilat.

Aku memang selalu ingin membangun sejarah. Ya, sejarah keluarga besar kita. Karena itu, kuterima tawaran untuk menjadi seorang Presiden di negeri kita, Republik Gamboolas.

Ternyata untuk bisa jadi presiden, aku harus bertarung dengan kawanan serigala. Juru nujumku menasihatiku: untuk melawan serigala kamu harus jadi serigala. Kamu harus mengasah taring dan kuku. Kamu harus berlatih untuk tega dan kejam.
 
Aku mengikuti perintah Juru Nujumku. Dia membawaku ke hutan yang tidak pernah dirambah manusia. Dia menyuruhku menari dan terus menari setiap senja. Ajaib, senjaku jadi berpendar-pendar. Tubuh tuaku terasa mengelupas berganti tubuh muda. Gerakanku semakin lincah dan cekatan. Setiap binatang tak pernah lolos dari terkamanku.

Juru Nujumku tersenyum. Aku pun ingin segera pulang menuju Gabral, Ibu Kota Gamboolas. Pasti aku mampu menyingkirkan para calon presiden. Aku sangat yakin. Namun, Juru Nujumku mencegah dan menyuruhku menari di depan Gua Selaro Nga-nga yang konon dihuni Ratu Serigala sakti.

“Pancinglah dia keluar. Pikat dia.”

“Bagaimana kalau dia malah menerkamku?”

“Di situlah pertaruhan nasibmu, kodratmu. Sanggup?”

Aku menari dan terus menari, sepanjang hari, sepanjang waktu. Pada hari keempat puluh, dalam senja yang dilumuri cahaya merah tembaga, aku mendengar suara gemuruh, diikuti ledakan, dentuman, dan derak-derak pohon bertumbangan.

Ketika gemuruh reda, muncullah suara lolong serigala yang terdengar sangat purba. Disusul bau wangi, seperti aroma keringat bidadari. Mendadak, dari balik belukar meloncat seekor serigala besar. Bulu-bulunya panjang berkeriap. Matanya berkilau bagai beling. Serigala itu menerkamku. Mendadak seluruh duniaku gelap.

Ketika siuman, aku berada di ruang asing yang berdinding cahaya. Pelan-pelan aku mencoba menguasai diri, bangkit, dan berjalan di sekitar ruangan. Merabai seluruh dinding. Mendadak aku terenyak dan menjerit. Di dinding cahaya itu aku melihat diriku berubah menjadi serigala.

“Kamu telah jadi pengantinku.” Terdengar suara lembut seorang perempuan. Aku kaget dan gemetar, ternyata yang kuhadapi adalah seorang perempuan cantik, bertubuh tinggi dan sintal. Tubuh itu memompa gairahku. Kami pun bercinta sepanjang hari, sepanjang waktu. Hingga kekasihku itu hamil.

***

Aku ingin menghancurkan televisi yang menayangkan pidato Bapak dalam upacara pelantikan anggota kabinet, tetapi niat itu kutahan. Rasa penasaran memaksaku memelototi televisi itu. Bapak tampak gagah dengan stelan jas hitam. Dia memang sangat pantas menjadi presiden. Pidatonya terdengar sangat cerdas dan memikat. Beberapa kali para menteri bertepuk tangan.

Turun dari podium, Bapak tersenyum sambil merangkul seorang perempuan yang bukan ibuku. Wajah perempuan itu sangat cantik. Dia tampak manja menggelendot dalam rangkulan Bapak.

Lalu muncul kereta dorong membawa bayi. Orang-orang menyambutnya dengan gegap gempita. Bayi itu tampak menangis. Kamera memberikan close-up kepadanya. Wajah bayi itu makin jelas. Aku pun hampir tak percaya, bayi itu telah berubah menjadi bayi serigala.

Aku telah siap menghantam televisi itu dengan pukul besi. Namun, tiba-tiba televisiku meledak.

***

Kapak telah kuasah di atas batu amarahku. Kini, mata kapak itu berkilat-kilat, seolah tak sabar memotong leher pohon silsilah Bapak. Kuharap, pohon silsilah keluarga kami menjadi seperti gembung tanpa kepala yang bersih dari pahatan-pahatan cakar serigala. Lalu, di kanan kiri pokok pohon akan tumbuh reranting dan dedaun yang rimbun. Bersama Ibu dan saudara-saudaraku, aku akan menyiraminya hingga pohon hayat itu menjulang dan kokoh. Kami pun akan memagarinya hingga Bapak dan kawanan serigala tak bisa memanjat pohon hayat kami.

Sejak Bapak memasuki 100 hari pemerintahannya di Rebublik Gamboolas, aku telah menantang dia dengan berbagai unjuk rasa dan penyebaran berbagai risalah tentang sejarah kelam Bapak. Distrik demi distrik, kota demi kota kumasuki dan kusebari virus-virus pemberontakan. Kami harus menumbangkan rezim serigala yang kini telah berhasil melahirkan dan menangkarkan jutaan serigala.

Bapak menjawab perlawanan kami dengan deru panser, desingan timah panas dan tikaman bayonet. Kota Grabal, tempat kami berdemonstrasi, pun tergenang darah. Namun, kami terus melawan sepanjang waktu. Jumlah pembangkang yang gugur semakin banyak. Ratusan pembangkang membelot dan berubah menjadi serigala. Tinggal aku sendirian. Pekik perlawanan terus kuserukan, meskipun tubuhku menggigil dirajam demam.

Gerimis turun mengiringi iring- iringan ribuan serigala yang berjalan mendekatiku. Langkah kaki mereka kompak, seperti derap pasukan bersenjata. Mereka terus menggeram. Senja pun terasa gemetar.

Aku mundur beberapa langkah. Namun, langkahku terhadang kawanan serigala lainnya yang berada di belakangku. Kini aku telah terkepung. Ratusan pasang mata serigala merajamku. Kaki-kaki mereka menggaruk-garuk jalanan beraspal, menimbulkan percikan-percikan api.

Nyawaku kini berada di ujung taring dan kuku mereka. Aku hanya tinggal menunggu waktu, kapan mereka menerkam, mencabik-cabik tubuhku, dan mengerkah kepalaku.

Namun, di puncak kecemasanku, tiba-tiba keberanianku terpompa. Kugasak kawanan serigala itu. Mereka pun mengamuk. Tubuhku koyak-moyak, darahku berceceran di jalanan. Aku pun akhirnya tumbang.

Ketika siuman, jiwaku terguncang melihat tubuhku telah tumbuh bulu-bulu kasar. Di jari-jemariku telah tumbuh kuku-kuku panjang dan tajam. Aku mendongak, kulihat Bapak berdiri tersenyum.

“Bangunlah, Garda. Kamu memang anakku,” ujarnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar