Cerpen Gde Aryantha Soethama
Terbit di Kompas, 3 Maret 2013
Bahan Referensi Cerpen - USAI pendeta melantunkan mantra, segelintir kerabat itu
pun tergopoh-gopoh pulang. Hanya sanak saudara dekat yang hadir, tak
ada tamu undangan, suasana lengang mengambang. Upacara pernikahan itu
pun benar-benar ala kadarnya. Tapi, bagi Ayu Meriki ini hari paling
mencekam, sangat ia benci, amat menyakitkan, membelit dan mendesak
perasaan. Sepanjang upacara tubuhnya menggigil karena tak kuasa melawan.
Mustahil Ayu Meriki menolak keinginan Biang Buni, bundanya yang
paling berkuasa di puri. Dua kakaknya harus menikah dengan bangsawan.
Meriki melawan, memilih Anuraga, laki-laki biasa. Mereka menikah, Ayu
menjadi perempuan biasa, tak ada lagi yang mengakuinya sebagai wanita
ningrat. Mereka berharap, kehadiran seorang cucu akan meluluhkan hati
Biang. Ternyata tidak. Puri tidak mengakui pernikahan itu. Biang gigih
memisahkan Meriki dari suaminya, menakut-nakuti, menebar teror Meriki
akan ditimpa kutukan jika mempertahankan perkawinan dengan laki-laki
biasa.
Tak henti-henti Biang melontarkan sumpah serapah kepada Anuraga.
“Kamu sebut dirimu pemberani dengan menikahi perempuan ningrat,
sesungguhnya kamu manusia picisan!” teror Biang berkali-kali lewat SMS.
Saat lain Biang melontarkan sumpah serapah disertai hardikan melalui
telepon, “Kamu itu makhluk remeh temeh, lebih nista dibanding seekor
kodok!” Atau Biang akan mengumpat-umpat, “Pernahkah kamu berpikir, kamu
tak lebih dari tikus comberan?” Sumpah serapah itu dilontarkan
berhari-hari, berbulan-bulan, sepanjang tahun.
Keluarga muda itu akhirnya mengalah, menyerah. Mereka berpisah,
sembari berharap pada cinta, jodoh dan takdir akan mempersatukan mereka
kembali. Biang Buni pun sibuk mengurus perceraian pasangan itu di
pengadilan, kemudian gesit berupaya mengembalikan kebangsawanan Ayu
Meriki.
“Kamu nikahi laki-laki biasa, maka kamu bukan lagi bangsawan! Saatnya
sekarang menikahi laki-laki ningrat, untuk mengembalikan
kebangsawananmu, Ayu!” jelas Biang.
Ayu Meriki diam, apa guna bicara? Ia sadar Biang menjadi picik karena
terlalu fanatik, menganggap puri dan ningrat segala-galanya.
Berkali-kali Biang mendesak Meriki agar segera mencari pasangan
laki-laki bangsawan. Sekian kali didesak, sekian kali Meriki diam.
“Kalau begitu biar Ibu yang memilihkan lelaki untukmu!” teriak Biang.
Pilihan pun jatuh pada Agung Kosala, sepupu Ayu yang sehari-hari
menjadi pramuwisata di Tanah Lot.
“Bagaimana mungkin saya menikahi laki-laki yang tidak saya cintai, Biang?” jerit Meriki berulang-ulang.
“Ini bukan masalah cinta. Ini urusan kebangsawanan yang hilang, dan harus direbut kembali.”
“Tak mungkin saya hidup dengan Agung, tak bisa!”
“Ini pernikahan sekadarnya. Hanya dengan menikahi bangsawan,
kebangsawanan bisa dikembalikan. Setelah itu terserah kalian, silakan
bersama atau hidup terpisah. Ini pernikahan karang-karangan.”
“Tapi, Agung….”
“Sudah Biang jelaskan ini pernikahan asal-asalan, demi martabat puri. Agung mengerti, ia siap tulus membantu.”
Ayu Meriki tak yakin, mana mungkin laki-laki tidak menuntut pada
perempuan yang dinikahinya secara sah? Ia datangi Agung Kosala, bicara
baik-baik, pelan-pelan memohon pengertian, bahwa mereka akan
melangsungkan pernikahan ala kadarnya. Mereka cuma bersama di hari
pernikahan, setelah itu tidak ada lagi ikatan.
Agung Kosala mengerti dan menerima tawaran Ayu Meriki. Tapi satu jam
menjelang upacara, Agung melontarkan permintaan yang membuat Meriki
gemetar. “Sebentar lagi kamu istriku, Ayu. Sah, istri sah. Tentu kita
harus melewatkan malam pertama bersama.”
“Kamu sudah berjanji, usai upacara kita tak ada ikatan.”
“Aku cuma minta sekali, hanya malam ini.”
Meriki menolak, mendatangi Biang, mengatakan kalau Biang dan Agung
Kosala menjebaknya. “Ini melanggar kesepakatan, Biang,” jeritnya
mengiba.
Biang Buni tersenyum, menggenggam jemari Ayu Meriki. “Agung cuma
meminta sekali. Berikanlah, hanya sekali. Tubuhmu tak akan binasa jika
kau tidur sekali saja dengan laki-laki yang tidak kamu cintai.”
Ayu Meriki geram, tubuhnya menggigil, tak kuasa berbuat apa pun
karena pendeta keburu datang dan merestui pernikahan itu dengan mantra
pendek-pendek. Tak ada guna memohon apa pun pada Biang yang selepas
siang itu terus tersenyum-senyum riang karena putrinya kini telah
menjadi bangsawan kembali. Ayu muak, dengki, tidak hanya pada Biang dan
Agung Kosala, tapi juga pada puri dan seluruh isinya. Ia heran mengapa
tak ada sesuatu pun yang bisa ia jadikan tempat mengadu dan berlindung.
Ayah, jika ayah masih hidup, mungkin bisa menolong, boleh jadi juga
tidak. Mereka orang-orang fanatik yang sangat kolot, berlindung di balik
topeng martabat, dan merasa sebagai manusia paling bertanggung jawab
akan kelanggengan tata hidup kaum priayi.
Muak dan dengki itu meliuk-liuk dalam diri Ayu Meriki,
berlipat-lipat, beranak pinak cepat, menjadi gemuruh keberanian,
memantul-mantulkan perlawanan. “Aku harus menolong diri sendiri, tak ada
yang bisa diharap,” kata hatinya. Maka Ayu pun mengangguk pelan ketika
Agung Kosala memastikan akan berkunjung ke kamarnya nanti malam. “Tutup
saja pintu, tapi jangan dikunci. Tidur juga Ayu tak apa-apa. Aku akan
membangunkan kamu dengan elusan,” ujar Agung mencoba merayu manja.
Rayuan yang membuat Meriki nyaris muntah, dan semakin meyakinkan dirinya
harus melindungi diri sendiri. “Hanya sekali, Ayu, cuma malam ini,”
ujar Agung berulang-ulang, sehingga permintaan itu menjadi rengekan dan
celotehan.
Menjelang petang Meriki mencari sepotong bambu di sebelah dapur, dan
menyimpannya di kolong dipan. Dengan bambu itu ia akan membela diri dari
sergapan Agung, memukul kepala atau tengkuk laki-laki itu sekuat ia
sanggup. Ia bayangkan Agung melolong-lolong sebelum terkapar, membelah
hening malam di sebuah puri yang luas dan rimbun oleh pohon sawo,
mangga, jambu dan belimbing.
Ketika berbaring, Ayu Meriki bisa merasakan sendiri gemuruh dadanya
oleh guncangan penantian yang mencekam. Lampu ia padamkan, dan
sekali-sekali ia meraba bambu di kolong dipan, untuk meyakinkan benda
itu tidak bergeser dari tempatnya. Alangkah senyap malam, betapa panjang
penantian. Ia seperti penjahat yang sebentar lagi dipancung oleh
seorang jagal bernama Agung Kosala. Jika ingin selamat ia harus melawan
algojo itu. Kuat, ia harus melakukannya sekuat tenaga dan perasaan. Ia
harus memanfaatkan sebuah kesempatan yang ia rancang sendiri.
Perlahan-lahan ia teringat Anuraga. Di manakah laki-laki yang sangat ia cintai itu kini?
Langkah-langkah halus mulai terdengar di luar menuju teras kamar. Ayu
Meriki menahan napas ketika pintu dikuak perlahan. Cahaya seperti kabut
tipis memaksakan diri masuk melalui celah pintu. Halus, sangat halus
langkah laki-laki yang akan menggumulinya.
Ayu biarkan laki-laki itu merebahkan diri dengan lembut di atas
tubuhnya. Sudah ia rencanakan sebuah gerakan mematikan tanpa
diduga-duga. Akan ia lakukan gerakan mendorong pada saat yang tepat,
kemudian mengambil bambu di bawah dipan dan menghantamkannya sekuat
tenaga. Maka ia biarkan tubuh dan wajah yang menindih itu mulai liar
menggerayangi lehernya. Meriki menahan napas. “Sabar, sabar, sedikit
lagi, sebentar lagi, semua akan selesai,” kata hatinya.
Ketika detik yang ia rencanakan tiba, Ayu Meriki memegang kepala
tubuh yang menindihnya. Ia terkesima, rambut laki-laki itu gondrong,
Agung Kosala berambut pendek. Ayu membatalkan meraih bambu. Kini ia
mencoba menduga siapa laki-laki yang menggumulinya. Ia semakin kaget
ketika meraba kedua telinga laki-laki itu yang tak sama. Ayu meraba
tengkuk laki-laki itu, dan merasakan guratan bekas luka yang sangat
dikenalnya.
Ayu Meriki menarik napas dalam-dalam, menghelanya dalam satu
sentakan, dan membiarkan laki-laki itu terus menggerakkan tubuhnya. Dari
gerakan-gerakan itu Meriki tahu dengan siapa dia berhadapan. Gerak dada
dan pinggul memutar yang sangat disukainya, yang dengan mudah
meletupkan berahi. Yakin, Ayu Meriki sangat yakin siapa laki-laki yang
menggerayanginya dengan pelan dan sepenuh hati.
Ayu Meriki mendorong halus tubuh laki-laki itu. Tangannya tidak
meraih bambu di bawah dipan, tapi segera meraba saklar lampu di atas
meja. Dalam satu sentakan ruangan itu terang benderang. Seorang
laki-laki berdiri di ujung dipan.
“Nur… Nur… oh, Nur…!” seru Ayu berulang-ulang. Ia peluk erat-erat laki-laki yang sangat dicintainya. “Nur…. Nur….!” isaknya.
“Mer… Mer….!”
Ayu Meriki mencubit berkali-kali pipi laki-laki itu, sebelum mengulum bibirnya dengan sepuas-puasnya, sekuat ia mampu.
“Agung yang mengatur semua ini. Kita harus pergi sekarang. Keluar,
kita harus cepat keluar. Ayo!” ujar Anuraga menarik tangan Meriki.
Mereka melewati gerbang puri berpintu tinggi dengan mudah, karena
Agung tak menguncinya. Dengan langkah seringan mungkin mereka menelusuri
jalan desa yang senyap.
“Cepat Mer! Ayo… cepat!” bisik Anuraga berulang-ulang sembari menarik jemari Meriki.
Anuraga merasa ada yang membuntuti. Ia mendekap Meriki, mendorongnya
ke tepi jalan, sehingga mereka terlindung oleh gelap bayang pohon
kamboja. Anuraga melihat sosok bayangan bergerak-gerak di bawah pohon
sukun dekat gerbang puri. Bayang itu bergerak-gerak lambat di tempat,
melambai-lambai seperti memanggil-manggil. “Ah, ini pasti bayang-bayang
ketakutan yang dialami oleh siapa saja yang sedang melarikan diri,”
bisik hati Anuraga, kemudian menggamit jemari Meriki untuk meneruskan
langkah. Butuh lebih kurang lima belas menit menembus tengah malam
sebelum mereka sampai di ujung desa, tempat seorang kawan bersiaga
dengan mobil untuk membawa mereka kabur.
Agung Kosala menyaksikan pasangan itu dari bawah pohon belimbing
dengan gundah dan berdebar-debar. Ia masuk kamar dengan gontai.
Perasaannya campur aduk antara kebanggaan menolong seorang sepupu untuk
menemukan pasangan dan kasih sejati, dengan penyesalan atas dirinya yang
selalu gamang setiap berhadapan dengan cinta dan libido.
Di depan cermin Agung Kosala menatap sekujur tubuhnya lama-lama
sembari menggeleng-gelengkan kepala. Matanya basah oleh kesedihan yang
menimpa, sesuatu yang pasti terjadi setiap ia mencoba bersungguh-sungguh
dengan perempuan-perempuan yang pernah ia kenal dekat. Pada akhirnya ia
terpaksa dengan dada sesak melepas wanita-wanita itu, melarang mereka
meneruskan hubungan dan menjalin ikatan. “Beginilah nasib laki-laki
loyo!” teriaknya menghantamkan jidat ke cermin. Tangannya meremas
kelamin yang tak pernah tegak sepanjang hidup. Sumpah serapah
berhamburan dari mulutnya, mengutuki diri sendiri hidup dengan
kejantanan yang rapuh, tanpa gairah, tanpa petualangan berahi.
Dari kamar berjarak enam ruang, Biang Buni terjaga oleh derak pecahan
kaca itu jatuh ke lantai. Biang tersenyum, karena ia menduga pasti
terjadi pergumulan kecil oleh penolakan Meriki ketika didekap Agung
Kosala. “Perempuan memang kadang perlu sedikit paksaan untuk merasakan
kehangatan dan kenikmatan,” kata hati Biang.
Tapi, ketika pagi ia menerima laporan Ayu Meriki melarikan diri,
alangkah berang Biang. “Sudahlah, biarkan saja, tak usah dicari! Ia
minggat sebagai bangsawan, itu yang penting!” teriaknya sengit.
Sejak pelarian Ayu Meriki, Biang Buni kian kerap melontarkan sumpah
serapah. Para pelayan dan abdi puri berkali-kali disemprotnya dengan
caci maki. Kata-kata kotor berhamburan saban hari melayang-layang di
semua sudut-sudut puri. Orang-orang desa sangat yakin, sumpah serapah
itu akan bertengger di pucuk-pucuk pohon sawo yang menjulang, mendekam
lama, berbiak menjadi kutukan. Pada saatnya kutukan-kutukan itu akan
beranak pinak menimpa warga puri dan keturunannya. Orang-orang sadar dan
yakin, alangkah berbahaya melontarkan sumpah serapah. (*)
Denpasar, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar