Cerpen AS Sidqon
Terbit di Republika, 3 Maret 2013
Bahan Referensi Cerpen - “JADI, … kamu ingin Tuhan menghidupkan kekasihmu kembali?”
“Iya!”
Aku sedang berlari dan itu hari kelima aku berlari. Dengan dada yang
sesak. Kesedihan yang menikam. Juga marah semarah-marahnya kepada Tuhan!
Lalu aku sampai di hadapan laki-laki ini. Laki-laki berserban putih
dan berpakaian serba putih. Dia tentu bukan Tuhan yang sedang aku cari,
tetapi aku rasa dia wakil-Nya. Bukankah orang yang saleh itu dekat
dengan Tuhan? Orang yang dekat dengan Tuhan tentu boleh berbicara
mengatasnamakan Tuhan.
“Permintaanmu aneh! Mustahil bagi-Nya menghidupkannya kembali di dunia ini.”
“Mustahil? Adakah sesuatu yang mustahil bagi Allah?”
“Maksudku, suamimu itu mustahil hidup kembali.”
“Begitu lemahkah Allah sehingga untuk menghidupkan satu nyawa saja Dia tidak sanggup? Allah tentunya Maha Kuasa, bukan, Kek?”
“Bukan begitu masalahnya, cucuku!”
“Sudahlah, kumohon Kakek tidak menolak permintaanku. Aku hanya ingin
Kakek berdoa kepada-Nya agar kekasihku itu hidup kembali. Hanya berdoa,
Kek!”
“Kamu depressi, cucuku! Kamu terlalu sedih dengan musibah yang menimpamu.”
“Iya, Kakek. Aku memang depressi, aku memang sedang kurang waras! Aku
mengerti, Kek. Tetapi, apakah Kakek tidak mau berdoa untukku? Andai aku
selama ini dekat dengan- Nya aku bisa meminta sendiri, tidak perlu
meminta bantuan Kakek.”
Kulihat orang yang kupanggil dengan sebutan kakek itu terdiam. Mungkin dia sedang mempertimbangkan permintaanku yang sepele itu.
“Tidak bisa, cucuku!”
“Tidak bisa? Mengapa tidak bisa? Bukankah Kakek selalu berdoa kepada Tuhan?”
“Tapi, aku tidak pernah berdoa kepada Allah untuk menghidupkan orang
yang telah mati. Aku orang biasa, bukan nabi. Lagi pula apa perlunya aku
berdoa— maaf ya, cucuku—konyol demikian!”
“Jangan salah, Kakek. Ini sangat perlu dan ini juga bukan konyol. Aku
sangat mencintai lelakiku itu. Dia adalah kebahagianku, Kek. Kami baru
menikah, kami baru merayakan cinta kami yang suci! Jadi, jika dia tidak
bisa hidup kembali, sebaiknya aku mati saja!”
“Sabarlah, cucuku! Jangan berkata begitu….”
“Kakek, apa bedanya berdoa untuk meminta rezeki dengan berdoa untuk menghidupkan lelakiku itu?”
Kakek tersenyum, entah apa maksudnya.
“Sudahlah, cucuku! Saat ini aku tidak bisa menjelaskan kepadamu
panjang lebar. Yang pokok, kamu harus sabar. Kamu harus terima kematian
lelakimu itu. Sebab, semua orang akan mati. Semuanya telah ditentukan
oleh Allah!”
“Begitukah? Apakah rezeki manusia belum ditentukan oleh Allah sehingga kita masih patut berdoa untuk memintanya?”
“Rezeki dan kematian manusia sudah ditentukan oleh-Nya.”
“O, jika benar demikian, tidak perlu lagi kita berdoa dan berusaha?”
“Tidak demikian. Rezeki dan kematian sudah ditentukan oleh-Nya,
tetapi kita tak tahu ketentuan-Nya itu seperti apa. Karena itu, rezeki
harus dikejar dan kematian harus dihindari.”
Aku mengernyitkan dahi. Ada yang kurasa masih samar. Mungkin karena jiwaku masih lelah, kejernihan pikiranku tidaklah sempurna.
“Jadi, apa perlunya kita menyakini ketentuan Tuhan atas kematian atau rezeki itu, Kakek?”
“Pertanyaan yang bagus, cucuku. Sungguh tak dapat dimungkiri bahwa
soal kelahiran, soal kematian, soal rezeki, soal jodoh, dan banyak hal
lainnya adalah hal-hal penting dalam hidup manusia. Sementara, manusia
tidak dapat mengendalikan banyak aspek dari hal-hal itu secara mutlak.
Kita berusaha terhindar dari kematian mendadak, tetapi bisa saja
kecelakaan menimpa kita dan tewaslah kita seketika. Ini seperti yang
dialami lelakimu.”
Aku mulai mengerti. Aku merasakan ada seberkas cahaya menyinari pikiranku.
“Cucuku, kau terlalu lelah lahir dan batin. Istirahatlah dulu. Kita teruskan diskusi ini lain waktu.”
“Baiklah, kakek, kalau begitu. Aku akan datang kembali ke tempat ini
bila aku telah waras dan aku akan siapkan waktu hingga tuntas Kakek
menjelaskan kepadaku.”
***
Seminggu kemudian, aku kembali ke tempat kakek berada. Syukur, tidak
sulit menemukannya kembali. Kali ini dia tidak serba putih. Dia memakai
kaos oblong warna hitam dan celana komprang pendekar. Bagiku tak penting
benar apa yang dikenakan kakek ini sebab yang penting bagiku adalah
kata-katanya!
“Cucuku, selembar daun kering yang jatuh di malam yang gelap Allah
Tahu dan Allah Berkuasa atasnya. Daun itu mula-mula layu lalu kering
karena sebuah proses alamiah, setelah itu ia luruh dari batang pohon dan
melayang di udara, ia akan jatuh di mana itu adalah terserah angin yang
menghembusnya. Tetapi, kalau Allah menghendaki, bisa saja daun itu
tertahan di udara. Tetapi, jika daun itu jatuh ke tanah secara alamiah
maka itu adalah kehendak Allah juga. Hanya saja, ini adalah kehendak
Allah yang tidak ajaib menurut mata manusia.”
“Teruskan, Kek. Aku mulai paham.”
“Daun tidak bisa memilih tindakannya karena memang demikianlah takdir
untuknya. Sementara, manusia dapat memilih tindakannya. Manusia
memiliki akal dan hati. Kemampuan manusia ini adalah takdir Allah untuk
manusia. Atau, dengan kata lain, kebebasan memilih itu adalah takdir
Allah atas penciptaan manusia. Namanya ‘sudah takdir’ maka manusia tidak
bisa mengelak dari hukum kebebasan berkehendak dalam dirinya, sekuat
apa pun dia menolaknya.”
“Emm… Teruskan, kakek!”
“Allah tetap memiliki kekuasaan-Nya pada perbuatan manusia yang
dihasilkan dari kebebasannya untuk bertindak itu. Ketika suatu perbuatan
terjadi atas keinginan manusia maka Allah berkuasa untuk ‘membiarkan’
perbuatan itu secara seharusnya. Pembiaran ini adalah kehendak-Nya juga
yang berasal dari kekuasaan Mutlak-Nya. Jadi, jika sesuatu terjadi, maka
itu adalah atas kehendak Allah, sama juga bila sesuatu itu tidak
terjadi maka itu juga atas kehendak Allah.”
“Dalam kata lain, kekuasaan Allah itu mutlak atas segala sesuatu.
Kekuasaan mutlak itu dicirikan dengan bahwa kekuasaan-Nya itu meliputi
segala sesuatu tanpa kecuali, begitu ya, Kakek?”
“Benar. Kau sudah bisa menyimpulkan. Bagus-bagus. Apa ini berarti
kamu sudah mulai melupakan kesedihanmu itu? Cepat sekali. Satu minggu
kau sudah dapat menguasai diri.”
“Alhamdulillah, Kakek. Pertemuan dengan Kakek minggu kemarin sangat
berarti bagi ketenangan jiwaku. Tetapi, Kakek, bolehkah diskusi ini kita
lanjutkan? Bagaimana dengan orang yang mati membunuh dirinya? Apakah
kematiannya itu telah ditentukan oleh-Nya atau karena pilihan bebasnya?”
“Begini, dalam pandangan mata manusia tentu saja orang itu
berkehendak bebas sehingga bunuh diri itu terjadi karena kehendaknya.
Tetapi, tentu saja bahwa hal itu sudah merupakan ‘ketentuan atau takdir-
Nya’. Ketentuan itu telah ditetapkan zaman asal atau, sering disebut
zaman azali. Nah, di sini otak manusia tak mampu memahami hakikat zaman azali.”
“Mengapa tak mampu, Kek?”
Ketahuilah bahwa Allah SWT itu bersifat Awal dan Akhir. Otak manusia
hanya memahami bahwa yang awal pasti bukan yang akhir. Yang akhir pasti
bukan yang awal. Bagaimana sesuatu yang awal itu menjadi yang akhir atau
sebaliknya? Sampai kapan pun akal manusia tak dapat memahaminya. Otak
manusia berjalan pada ruang logis dan kronologis.”
“Ini menarik, Kek.”
“Contoh lain, Allah itu Dhohir (tampak) dan Bathin (tak tampak). Dua
hal yang bertentangan dalam satu hakikat tentu saja tidak masuk akal
atau mustahil menurut akal. Tetapi, Allah yang Mahatinggi mutlak
memiliki sifat atau kualitas demikian. Jadi, tidak bisa dipahami hakikat
keilahian Allah jika yang kita gunakan adalah akal kita an sich.
Otak kita tidak dalam kapasitas untuk itu. Dalam sebuah sabdanya, Nabi
Muhammad melarang kita berpikir tentang Zat Allah, dia menganjurkan kita
untuk berpikir tentang ciptaan-ciptaan-Nya saja.”
“O begitu ya, Kek. Kalau begitu, Nabi kita itu sangat bijak ya,
Kakek. Dia tahu bahwa sebagian manusia akan mengarahkan pikirannya ke
sana sehingga dia perlu memberi warning.”
“Nah, aku jadi ingat, bijaksana! Al-Hakim! Allah SWT
Mahabijaksana. Tadi aku jelaskan bagaimana Allah itu berkuasa mutlak.
Tetapi, ingatlah bahwa Allah SWT juga Mahabijaksana atau al-Hakim.
Sehingga kehendak-Nya atau kekuasaan-Nya yang mutlak itu sejalan dengan
hikmah kebijaksanaan-Nya. Hikmah kebijaksanaan-Nya itu yang pertama
merupakan hukum keadilan (sebab-akibat). ”
“Kakek, berhentilah dulu. Jangan panjang-panjang. Aku perlu mencernanya pelan-pelan.”
Dia menghentikan kata-katanya, memberiku kesempatan untuk bernapas sejenak tanpa beban berpikir.
“Cukup? Aku lanjutkan. Dari pengertian ini, maka perbuatan atau
kehendak bebas manusia dijamin oleh Allah SWT. Aku ingin menyatakan di
sini bahwa Allah SWT hanya sesekali ikut campur sehingga tidak mengikuti
hukum sebab-akibat ini—setidaknya menurut pengamatan manusia.
Contohnya, ketika Dia membuat api menjadi dingin bagi Nabi Ibrahim. Laut
yang tenang tiba-tiba terbelah memberi jalan untuk Musa dan
pengikutnya.”
“Kalau begitu kita cukup mengandalkan kemampuan diri sendiri dan apa
yang telah diberikan Allah dalam alam raya ini. Kita tidak perlu memohon
bantuan dan pertolongan-Nya sebab segala sesuatu umumnya hanya bertumpu
pada hukum keadilan Allah alias hukum sebab-akibat?”
“Ya dan tidak!”
“Ya dan tidak? Jangan Kakek membuatku bingung.”
“Orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula yakin
akan adanya bantuan dan campur tangan Allah, bolehlah dia menganggap
sepi Allah. Bolehlah dia bertindak hanya dengan percaya kepada
kemampuannya, percaya pada hukum sebab-akibat saja. Tetapi manusia yang
beriman tidak boleh demikian. Dia, sebaliknya, diperintahkan untuk
berdoa, diperintahkan untuk percaya pada bantuan Allah, diperintahkan
untuk yakin adanya campur tangan Allah dalam kehidupannya.”
“Bagaimana cara Dia membantu urusan kita, Kek?”
“Dia Mahacanggih sehingga Dia bisa bantu kita dengan berbagai cara
yang kita sendiri mungkin tidak menyadarinya. Dan, salah satunya ialah
melalui hati. Allah senantiasa berkuasa atas hati kita.”
“Maksud Kakek, Allah membisiki hati manusia atau ada makhluk lain yang ditugaskan, malaikat, misalnya?”
“Benar kamu.”
***
“Kakek, sekarang ini sudah jam satu siang. Aku belum makan sejak
pagi. Seandainya sekarang ini aku berdoa kepada Allah agar Dia
mendatangkan dua piring nasi gudek— yang sepiring untuk aku dan yang
sepiring lagi untuk Kakek—apakah, satu, Dia akan memenuhi permintaanku
itu dan dua, apakah aku patut berbuat demikian?”
“Dia pasti insya Allah tidak akan mendatangkan dua piring nasi gudek itu.”
“Mengapa begitu, Kek?”
“Allah bertindak dengan kebijaksanaan. Bukan dengan kesembronoan. Ini adalah kepastian.”
“Oke! Ini berarti aku tidak patut melakukan doa yang semacam itu ya,
Kek. Tetapi, seandainya aku benar-benar haus akan bukti yang bisa
membuat hatiku mantap terhadap perkara bantuan Allah ini, bolehkah aku
berdoa yang semacam itu?”
“Boleh saja. Tetapi, Allah-lah yang mempertimbangkan kepatutanmu
untuk mendapatkan keajaiban itu. Dan, yang penting bahwa kamu juga siap
menerima risikonya.”
“Risiko, apa maksudnya, Kakek?”
“Bagaimana seandainya Allah SWT tidak kunjung menunjukkan keajaiban
yang kamu minta itu, apakah kamu sanggup menderita batin sebab
menunggu-nunggu dan menduga-duga?”
“O… gitu ya, Kek?”
“Dan, bila akhirnya Dia tidak berkenan, apakah kamu mau menjadi orang kafir? Siapkah kamu menjadi orang kafir?”
“He..he…he… kok jadinya bisa begitu!”
“Orang-orang dahulu di zaman Nabi meminta keajaiban. Bahkan, ketika
keajaiban itu benar-benar ditunjukkan, orang-orang tersebut tetap dalam
kekafiran.”
“Bagaimana dengan orang-orang sesudah nabi, aku dengar mereka juga mengalami keajaiban-keajaiban. Benarkah ini, Kakek?”
“Benar sekali. Mereka adalah para waliyullah. Mereka adalah
orang-orang yang berada di garis depan dalam bertaat kepada Allah.
Mereka tidak meminta keajaiban seperti kamu—maksudku, seperti yang kamu
rencanakan dan omongkan tadi. Mereka mendapatkan keajaiban adalah tanpa
mereka minta.”
“Wah, hebat sekali mereka. Aku ingin menjadi waliyullah seperti mereka. Kenalkan aku kepada mereka, Kek?”
“Tetapi, apa kamu yakin bahwa kamu bisa menjadi waliyullah?”
“Bukankah kita bebas untuk menjadi apa, sesuai dengan keinginan kita?
Dan, bahwa Allah yang Mahabijaksana menjamin kebebasan kita itu.
Sehingga, jika aku sungguh-sungguh menempuh jalan ini maka Dia pasti
akan menolongku dan membantuku. Begitu kan, Kek? Kakek ini pasti menguji aku, iya kan?”
“Kamu lulus, cucuku!”
Aku merasa senang mendengar predikat “lulus” itu. Kini hatiku serasa
seluas samudera. Tidak ada lagi dalam hatiku kesedihan sebab lelakiku
yang telah tiada. Aku rasa yang terpenting buatku sekarang adalah
mejalani hidup ini penuh optimisme sebab kini aku tahu secara pasti
bagaimana menempatkan kebebasanku berbuat dalam kerangka ikhtiar dan
bagaimana aku sangat yakin bahwa Allah akan mengulurkan tangan-Nya
untukku.
“Kamu melamun, cucuku?”
“Oh ya…!” (*)
Subah, 22 Januari 2013
Penulis lahir di Batang, 6 Januari 1970. Saat ini tinggal di Kompleks Ponpes Subhanah, Subah, Batang, Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar