Janur Hati

Cerpen Noorca M Massardi

Terbit di Kompas, 24 Februari 2013




Bahan Referensi Cerpen - OMBAK di pantai Gado-gado, Seminyak, itu sungguh menggetarkan. Di tengah gerimis dan badai kecil, gelombang dan deburnya mengempaskan para peselancar dan mereka yang berenang di sepanjang pantai. Padahal sejumlah bendera sudah dipancangkan agar para pelancong tidak melampaui batas berbahaya itu.

Toh, para penikmat pantai seperti tak peduli. Mereka tetap asyik bergumul dan bercanda dengan gelombang dan buihnya.

Di antara mereka yang bersukacita dengan kesibukan pantai, itu tampak sepasang suami istri yang berlarian dan bercanda dengan seorang gadis kecil yang baru dijalin rambutnya model gimbal dengan butiran kepang warna-warni. Gadis berbikini mungil itu tertawa dan berlarian, kendati sesekali ia terjatuh juga di atas pasir yang bergelombang dan basah.

“Sayang…! Kita sudahan ya…! Makan dulu, yuk…!” kata perempuan berambut panjang yang sedari tadi mengejar-ngejar anak itu.

“Yuk…! Papa juga sudah lapar, nih…!” kata lelaki yang juga asyik saling berkejaran dengan anak dan ibu itu.

“Yah…! Kan Janur belum capek, Ma….!” kata gadis mungil itu.

“Nanti kita masuk angin sayangku…! Anginnya sudah semakin keras. Apalagi ini gerimis tidak mau berhenti…! Yuk…!” kata perempuan itu sambil merengkuh gadis bernama Janur itu dan langsung menggendongnya menuju tempat bilas di tepi pantai.

***

“Mas… yang di warung papan yang di tengah itu, sepertinya…!” kata ibu muda yang menggendong gadis bernama Janur itu, usai mendandaninya dengan rok panjang berbunga.

Lelaki itu menghentikan langkahnya di atas pasir yang tak terjilat ombak. Ia memusatkan perhatiannya ke ruang dalam warung yang ditunjuk perempuan itu.

Di salah satu meja ia mendapati seorang pria tengah mengetik dengan laptopnya sambil sesekali menengadahkan pandangannya ke deburan ombak yang bergerak lurus di hadapannya.

“Iya, seperti Baron…!” kata lelaki itu dengan nada suara agak tersendat.

Perempuan itu memeluk pinggang lelaki itu.

“Kita temui dia atau kita hindari…?” bisik perempuan yang kini rambutnya tersibak-sibak angin laut.

“Terserah kamu, Di…!” jawab lelaki itu sambil memandang mata perempuan itu.

“Kalau Mas Gin tidak keberatan…! Kan kita belum pernah bertemu dan berkomunikasi sama sekali sejak itu…!” bisik perempuan itu, dengan nada bergetar, sambil membersihkan kakinya dari butir-butir pasir yang kini melengketi lagi kedua kaki telanjangnya.

“Tapi, kamu kan masih ingat janji kita bersama dulu…?”

“Iya dong Mas. Aku tak akan pernah melupakannya…!” bisik perempuan itu sambil mengecup pipi lelaki itu.
“Ada apa sih, Ma…? Kok bisik-bisik dari tadi…?” kata gadis itu menyela.

“Enggak… itu sepertinya ada teman papa mama dulu…!” kata perempuan itu sambil memeluk Janur dengan penuh cinta lebih dari biasanya.

“Aduh… Ma…! Janur sesak nih…! Yang mana, Ma…?” kata Janur sambil melihat-lihat ke segala arah.
“Itu yang duduk di warung Chicharitos, yang pakai topi hitam itu…!” bisik perempuan itu sambil menunjuk dengan arah pandangan dan wajahnya.

Gadis itu memerhatikan sosok yang dimaksud, tapi wajahnya tak begitu jelas, karena agak gelap terhalang bayangan atap rumbia yang memayungi warung sederhana di bibir pantai itu.

“Terus…? Kok Mama Papa gak mau ketemu…?”

“Bagaimana, Mas…?”

“Ya, sudah, kita ke sana…! Mungkin juga hanya mirip dia…!” kata lelaki itu sambil bergerak setengah hati menuju ke arah warung itu.

Perempuan itu mengikuti langkah lelaki itu, hingga ke bawah tangga warung yang menuju ke pasir pantai.
Sesaat, pasangan dan anak gadis itu berdiri menghadap warung. Pandangan mereka menengadah ke arah lelaki bertopi hitam yang tengah menunduk sambil mengetik sesuatu di komputernya.

“Mas Bar…!” kata perempuan itu dengan suara sedikit dikeraskan, untuk sesaat mengalahkan gemuruh ombak.

“Om Bar…!” teriak Janur mengikuti suara ibunya, memanggil orang yang berada di ketinggian warung itu.

Mendengar namanya dipanggil orang, lelaki bertopi itu segera menengadahkan pandangannya dari layar laptop. Ia menatap ke arah ketiga anak beranak itu. Dengan rasa terkejut ia langsung berdiri dari duduknya, hingga gelas jus mangga yang baru diminumnya setengah, itu tumpah ke lantai papan.

“Dian…?! Girindra…?!” kata lelaki bertopi itu sambil bergegas melompati tangga turun, dan membiarkan gelas minumnya berguling dan jatuh ke lantai papan.

Dengan rasa takjub bercampur haru, ia langsung menyalami dan memeluk lelaki yang dipanggil Girindra itu. Sesaat kemudian ia menatap perempuan yang dipanggilnya Dian, itu dan kemudian memeluk dan mencium kedua pipinya.

“Aduh…! Janur kejepit nih…!” teriak gadis kecil di pelukan ibunya itu dan yang saat itu tak disadari keberadaannya oleh lelaki bertopi itu.

“Aduh…! Maaf, sayang…! Om Bar enggak lihat…! Kasihan…!” kata lelaki yang dipanggil Baron, itu sambil melepaskan pelukannya, dan kemudian mengambil jarak untuk dapat memandang dan memerhatikan gadis itu.

“Ini…?” kata Baron sambil menunjuk Janur.

Namun, ia segera menghentikan kalimat yang sedianya hendak ia ucapkan saat itu.

“Iya…!” kata Dian dan Girindra berbareng setengah berbisik.

Baron, Dian, dan Girindra pun saling berpandangan beberapa saat, dalam diam, dengan perasaan dan pikiran masing-masing.

“Lima tahun, Mas Bar…!” kata Dian akhirnya, setelah agak lama mereka tak bisa berkata-kata dan tenggelam ke dalam kecamuk kalbu masing-masing.

Sementara itu, tanpa mereka sadari, ketiga pasang mata orang dewasa itu tampak membasah dan berkaca-kaca.

“Iya… Om…! Hari ini 6 Januari, Janur Hati ulang tahun…!” kata gadis mungil itu.

“Janur Hati…?” kata Baron setengah berbisik.

“Iya, kami memberinya nama Janur Hati…!” bisik Dian seolah ingin menegaskan.

Sekali lagi, senyap merayap di antara deburan ombak pantai Seminyak.

***

“Demi Tuhan, Mas Baron, tolonglah kami. Hanya kepada Mas Baron kami bisa meminta pertolongan semacam ini…!” kata Dian dan Girindra berbareng, sementara kedua pasang kelopak mata mereka dilinangi air mata yang tak terbendung lagi.

Baron tak mampu berkata sepatah pun. Yang ia lihat dan rasakan hanyalah, betapa Dian dengan sepenuh hati meremas punggung tangan kanannya, sementara Girindra juga meremas tangan kirinya dengan seluruh emosi bergejolak di dadanya.

Setelah senyap beberapa saat, yang terasa bagaikan beberapa abad, dan sesudah mempertimbangkan banyak sekali hal, akhirnya Baron pun membalas emosi yang tersalurkan melalui genggaman tangan itu, dengan mencekal agak kuat kedua tangan Dian dan Girindra.

Baron menganggukkan kepalanya sekali. Kemudian ia menganggukkan lagi kepalanya beberapa kali, ketika pandangan mata sepasang suami istri tampak terpana, terkesima, dan takjub akan penerimaan dan kesediaan Baron.

Tanpa banyak membuang waktu, lelaki yang tampak lebih tua dari mereka, dan sejak tadi duduk di kursi di sebelah kanan Baron, langsung menggenggam kedua tangan Dian dan Baron yang masih saling berpegang erat itu.

Dengan suaranya yang berwibawa, lelaki itu mengucapkan serangkaian doa dan ketentuan. Beberapa saat kemudian, lelaki itu meminta agar Dian dan Baron mengulang setiap kata dan kalimat yang ia ucapkan. Sementara Girindra mendengarkan dan menyaksikan semua itu dengan wajah tegang, diliputi pelbagai kecamuk yang bergulung-gulung di dalam kalbu, dan di sekujur jasmani dan rohaninya.

“Semoga semua ini diizinkan oleh Yang Maha Kuasa. Dan, karena ini adalah langkah terakhir yang dapat kalian upayakan, serta sudah kalian sepakati dengan ikhlas, dengan sepenuh kesadaran, dan tanpa paksaan dari siapa pun, maka apa yang kalian cita-citakan ini kiranya dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa…!” kata lelaki itu.

Beberapa saat kemudian, sesudah semua yang hadir di kamar itu paham akan apa yang barusan terjadi, dan apa yang akan segera terjadi, lelaki itu pun bangkit dari kursinya, diiringi Dian, Baron, dan Girindra.

Lelaki itu sekali lagi mengucapkan selamat kepada mereka semua, memeluk mereka dengan penuh hormat, dan kemudian mohon diri. Dan, setelah lelaki itu berlalu, kini giliran Girindra memeluk Baron, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Lalu ia memeluk serta mencium kedua pipi dan bibir istrinya sekejap.

“Aku sangat mencintaimu, sayangku. Ingat, sesudah pukul 24.00 ini, engkau harus melupakan segalanya, dan engkau akan kembali kepadaku untuk selamanya…!” bisik Girindra tanpa mampu menahan tangisnya yang berderai dalam sendu dan sedu.

“Iya Mas, aku akan kembali kepadamu, untuk selamanya. Semoga pengorbanan ini mendapat ampunan dan ganjaran dari Tuhan Yang Maha Kuasa…!” bisik Dian dengan suara bergetar dan tampak berupaya menunjukkan ketegarannya.

Girindra kemudian keluar dari kamar itu. Ia menutup pintu itu perlahan. Lalu ia menarik napas sedalam-dalamnya, dan berupaya menyiram seluruh api yang menyala-nyala di dadanya. Beberapa saat ia hanya berdiri mengamati daun pintu kamar yang bernama Janur Hati itu. Setiap kamar di hotel itu, selain memiliki nomor juga mempunyai nama masing-masing. Dan, di kamar Janur Hati itulah, Girindra kini menyerahkan seluruh nasibnya, masa depan rumah tangganya, dan keturunannya, hingga tepat dini hari pukul 24.00 atau pukul 00.00.

***

Tanpa menunggu waktu menunjukkan tepat pukul 24.00, tanpa menanti gemuruh ombak benar-benar berhenti berdebur, dan tanpa membiarkan air mata mereka mengering oleh angin, Baron ternyata sudah meninggalkan kamar itu, meninggalkan hotel itu, meninggalkan kota itu, dan meninggalkan pulau itu. Tanpa diketahui siapa pun. Tanpa berkabar kepada siapa pun. Dan, tanpa mencari berita dari mana pun dan dari siapa pun.

Baron tidak pernah dan tidak akan pernah menyesali apa yang telah terjadi lima tahun silam itu. Ia hanya ingin menolong pasangan yang sudah belasan tahun menikah tapi tak kunjung dikaruniai anak itu. Segala cara sudah mereka lakukan, termasuk melalui proses in-vitro. Tapi tetap tidak berhasil. Sementara untuk mengangkat anak, mereka belum siap. Masalah ternyata ada pada Girindra, yang karena kelainan genetis, tidak memungkinkan punya keturunan.

Semula Baron tidak tahu mengapa tiba-tiba pasangan itu mengundangnya makan malam di sebuah hotel pada hari itu. Ternyata, Dian dan Girindra sudah memutuskan untuk hanya memohon “keturunan” dari Baron. Menurut keterangan mereka, pilihan nama Baron langsung datang dari Dian, setelah sejumlah nama lelaki “yang baik dan benar” dan “yang disepakati” kedua pihak mereka kumpulkan. Namun ketika tiba pada pilihan “cara” dan “proses” pembuahan, Dian yang merasa sudah letih melakukan pelbagai upaya secara medis dan teknis laboratorium, menghendaki agar semua proses itu berlangsung secara alamiah.

Ketika timbul masalah ihwal etika dan ketentuan agama, setelah berkonsultasi pada sejumlah ahli, akhirnya disepakati agar sebelumnya dilakukan upacara “pernikahan darurat” sesuai syariat, dengan batas waktu dan ketentuan yang sangat ketat. Tidak lebih dari enam jam, pasangan itu sudah harus berpisah secara resmi, dan sejak itu mereka tidak boleh saling berkomunikasi, sebelum masa tiga bulan berlalu.

Baron ternyata memutuskan dan melakukan hal yang jauh melampaui kesepakatan. Ia sungguh-sungguh tidak ingin membawa kenangan yang indah dan luar biasa itu lebih lama lagi. Ia harus segera melupakannya. Apalagi ia tahu, sejak lama ia memang sudah jatuh cinta kepada calon istri sahabatnya itu. Dian juga tahu dan merasakan hal yang sama, sejak pertemuan dan perkenalan pertama mereka, beberapa pekan sebelum ia menerima pinangan dari Girindra. Namun, perasaan itu berhasil mereka pendam selama belasan tahun. Selain karena cinta mereka tidak memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang, baik dalam ruang maupun waktu, profesi mereka pun tidak pernah memungkinkan bagi mereka untuk bisa saling bertemu. Kecuali melalui jejaring sosial yang sangat terbatas, dan tidak terjamin kerahasiaannya.

***

Gelombang cukup tinggi tiba-tiba bergulung menuju pantai, dan meluncur deras menuju ke tepian. Karena tenaganya demikian besar, lidah ombak itu menyapu daratan hingga menyambar tiang-tiang warung. Dan ketiga pasang kaki Dian, Girindra, dan Baron di depan warung itu pun tersapu ombak, hingga pakaian mereka membasah kuyup. Mereka pun tidak sempat bergerak dan menghindar. Mereka hanya bisa saling berpeluk dan berpadu, mempertahankan diri mereka, agar tidak terseret ombak yang cepat berbalik ke arah laut.

“Aduh…! Papa…! Janur enggak bisa napas, nih…!” kata gadis mungil itu, di tengah pelukan kedua orangtuanya.

Dian, Girindra, dan Baron pun saling berpandangan. (*)

Bintaro, Januari, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar