Cerpen Yusri Fajar
Terbit di Media Indonesia, 3 Maret 2013
Bahan Referensi Cerpen - AKU dan kau duduk di bawah pohon sakura di tepi Sungai Kamo,
Kyoto. Ratusan hari kita berdua menanti sakura yang hanya bisa
disaksikan tak lebih dari lima belas hari.
“Jika tak memesona ketika mekar sehingga membuat orang-orang yang
telah menunggunya kecewa, sakura pasti bunuh diri, andai bisa. Untuk apa
berkembang jika memalukan dan tak memancarkan keindahan,” katamu.
Mendengar m kalimatmu, aku teringat banyak orang di negerimu yang
menjemput maut dengan menusukkan katana ke perut setelah gagal menjaga
amanat dan harga diri.
Sambil menikmati hanami dan menyandarkan kepala di bahuku, kau
berbisik takut jika aku melakukan harakiri. Padahal sejak meninggalkan
Indonesia, tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk bunuh diri di
Jepang.
Seandainya aku gagal meraih gelar, aku tak akan memilih jalan yang
bagiku laknat itu. Mengapa kau tiba-tiba menyinggung bunuh diri dan
takut aku melakukannya? Kau diam, lalu mengalihkan pandanganmu pada
sakura yang jatuh di permukaan sungai.
Beberapa saat kemudian, kau bercerita tentang kekasihmu yang
mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di tepi Sungai Kamo. Ia malu
dan harga dirinya hancur karena gagal menyelesaikan instalasi listrik
di Stasiun Kyoto.
Padahal, ia dikenal sebagai lulusan terbaik Fakultas Teknik
Universitas Ritsumeikan. Matanya melotot dan lidahnya menjulur setelah
seutas tali yang ia ikatkan di pohon sakura menjerat lehernya. Kematian
terhormat dan heroik baginya, namun tragis bagimu.
Apakah kau ingin mati menyusul kekasihmu untuk membuktikan cintamu?
Hatiku yang dibakar cemburu. Aku menenggak sake dari botol ungu dan
menyantap sushi yang kita beli di restoran Keiten Sushi.
Hanami yang kita lakukan pertama kali di tepi Sungai Kamo ini menjadi
tegang. Aku sadar kau masih terkenang orang yang nyawanya telah
melayang.
***
Pertemuan pertamaku denganmu terjadi beberapa bulan lalu di lantai
dua gedung Konshikan kampus Kinugasa Universitas Ritsumeikan. Kau
memperkenalkan diri, Kaori Hasegawa, mahasiswi doktor program studi
perdamaian.
Setelah pertemuan itu, kau dan aku makin akrab. Kau sedang memasuki
tahap akhir penyelesaian disertasi doktormu. Dari ceritamu, aku tahu kau
telah beberapa kali pergi ke Indonesia, meneliti konflik yang
mengakibatkan ratusan manusia meregang nyawa.
Ketika mengunjungi Poso, kau bertemu orang yang mengeluarkan senjata
tajam, juga senjata api rakitan. Jantungmu berdegup kencang, maut
membayang dalam pikiranmu. Dia bilang harus selalu waspada, siapa tahu
musuh datang menyerang.
Dari wawancara dengannya, kau tahu ia berani dan rela mempertaruhkan
nyawa demi harga diri dan menjunjung tinggi martabatnya. Apakah kau tak
takut menelusuri daerah-daerah konflik di Indonesia? Kau bilang, itulah
tantangan menjadi peneliti di daerah konflik, tantangan yang bagimu
belum sebanding dengan tantangan kakekmu ketika melakukan kamikaze dalam
perang dunia kedua yang kejam dan mengerikan.
***
Menjelang senja, aku dan kau meninggalkan tepian Sungai Kamo menuju
kampus. Kau menggenggam tanganku. Kuharap bayang kekasihmu tak lagi
menghantuimu. Tiba di halaman kampus kita duduk di bangku warna merah
sambil menikmati teh hijau panas.
Di pojok halaman berdiri panggung kayu setinggi setengah meter,
tempat kau pernah berorasi mengkritik pemerintah Jepang yang kau nilai
gagal menekan angka bunuh diri.
Harakiri kini tak lagi dengan merobek perut dengan katana, tetapi
juga gantung diri (seperti mantan kekasihmu), minum racun, menabrakkan
diri ke kereta, hingga terjun dari ketinggian. Temanmu dari Tokyo
menulis disertasi tentang harakiri. Sementara kau lebih tertarik
meneliti konflik etnik.
“Cokro,” kau memanggilku dengan rona wajah muram. “Sensei
Nakata tidak puas dengan hasil penelitianku di Indonesia. Disertasiku
belum seperti yang dia harapkan. Aku masih butuh data tambahan agar
analisisku makin tajam. Menurutnya, penelitianku kurang mendalam dan
tidak maksimal,” tuturmu menceritakan Profesor Nakata, pembimbing
disertasimu, yang perfeksionis.
“Apakah kau masih punya waktu untuk merevisi dan melakukan investigasi?”
“Tidak. Tiga minggu lagi aku harus mengumpulkan disertasiku.”
“Kau masih punya cukup waktu,” kataku membesarkan hatimu karena aku
tak ingin kau menyerah. Kau tahu, Kaori, kegigihanmu dalam mengerjakan
berbagai tugas kuliah membuatku kagum. Kau tak hanya cantik, tapi juga
pandai beropini. Aku tak rela jika kau gagal meraih gelar.
“Setelah membaca disertasimu, kurasa kau layak menyerahkannya untuk diuji.”
“Sensei Nakata menilai belum layak. Dia sangat kecewa dengan
hasil penelitianku. Jika nilaiku jatuh dan aku tak lulus, mau aku taruh
di mana mukaku.”
“Kau pasti lulus. Kita akan diwisuda bersama.”
“Aku tidak yakin. Komentar sinis sensei Nakata membuatku pesimis.” Aku diam menyelami gelombang putus asa yang menerpamu bertubi-tubi.
“Cobalah memohon pada sensei Nakata untuk memberimu tambahan waktu. Jika kau perlu pergi ke Indonesia lagi, aku akan menemani dan membantumu.”
“Tambahan waktu tak akan berarti. Sensei Nakata sudah
menganggap tulisanku sampah dan tak bermutu. Seminggu lalu, ia bahkan
membanting draf disertasiku. Kesabaran dan kepercayaannya padaku telah
remuk. Tak ada lagi yang bisa kubanggakan di hadapannya. Harapanku untuk
menjadi lulusan terbaik segera terkubur.”
“Kau belum gagal. Kuyakin kau bisa melewati tantangan ini.”
“Aku sudah gagal mempersembahkan yang terbaik, Cokro. Tantangan
penelitian ternyata tak bisa kutaklukkan. Aku bukan lagi mahasiswi yang
layak dipuji. Bagaimana aku menjelaskan kegagalanku kepada orangtuaku
dan teman-teman di Nagasaki? Mereka begitu berharap padaku, sebagaimana sensei Nakata.”
Kau tertunduk dan menyingkapkan rambutmu. Bola matamu mulai dibanjiri
air mata. “Apa gunanya hidup dalam kegagalan, rasa malu dan kehampaan?
Tak ada lagi kehormatan,” ungkapmu, lalu membenamkan wajah di dadaku.
Pilu telah menjadi mata pedang samurai yang menyerangmu dari berbagai
penjuru.
Melihatmu ditikam kesedihan begitu nyeri, aku mengajakmu meninggalkan
kampus Kinugasa yang mulai gelap dan lengang. Di jalan kau terus
dirundung murung. Sampai di apato-mu, kau ingin aku menemanimu melewati malam.
Tapi, seperti kau tahu, ada perempuan yang setia menungguku di apato-ku. Perempuan lemah lembut yang pernah bertemu denganmu ketika kau berkunjung.
Ketika aku pamit pulang dan berjanji untuk datang esok hari, kulihat
kegalauan makin pekat menggantung di wajahmu. Dengan berat hati kau
melepaskan pelukanmu setelah kecupan hambar kau sarangkan ke bibirku.
***
Langit muram ketika aku menyusuri kawasan Taniguchikarata. Kukayuh sepeda menuju apato-mu
di Omurashibasicho. Kupencet bel berwarna merah, tapi tak kudengar
langkahmu mengarah ke pintu. Mungkin kau masih terlelap setelah semalam
suntuk merevisi disertasi. Mungkin kau tengah berendam air hangat sambil
mendengarkan lagu. Aku menunggu.
Sepuluh menit kemudian aku menekan bel kembali. Tetap tak ada jawaban. Apakah kau tak berkenan lagi dengan kehadiranku, Kaori?
Dalam gelisah aku menghubungi ponselmu. Nada panggil berbunyi, tapi
tak ada jawaban. Didera penasaran, aku berjalan mendekat jendela apato-mu
yang dihiasi kelambu dan ornamen bambu. Dari jendela aku melihat lantai
ruang depan dipenuhi kertas-kertas berserakan. Buku-buku terbuka
halamannya dan letaknya tak beraturan.
Tubuhmu rebah setengah melingkar di atas tatami. Beberapa
helai rambutmu yang panjang dan hitam terurai menyapu wajahmu yang
pucat. Laptopmu masih menyala di atas meja. Terpampang fotoku di
layarnya.
Aku memanggil namamu dengan suara keras, tapi kau seperti tak
mendengar. Aku berlari meninggalkan jendela lalu menggedor pintu dan
berusaha membuka paksa, tapi tak bisa. Para tetangga berhamburan keluar
dari apato mereka, mengerubutiku dan bertanya apa yang telah terjadi pada dirimu.
Aku tak bisa memberi jawaban pasti. Mereka kemudian mendobrak pintu
dengan wajah-wajah tegang dan muram. Begitu pintu terbuka, kami
berhamburan masuk.
Di dalam kau tetap diam, bibirmu terkunci, matamu terpejam. Dari jendela kulihat bunga sakura berguguran. (*)
Kyoto, 2012
Yusri Fajar, menetap di Malang. Menyelesaikan studi sastra di Uni Bayreuth, Bayern, Jerman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar