Cerpen Laire Siwi Mentari
Terbit di Jawa Pos, 3 Februari 2013
Bahan Referensi Cerpen - TIDAK seperti musim panas biasanya. Tahun ini hampir setiap
malam, Rochester selalu diguyur hujan lebar disertai kabut tebal. Aku
selalu suka hujan. Lebih tepatnya bau tanah sehabis hujan. Seperti
membangkitkan imajinasiku dari tidur lelapnya. Wangi tanah basah
menyeruak hingga pangkal hidung. Tak jarang menyelinap ke relung otak
hingga bisa menyegarkan pikiran yang penat karena kegiatan rutin.
Kunikmati hujan sembari duduk bersender di jendela loteng rumah
mungilku, menyeruput secangkir cokelat panas kental dengan gula rendah
kalori. Nikmat sekali. Aku terus memperhatikan rintik hujan yang
menghantam tanah dan tanaman di pekarangan. Bunga-bunga asbloom ungu
yang baru kutanam akhir minggu lalu sedikit rusak karena tak kuat
menahan beban air yang tertampung di atas kelopak. Tak apa, aku bisa
beli lagi di pasar bunga Sabtu pagi.
Aku cinta kota ini. Kota tua dengan populasi kurang lebih seratus
lima puluh ribu orang dan mayoritas penduduknya orang tua. Yang berumur
seperempat abad atau lebih muda, sepertiku, kurang dari setengahnya.
Kebanyakan dari kamu yang tinggal di distrik yang sama saling kenal.
Setiap musim panas tiba, para orang tua selalu berkumpul dan memblokir
Jembatan Pont De Rennes untuk melangsungkan festival bunga lila dan
kembang api, menyulap jembatan itu menjadi arena bazar jajan dan
kerajinan tangan. Pagi sebelumnya mereka berkeliling kota mengendarai
mobil-mobil tua terbuka dikawal pasukan polisi berkuda. Dengan ramah
mereka menyambut warga seusiaku dan turis-turis yang datang. Kurasa kota
ini memang surga bagi para orang tua yang ingin menghabiskan sisa usia
dengan hal-hal indah.
***
Dengan mantel masih melekat di badan, aku berusaha membuka mata
lebar-lebar. Merasakan sinar matahari yang menyeruak lewat celah jendela
kamar. Semalam aku tertidur pulas setelah puas menghirup wangi tanah
basah sehabis hujan. Perlahan aku menuju jendela, membuka kedua daunnya.
Udara segar dan sinar matahari yang tidak terlalu terik membantu
menyadarkanku. Embun menetes-netes dari ujung dedaun pohon oak tua di
pekarangan membuat hijau rumput tampak lebih segar.
Hari ini aku punya tugas ekstra. Menyiapkan penyambutan untuk Kevin,
seorang yang pernah sangat dekat denganku. Sangat dekat karena kami dulu
berbagi hidup. Ia akan datang dari New York City. Walau berada di
negara bagian yang sama, bagiku New York City cukup jauh dari Rochester.
Perlu waktu sekitar enam jam untuk menempuhnya lewat jalur darat.
Karena itu Kevin memilih naik pesawat yang hanya satu jam. Ini memang
waktu yang tepat untuk berkunjung ke Rochester. Seluruh sudut kota
sedang dipenuhi bunga warna-warni.
Kevin seorang fotografer mode. Dulu kami sama-sama kuliah di Parsons
Institute of New York. Setelah lulus ia jadi fotografer profesional
untuk majalah gaya hidup, sedangkan aku memilih mengajar sinematografi
di Universitas Rochester. Memang sudah sejak lama Kevin ingin ke
Rochester untuk mengunjungi rumah George Eastman, sang penemu kodak,
tokoh pujaan keduanya setelah Nietzsche.
Menurut cerita Kevin, Eastman adalah seorang gay kaya raya
yang tidak bisa menikah dengan sesama jenisnya karena waktu itu belum
ada hukum yang mengizinkan. Pasa masa tuanya mengidap tuberculosis. Karena tidak ingin menyulitkan keluarga, suatu malam dia minum racun serangga sebelum tidur.
Bagiku perbuatan itu sangat bodoh. Tapi bagi Kevin, keputusan Eastman
sangat mulia. Tidak ingin keluarganya repot karena penyakit yang tak
lagi tertanggungkan, ia rela menghabisi nyawanya sendiri. Ah, klise!
Biar bagaimanapun ia telah mendahului kehendak Tuhan. Siapa pun tahu,
bunuh diri adalah perbuatan tidak terpuji. Terserahlah pendapatnya
sendiri. “Bunuh diri berarti mengambil keputusan besar,” dalihnya.
Kurasa dia gila.
***
Lift berhenti di lantai sepuluh 66 Fifth Evenue Residence Hall,
asrama mahasiswa Parsons Institute. Ketika pintu lift terbuka, tampaklah
bentangan sebuah lorong yang tak terlalu terang. Menurut urutan nomor,
kamarku mestinya di lajur sebelah kanan lift. Aku melangkah mengikuti
nomor-nomor yang tertera di setiap pintu kamar. Rapi deret kamar itu
berakhir pada nomor 1008. Setelah kulongok ujung lorong teranyata ada
belokan ke kanan. Di belokan lorong itu ada dua kamar, salah satunya
yang sejak tadi kucari.
Kamarku nomor 1010, tepat di pojok, menghadap tangga darurat. Kuduga
itu kamar sisa. Tapi, apa mau dikata, semua kamar telah terisi oleh
mahasiswa yang lebih dulu tiba. Tak ada lagi pilihan bagiku selain
berlapang dada memasuki kamar afkir itu. Dan, astaga, ternyata kamar itu
menyuguhkan panorama cahaya kota. Fantastis! Hari mulai gelap saat itu,
semua gedung tinggi telah menyalakan lampu. Kupikir, itulah kelebihan
kamar di pojok, punya dua jendela besar pada dua sisi tembok.
Hingar bingar suara klakson dan sirine mobil NYPD makin membuatku
bersemangat. Bisa kucium bau khas kota New York ala film Hollywood yang
sering kutonton. Kurebahkan badanku di kasur ukuran sedang yang tertutup
seprei putih dan selimut tebal warna coklat. Kamarku tidak terlalu
besar tetapi sangat nyaman. Ternyata benar kata pepatah, jangan menilai
buku dari sampulnya. Aku menemukan “surga” kecil di sebuah lorong suram.
Belum tuntas menelisik seluruh sudut kamar, bel pintu berbunyi.
“Hai, apakah ini punyamu?” seorang pria berbadan tinggi dan berwajah
pucat dengan cambang baru dicukur menyodorkan buku agendaku.
“Ya, ini punyaku.”
“Aku menemukannya di depan pintu kamar.”
“Ah, terima kasih banyak. Buku ini sangat penting bagiku.”
“Kukira begitu. Ngomong-ngomong, aku tinggal di kamar sebelah.”
“Oh ya, aku Intan Kinaran. Kau boleh memanggilkan Intan. Pendatang baru.” Aku mengulurkan tangan dan ia menjabatku.
“Aku tahu. Aku Kevin Westwick.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Tahu apa?”
“Namaku.”
“Aku tak tahu namamu, sebelum kau ucapkan tadi.”
“Tapi tadi kau bilang kau tahu namaku.”
“Maksudku aku tahu kau pendatang baru.”
Kesan pertama yang tidak begitu baik, kupikir. Ia pergi dan belok ke
lorong utama setelah sesi perkenalan usai. Aku segera menutup pintu
kamar.
Bel berbunyi.
“Hai, kalau kau ingin mengenal tempat di sekitar sini, aku bisa menemanimu.”
Ternyata dia lagi. Dan kupikir aku memang perlu tahu lingkungan sekitar.
Sejak saat itu kami benar-benar dekat. Sangat dekat. Selain kamar
kami bersebelahan, kami juga sangat sering menghabiskan waktu berdua. Ia
selalu membuatkan aku coklat hangat setiap pagi, juga menemaniku
belanja kebutuhan sehari-hari. Kami berbagi peluk, peluh, lenguh.
Menakrifkan gairah pada malam-malam basah. Mencurahkan hasrat hingga
tubuh kami melekat. Kala datang penat tengah malam, kami menenggak
beberapa botol bir di atap asrama yang kami sebut sebagai “ritual
pemujaan kudus”. Begitu baiknya hingga kupikir ia seperti cermin bagiku.
Ia adalah aku dalam bentuk lain. Terlebih setelah momen mengharukan
itu.
Tiga tahun kami bersama, selama itu pula aku merasa aman. Aku percaya
dan jatuh cinta padanya. Hingga pada suatu malam ia mengajakku ke rumah
sakit karena merasa ada yang tidak beres dengan organ tubuhnya. Sudah
berbulan-bulan, memang, ia mengeluh pinggangnya selalu sakit, tubuhnya
melemah, mual dan sesak napas. Tapi malam itu ia benar-benar resah, “Aku
kencing darah.”
Hasil diagnosa dokter menyimpulkan Kevin mengidap gagal ginjal
kronis. Penyakit itu akibat kebengalannya di masa lalu sebagai pecandu
heroin. Meski ia sudah lama bertobat, racun yang dulu masih mengendap di
dalam tubuhnya, menyebabkan infeksi, merusak total fungsi ginjal. Kevin
harus menjalani transplantasi, terapi penggantian ginjal yang
melibatkan pencangkokan ginjal dari orang hidup atau mati.
Kevin sangat terpukul mendengar keterangan dokter. Wajahnya tampak
tambah pucat, tubuhnya lunglai. Aku tahu, ia tak berdaya. Bukan hanya
karena penyakit yang ia derita, tapi juga karena ia tak mungkin sanggup
membeli ginjal yang harganya sangat mahal. Kubayangkan, betapa sulitnya
jika ia harus meminjam uang ke sana-kemari. Dan, seandainya uang itu
berhasil ia dapatkan, dari mana ia harus mengembalikan semua uang
pinjaman itu? Malam itu kami meninggalkan rumah sakit tanpa tahu apa
yang harus kami lakukan.
Tiga malam berikutnya kudengar sesuatu jatuh berdebam di luar
kamarku. Aku bergegas membuka pintu, dan kulihat Kevin terkapar di bibir
tangga darurat. Rupanya ia terjatuh sebelum berhasil menggapai dan
mengetuk pintu kamarku. Ia pingsan. Dengan taksi aku melarikannya ke
rumah sakit. Kevin tak kunjung siuman, maka akulah yang haus mengambil
keputusan.
Kurelakan sebelah ginjalku untuknya, karena Kevin tak lagi punya
keluarga dan saudara. Kondisi tubuhku memenuhi semua persyaratan sebagai
pendonor transplantasi. Umurku pas, sehat fisik maupun psikis.
Ginjalku sudah diangkat, dimasukkan ke tubuh Kevin diletakkan pada
rongga perut bagian bawah. Pembuluh dari ginjalku disambung ke kantung
kemihnya. Aku bersyukur karena operasi transplantasi itu berjalan
lancar. Jiwa Kevin selamat dan aku tetap sehat. Alangkah bahagia diriku,
bukan hanya karena berhasil menyelamatkan nyawa seorang kekasih, tapi
juga karena aku benar-benar menjadi satu dengan tubuhnya. Tak mungkin
lagi dipisahkan. Sejak saat itu aku semakin yakin hubungan kami akan
kekal.
***
Musim semi menjelang kelulusan ia mengajakku bertemu di teras air
mancur Bethesda Central Park setelah aku selesai ujian praktik di
kampus. Hujan deras tak mengurungkan niatnya untuk bertemu denganku.
Beberapa hari sebelumnya ia sempat menghilang, tak pernah pulang. Tak
pernah pula ia mengaktifkan telepon genggam. Seolah ia tak peduli aku
begitu gamang.
Tepat pukul enam sore ia datang dengan jaket hitam yang kuyup.
Sembari menggigil dan meneteskan air mata yang jadi tak jelas karena
tercampur air hujan, ia mengucapkan kalimat yang tak pernah kulupa.
“Menjauhlah dariku, menghilang dari hidupku. Selama ini aku telah
berusaha membuat hidupmu penting bagiku. Tapi tidak, aku bisa tak
bergantung padamu. Aku tak lagi butuh kamu.”
Sakit dan kesendirian membuatnya benci Tuhan dan hilang kewarasan.
Saat itulah ia makin kerasukan arwat Nietzsche. Sungguh aku tak
mengerti. Begitu cepat ia tersesat di dalam belantara aforisma konyol
filsuf gila itu. Untung ia tak mengikuti jejak Eastman dengan menghabisi
nyawanya sendiri. Tapi kenyataan bahwa ia sembuh karena aku, membuatnya
murka. Ia tak sudi bergantung pada orang lain. Kevin merasa bahwa aku
mulai menguasai dirinya, mengendalikan hidupnya. Ia lupa pada semua
pengorbananku. Ia menjadi congkak.
Sambil menahan dingin, di teras Bethesda, Kevin tersedu karena harus
membohongi dirinya sendiri. Ia mengakui sangat mencintaiku, tapi menolak
bahwa ia membutuhkanku meski sesungguhnya ia susah hidup tanpaku. Malam
itu Kevin membuangku karena egoisme tololnya. Alanglah sakit
dicampakkan oleh seseorang yang jiwanya kuselamatkan.
Musim semi, hujan lebat, Central Park, sirine NYPD, dan air mata.
Membuatku sesak. Aku tak tega melihatnya menggigil. Aku mencoba
memeluknya, tapi ia menepisku dan berlari menembus deras hujan. Rupanya
cinta tak lebih hebat dibanding egonya. Memilukan. Di dalam hati, sambil
mencium bau tanah sehabis hujan, aku mengucapkan selamat tinggal.
Sejak itu, kami hanya berteman. Hubungan kami baik, namun tak lagi
sinkratik. Aku tak lagi punya cermin dan seperti kehilangan diriku
sendiri. Aku mulai bertingkah seperti Kevin: membaca semua buku yang ia
suka, meniru cara berpakaian, cara tertawa, cara menangisnya. Tapi semua
itu sia-sia. Ia tak juga luluh dengan usahaku. Tetap egois. Baginya aku
tetap tak berarti apa-apa. Tak ada lagi ritual perjamuan kudus tengah
malam,coklat hangat dan pelukan kala aku memejam.
***
Di tepi Sungai Timur, Rochester, laki-laki itu kini duduk di
sampingku. Tubuhnya harum dan tegap, wajahnya segar, tidak seperti
pertama kali aku mengenalnya. Setiap hari obat imunosupresan terus
menekan sistem imunitasnya, mencegah terjadinya reaksi penolakan tubuh
terhadap ginjal yang telah dicangkok. Kualitas hidup Kevin semakin
membaik, seolah tak pernah terjadi sesuatu yang fatal padanya.
Pinggiran sungai dengan air yang sangat jernih, susunan batu bata
merah tertata membentuk berbagai pola pada pinggirannya, dan pemandangan
lampu-lampu kota yang luar buasa indah. Kami menikmati pemandangan itu.
Siang hingga sore tadi aku telah mengantarnya ke rumah George Eastman.
Ia puas. Sengaja aku tak berkomentar dan bertanya sedikit pun tentang
penemu kodak itu. Aku trauman, aku takut diberondong dengan segala
bualan filosofinya lagi. Bahkan tadi ketika ia masuk ke rumah Eastman,
aku menunggu di dalam mobil. Kini giliranku mengajaknya menonton
festival kembang api di tepi Sungai Timur. Untunglah hujan telah reda
sejak sore tadi. Kami duduk di bangku kecil pinggir sungai sambil
menyeruput secangkir coklat hangat dan memperhatikan orang-orang
memanggang sosis dan daging asap.
Seangkir coklat hangat berhasil mengantarkan kami ke percakapan
singkat mengenai masa kebersamaan kami dulu. Kami mengenang cukup banyak
hal, dari ritual perjamuan kudus hingga insiden teras Bethesda.
Festival kembang api dimulai. Semua orang berdiri, bersorak-sorai
memandangi langit penuh kebyar. Aku sadar, Kevin tak ikut memandangi
kembang api yang meletup-letup indah di angkasa. Ia memandangiku.
Ia menghirup bau tanah sehabis hujan, dan di antara rius sprak
orang-orang di sekitar, ia berbisik: “Aku masih mencintaimu. Tapi kurasa
kau selalu tahu, sampai kapan pun aku tak mau bergantung padamu. Terima
kasih atas secuil nyawa yang kau tanam dalam tubuhku. Semoga aku dapat
menghidupinya. (*)