Cerpen AK Basuki
Terbit di Kompas, 10 Maret 2013
Bahan Referensi Cerpen - IBUKU adalah perempuan pemilik jiwa yang hangat. Rasa
cinta pada sesama telah dibungkusnya dengan rapat, ikhlas, tanpa ada
sebuah cela bernama pamrih yang bisa mendesak dan merobeknya. Dia
perempuan yang pernah menikmati bahagia bagi dirinya sendiri dan telah
merasa puas. Kini bahagianya sudah mencapai tingkat sempurna, merasa
tanpa merasa. Kebahagiaan orang lain adalah pula miliknya, begitu juga
dengan kesedihan dan kesakitan mereka.
“Mari bertandang. Soalnya, Tuhan selalu berada di sana, dekat pada
yang sakit. Di sanalah rumah-Nya.” Itu kata-kata ajaibnya untuk
menggugah semangatku, agar bersedia mengantarnya selalu, bertandang ke
rumah Tuhan. Seperti ada radar di kepalanya yang akan mengirimkan impuls
untuk menggoyangkan sebuah lonceng sehingga seisi rumah akan segera
terjaga jika ada seorang sakit yang harus dijenguk. Tak peduli di siang
hari yang panas maupun malam dengan kegelapan yang nyata. Memang
terkadang membuatku menggerutu, tapi rasa hormat dan sayangku melebihi
keinginan membantahnya. Lagipula, rasa penasaran akan Tuhan selalu
berhasil dimunculkannya kemudian lewat kalimat bertubi-tubi yang lebih
berupa bujukan untukku. Itu membuatku tak hendak melepaskannya sendiri.
Semua toh pada akhirnya akan kulakukan demi Ibu.
Selama dalam perjalanan, Ibu akan lebih banyak diam. Seakan-akan doa
telah dirapalkan dalam hati sejak kakinya menjejak heksagon paving block
terakhir halaman rumah kami. Kadang aku iseng menggodanya dengan
menyanyikan lagu-lagu yang kocak, tapi desis dari bibirnya akan
mencegahku. Jika itu dirasa tak cukup, sebuah jeweran pada telingaku
akan menjadi lebih ampuh.
“Kau tahu, ada hikmat yang harus disiapkan sejak kita bertolak untuk
melakukan ini. Sebuah keheningan yang maha, dimulai dari hati kita.
Itulah sebutan lain dari sebuah doa. Setiap jengkal jarak yang kita
tempuh akan dikumpulkan oleh malaikat untuk ditaburkan di ranjang si
sakit. Memberikan mereka kekuatan. Sakit seseorang juga merupakan sebuah
peringatan Tuhan agar kita makin merasa dekat dengan-Nya. Bukankah kita
beruntung?”
Baiklah. Amin.
Tanpa bermaksud memungkiri bahwa aku adalah anak kurang ajar ketika
harus menahan hati dari memaki diri sendiri pada saat menemaninya ke
rumah-rumah orang yang bahkan sama sekali tak pernah kukenal, lama
kelamaan aku terbiasa. Tapi rasa terbiasa itu tidak bisa mencegahku
semakin berani pula untuk beralasan sekali waktu. Apakah jika separuh
penduduk bumi dikenalnya, akan semua didatangi jika sedang menderita
sakit?
“Kenapa rumah Tuhan tak satu saja? Akan lebih mudah,” kataku suatu
hari saat dia memintaku mengantarnya untuk kesekian kali. Itu waktu
pertama di mana gejolak darah mudaku tengah menepikan semua kepentingan
selainnya hingga berani menolak dan membantah. Ibu mengernyitkan alis.
“Kau tak mau mengantar Ibu?”
“Aku sedang tak ingin pergi kemana-mana, Bu. Ke rumah Tuhan sekalipun.”
“Lancang! Tuhan mendengar perkataanmu dan malaikat mencatatnya.
Sebagai ganjaran, kelak jika waktumu tiba, kau akan tertunda di muka
gerbang surga menunggu kepastian-Nya. Kepanasan dan sendirian!”
Ngeri mendengar kata-katanya, tapi aku masih mengeyel, “Bekalku sudah
banyak, Bu. Sambil menunggu gerbang dibukakan, akan kuhabiskan bekalku
itu.”
“Sudah berapa banyak bekalmu?”
“Sebanyak yang Ibu pernah berikan.”
“Kalau demikian, pastilah belum cukup.”
Lalu begitu saja disiapkannya sendiri barang-barang bawaan yang
hendak dipersembahkan pada si sakit tanpa mencoba memaksaku lebih jauh.
Mungkin dalam pikiran Ibu, aku sudah terlalu besar untuk dimuntahi kata-
kata yang hanya mempan pada anak-anak ingusan. Seingatku, itu
satu-satunya pembangkanganku, tapi tak lama.
“Kenapa rumah Tuhan tak hanya satu?” tanyaku sedikit berteriak
mencoba sedikit menyamarkan perasaan sesalku sewaktu punggung Ibu telah
lenyap di balik pagar.
Terdengar jawabannya, “Di mana si sakit berbaring, di situlah
rumah-Nya. Jika Dia hanya berumah satu, tentu kau hapali jalan ke rumah
itu lalu kau akan menjadi sombong dan jauh lebih bosan dari sekarang.”
Bertambah besar penyesalan, aku berlari mengejarnya, “Ibu! Ibu!”
Tapi dia sudah lenyap di belokan pertama. Padahal ingin sekali aku
mendengar apa pun lagi dari perkataannya tentang rumah Tuhan agar
kemalasanku hari itu bertemu upasnya. Bergegas kunyalakan mesin sepeda
motor, berharap masih tercium aroma tubuhnya di jalanan kecil yang
dilewati agar bisa kudapatkan dia, lalu kuantarkan kemana saja dia mau.
Pikirku, jika kaki-kaki Ibu lelah, itu sungguh karena kesalahanku. Jika
Tuhan tiada di tempat yang dituju karena telah pergi ke rumah lain yang
tiada diketahuinya, itu juga karena salahku. Ibu tak ingin terlambat,
tapi aku malah memperlambatnya. Maka legalah hatiku saat kutemukan dia
beberapa ratus meter kemudian, berdiri di seberang rumah Ayah.
“Tuhan di sini?” tanyaku berdebar. Mungkin Ayah sakit. Tapi Ibu hanya
memandangi rumah bercat kuning itu dengan tatapan sarat makna yang
sedikit banyak bisa kumengerti.
“Untuk apa aku menyusul Ibu jika hanya untuk mencari Tuhan di tempat ini?”
“Ssh… tak baik berkata begitu. Ibu hanya tiba-tiba ingin melalui
jalan ini. Lihatlah, rumahnya yang sekarang tak ada bedanya dengan rumah
kita, hanya saja….”
Ya, aku tahu. Sudah jelas rumah Ayah sonder cinta. Dingin tanpa
kemungkinan menjadi hangat seperti jika paparan cahaya matahari mampu
menyusup lewat setiap celah yang ada pada dinding atau gentingnya. Tak
seperti haru-biru Ibu yang bertahan dengan harga diri dan cintanya, Ayah
justru senantiasa goyah dan berkali-kali ingin kembali. Tapi pertahanan
Ibu memang telah solid melindungi dirinya dari kuasa cinta Ayah. Rumah
tangga Ayah yang baru sama bobroknya dengan yang lama. Bedanya,
kesalahan bukan dari sudutnya lagi seperti yang terjadi antara dirinya
dan Ibu. Ayah sudah mengkhianati Ibu, begitu pula nasib yang didapatnya
kemudian.
“Marilah, Bu,” ajakku. Tak sudi aku berlama-lama di tempat itu. Lebih
tak sudi lagi melihat cinta yang kadang masih berkobar di matanya. Aku
tahu, sudah beberapa kali Ayah datang untuk meminta maaf dan ingin
kembali kepada Ibu. Tapi Ibu tak merasa harus memaafkan atau tak
memaafkan siapa-siapa, dia hanya tak hendak mempergunakan haknya.
Selepas Ayah pergi, satu-satu pintu memang telah ditutupnya walaupun
cinta tentu saja tak pernah mati.
Ketika kami telah sampai di satu kompleks perumahan, Ibu turun dari boncengan dan tertegun.
“Di sanalah rumah Tuhan,” tunjuknya ke satu rumah dengan orang-orang
yang sibuk. Kami memang telah terlambat, tapi sejak itu hatiku bersumpah
untuk tak akan pernah lagi menunda-nunda ajakannya.
***
Hingga akhirnya tiba juga saat-saat yang mungkin paling ditakutkan Ibu. Tuhan menyambangi rumah Ayah.
“Ayahmu sakit. Kita harus bertandang,” katanya pagi ini. Kulihat
matanya telah basah seperti baskara terhembalang hujan. Raut wajahnya
terlihat lebih bingung dari biasa. Seakan-akan sakit seorang ini
merupakan kumulasi dari sakit belasan orang yang pernah dijenguknya. Aku
tak sependapat. Ayahku itu toh orang khianat.
“Parahkah?” Ibu mengangguk.
“Kudoakan Tuhan tak ada di sana.”
Tangan Ibu tangkas terangkat hendak memberikan dera pada pipiku, tapi
urung. Wajahnya jadi kelabu. Sangatlah tak layak baginya
mempertunjukkan ekspresi wajah itu bagi kemalangan Ayah. Bagiku, seribu
kali orang itu mengaduh kesakitan atau mengharapkan pertolongan, tak
lagi aku akan memperhatikannya. Sebaliknya, tentu saja Ibu berbeda.
“Dengan begini apakah Ibu meninggikan derajat ayahmu dibanding yang
lain? Bukankah dia sama saja dengan siapa pun yang tengah menderita
sakit?” dia bertanya. Itu seperti sebuah pertanyaan pula bagi dirinya
sendiri untuk meyakinkan kembali keyakinannya. Aku tak mau menjawab.
“Gegaslah, Ibu salah telah membiarkan dogma mengeram hampir abadi di
kepalamu. Dulu kau masih terlalu muda untuk mengerti dan Ibu meminta
maaf untuk itu.”
Hatiku menyangkal. Saat Ayah khianat, aku memang masih terlalu muda,
tapi telah mengerti sebuah daya tarik dari sebentuk makhluk bernama
perempuan. Daya tarik yang mengisap ayahku ke dalamnya seperti binatang
hina tersesat ke dalam lumpur pengisap karena kerakusannya. Dari sana
aku tahu, Ibu menjadi seorang perempuan yang tak menarik lagi bagi Ayah
walaupun bagiku dia adalah secantik-cantiknya perempuan. Ayah lupa diri.
Akhir-akhir ini dia memang sering bertandang kemari, tapi aku tetap
tak bisa melupakan kesalahannya. Enak saja dia berkeinginan pulang
setelah merasa puas dan ketuaan mulai menggerogoti tubuhnya. Mungkin dia
telah berfirasat, kematian sewaktu-waktu akan menjemputnya. Dan bila
saat itu datang dia ingin berada di samping perempuan pertamanya.
“Gegaslah,” bisik Ibu. Tak memaksa, tapi memohon. Setengah enggan aku
menuruti hanya untuk menjadi sadar setelahnya bahwa rumah Ayah tak
begitu jauh. Ibu memang mengharuskanku untuk ikut, bukan untuk sekadar
mengantarnya seperti waktu-waktu biasa. Semoga Tuhan tak di sana,
gerutuku dalam hati.
Sepanjang perjalanan kaki-kaki kami, doa Ibu bertebaran. Bagaikan
dapat kulihat setiap huruf dalam doa yang keluar dari mulutnya dan
memudahkanku mengeja. Tanpa terasa, aku turut berdoa. Tapi itu kulakukan
untuk Ibu, bukan untuk Ayah.
Di gerbang rumah Ayah, beberapa orang yang mengetahui hubungan kami
dengan si sakit tergopoh-gopoh menyambut. Nyawa Ayah hanya akan lepas
jika telah bertemu kami, kata salah satu dari mereka. Terdengar kasar
dan tak pantas di telingaku, tapi tak mengapa. Ayah patut
mendapatkannya. Ibu pun tak merasa akan membuka jalan kematian bagi
Ayah. Hatinya hanya berduka, lain tidak.
Di depan pintu kamar Ayah, Ibu berhenti sejenak. Lengannya merangkul
leherku dan didekatkan bibirnya pada telingaku, berbisik, “Pasang
senyuman terbaikmu.”
Seketika, pintu rumah Tuhan terbuka. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar