Cermin

Cerpen Laire Siwi Mentari

Terbit di Jawa Pos, 3 Februari 2013



Bahan Referensi Cerpen - TIDAK seperti musim panas biasanya. Tahun ini hampir setiap malam, Rochester selalu diguyur hujan lebar disertai kabut tebal. Aku selalu suka hujan. Lebih tepatnya bau tanah sehabis hujan. Seperti membangkitkan imajinasiku dari tidur lelapnya. Wangi tanah basah menyeruak hingga pangkal hidung. Tak jarang menyelinap ke relung otak hingga bisa menyegarkan pikiran yang penat karena kegiatan rutin.

Kunikmati hujan sembari duduk bersender di jendela loteng rumah mungilku, menyeruput secangkir cokelat panas kental dengan gula rendah kalori. Nikmat sekali. Aku terus memperhatikan rintik hujan yang menghantam tanah dan tanaman di pekarangan. Bunga-bunga asbloom ungu yang baru kutanam akhir minggu lalu sedikit rusak karena tak kuat menahan beban air yang tertampung di atas kelopak. Tak apa, aku bisa beli lagi di pasar bunga Sabtu pagi.

Aku cinta kota ini. Kota tua dengan populasi kurang lebih seratus lima puluh ribu orang dan mayoritas penduduknya orang tua. Yang berumur seperempat abad atau lebih muda, sepertiku, kurang dari setengahnya. Kebanyakan dari kamu yang tinggal di distrik yang sama saling kenal. Setiap musim panas tiba, para orang tua selalu berkumpul dan memblokir Jembatan Pont De Rennes untuk melangsungkan festival bunga lila dan kembang api, menyulap jembatan itu menjadi arena bazar jajan dan kerajinan tangan. Pagi sebelumnya mereka berkeliling kota mengendarai mobil-mobil tua terbuka dikawal pasukan polisi berkuda. Dengan ramah mereka menyambut warga seusiaku dan turis-turis yang datang. Kurasa kota ini memang surga bagi para orang tua yang ingin menghabiskan sisa usia dengan hal-hal indah.

***

Dengan mantel masih melekat di badan, aku berusaha membuka mata lebar-lebar. Merasakan sinar matahari yang menyeruak lewat celah jendela kamar. Semalam aku tertidur pulas setelah puas menghirup wangi tanah basah sehabis hujan. Perlahan aku menuju jendela, membuka kedua daunnya. Udara segar dan sinar matahari yang tidak terlalu terik membantu menyadarkanku. Embun menetes-netes dari ujung dedaun pohon oak tua di pekarangan membuat hijau rumput tampak lebih segar.

Hari ini aku punya tugas ekstra. Menyiapkan penyambutan untuk Kevin, seorang yang pernah sangat dekat denganku. Sangat dekat karena kami dulu berbagi hidup. Ia akan datang dari New York City. Walau berada di negara bagian yang sama, bagiku New York City cukup jauh dari Rochester. Perlu waktu sekitar enam jam untuk menempuhnya lewat jalur darat. Karena itu Kevin memilih naik pesawat yang hanya satu jam. Ini memang waktu yang tepat untuk berkunjung ke Rochester. Seluruh sudut kota sedang dipenuhi bunga warna-warni.

Kevin seorang fotografer mode. Dulu kami sama-sama kuliah di Parsons Institute of New York. Setelah lulus ia jadi fotografer profesional untuk majalah gaya hidup, sedangkan aku memilih mengajar sinematografi di Universitas Rochester. Memang sudah sejak lama Kevin ingin ke Rochester untuk mengunjungi rumah George Eastman, sang penemu kodak, tokoh pujaan keduanya setelah Nietzsche.

Menurut cerita Kevin, Eastman adalah seorang gay kaya raya yang tidak bisa menikah dengan sesama jenisnya karena waktu itu belum ada hukum yang mengizinkan. Pasa masa tuanya mengidap tuberculosis. Karena tidak ingin menyulitkan keluarga, suatu malam dia minum racun serangga sebelum tidur.

Bagiku perbuatan itu sangat bodoh. Tapi bagi Kevin, keputusan Eastman sangat mulia. Tidak ingin keluarganya repot karena penyakit yang tak lagi tertanggungkan, ia rela menghabisi nyawanya sendiri. Ah, klise! Biar bagaimanapun ia telah mendahului kehendak Tuhan. Siapa pun tahu, bunuh diri adalah perbuatan tidak terpuji. Terserahlah pendapatnya sendiri. “Bunuh diri berarti mengambil keputusan besar,” dalihnya.

Kurasa dia gila.

***

Lift berhenti di lantai sepuluh 66 Fifth Evenue Residence Hall, asrama mahasiswa Parsons Institute. Ketika pintu lift terbuka, tampaklah bentangan sebuah lorong yang tak terlalu terang. Menurut urutan nomor, kamarku mestinya di lajur sebelah kanan lift. Aku melangkah mengikuti nomor-nomor yang tertera di setiap pintu kamar. Rapi deret kamar itu berakhir pada nomor 1008. Setelah kulongok ujung lorong teranyata ada belokan ke kanan. Di belokan lorong itu ada dua kamar, salah satunya yang sejak tadi kucari.

Kamarku nomor 1010, tepat di pojok, menghadap tangga darurat. Kuduga itu kamar sisa. Tapi, apa mau dikata, semua kamar telah terisi oleh mahasiswa yang lebih dulu tiba. Tak ada lagi pilihan bagiku selain berlapang dada memasuki kamar afkir itu. Dan, astaga, ternyata kamar itu menyuguhkan panorama cahaya kota. Fantastis! Hari mulai gelap saat itu, semua gedung tinggi telah menyalakan lampu. Kupikir, itulah kelebihan kamar di pojok, punya dua jendela besar pada dua sisi tembok.

Hingar bingar suara klakson dan sirine mobil NYPD makin membuatku bersemangat. Bisa kucium bau khas kota New York ala film Hollywood yang sering kutonton. Kurebahkan badanku di kasur ukuran sedang yang tertutup seprei putih dan selimut tebal warna coklat. Kamarku tidak terlalu besar tetapi sangat nyaman. Ternyata benar kata pepatah, jangan menilai buku dari sampulnya. Aku menemukan “surga” kecil di sebuah lorong suram.

Belum tuntas menelisik seluruh sudut kamar, bel pintu berbunyi.

“Hai, apakah ini punyamu?” seorang pria berbadan tinggi dan berwajah pucat dengan cambang baru dicukur menyodorkan buku agendaku.

“Ya, ini punyaku.”
“Aku menemukannya di depan pintu kamar.”
“Ah, terima kasih banyak. Buku ini sangat penting bagiku.”
“Kukira begitu. Ngomong-ngomong, aku tinggal di kamar sebelah.”

“Oh ya, aku Intan Kinaran. Kau boleh memanggilkan Intan. Pendatang baru.” Aku mengulurkan tangan dan ia menjabatku.

“Aku tahu. Aku Kevin Westwick.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Tahu apa?”
“Namaku.”
“Aku tak tahu namamu, sebelum kau ucapkan tadi.”
“Tapi tadi kau bilang kau tahu namaku.”
“Maksudku aku tahu kau pendatang baru.”

Kesan pertama yang tidak begitu baik, kupikir. Ia pergi dan belok ke lorong utama setelah sesi perkenalan usai. Aku segera menutup pintu kamar.
Bel berbunyi.

“Hai, kalau kau ingin mengenal tempat di sekitar sini, aku bisa menemanimu.”

Ternyata dia lagi. Dan kupikir aku memang perlu tahu lingkungan sekitar.

Sejak saat itu kami benar-benar dekat. Sangat dekat. Selain kamar kami bersebelahan, kami juga sangat sering menghabiskan waktu berdua. Ia selalu membuatkan aku coklat hangat setiap pagi, juga menemaniku belanja kebutuhan sehari-hari. Kami berbagi peluk, peluh, lenguh. Menakrifkan gairah pada malam-malam basah. Mencurahkan hasrat hingga tubuh kami melekat. Kala datang penat tengah malam, kami menenggak beberapa botol bir di atap asrama yang kami sebut sebagai “ritual pemujaan kudus”. Begitu baiknya hingga kupikir ia seperti cermin bagiku. Ia adalah aku dalam bentuk lain. Terlebih setelah momen mengharukan itu.

Tiga tahun kami bersama, selama itu pula aku merasa aman. Aku percaya dan jatuh cinta padanya. Hingga pada suatu malam ia mengajakku ke rumah sakit karena merasa ada yang tidak beres dengan organ tubuhnya. Sudah berbulan-bulan, memang, ia mengeluh pinggangnya selalu sakit, tubuhnya melemah, mual dan sesak napas. Tapi malam itu ia benar-benar resah, “Aku kencing darah.”

Hasil diagnosa dokter menyimpulkan Kevin mengidap gagal ginjal kronis. Penyakit itu akibat kebengalannya di masa lalu sebagai pecandu heroin. Meski ia sudah lama bertobat, racun yang dulu masih mengendap di dalam tubuhnya, menyebabkan infeksi, merusak total fungsi ginjal. Kevin harus menjalani transplantasi, terapi penggantian ginjal yang melibatkan pencangkokan ginjal dari orang hidup atau mati.

Kevin sangat terpukul mendengar keterangan dokter. Wajahnya tampak tambah pucat, tubuhnya lunglai. Aku tahu, ia tak berdaya. Bukan hanya karena penyakit yang ia derita, tapi juga karena ia tak mungkin sanggup membeli ginjal yang harganya sangat mahal. Kubayangkan, betapa sulitnya jika ia harus meminjam uang ke sana-kemari. Dan, seandainya uang itu berhasil ia dapatkan, dari mana ia harus mengembalikan semua uang pinjaman itu? Malam itu kami meninggalkan rumah sakit tanpa tahu apa yang harus kami lakukan.

Tiga malam berikutnya kudengar sesuatu jatuh berdebam di luar kamarku. Aku bergegas membuka pintu, dan kulihat Kevin terkapar di bibir tangga darurat. Rupanya ia terjatuh sebelum berhasil menggapai dan mengetuk pintu kamarku. Ia pingsan. Dengan taksi aku melarikannya ke rumah sakit. Kevin tak kunjung siuman, maka akulah yang haus mengambil keputusan.

Kurelakan sebelah ginjalku untuknya, karena Kevin tak lagi punya keluarga dan saudara. Kondisi tubuhku memenuhi semua persyaratan sebagai pendonor transplantasi. Umurku pas, sehat fisik maupun psikis.

Ginjalku sudah diangkat, dimasukkan ke tubuh Kevin diletakkan pada rongga perut bagian bawah. Pembuluh dari ginjalku disambung ke kantung kemihnya. Aku bersyukur karena operasi transplantasi itu berjalan lancar. Jiwa Kevin selamat dan aku tetap sehat. Alangkah bahagia diriku, bukan hanya karena berhasil menyelamatkan nyawa seorang kekasih, tapi juga karena aku benar-benar menjadi satu dengan tubuhnya. Tak mungkin lagi dipisahkan. Sejak saat itu aku semakin yakin hubungan kami akan kekal.

***

Musim semi menjelang kelulusan ia mengajakku bertemu di teras air mancur Bethesda Central Park setelah aku selesai ujian praktik di kampus. Hujan deras tak mengurungkan niatnya untuk bertemu denganku. Beberapa hari sebelumnya ia sempat menghilang, tak pernah pulang. Tak pernah pula ia mengaktifkan telepon genggam. Seolah ia tak peduli aku begitu gamang.

Tepat pukul enam sore ia datang dengan jaket hitam yang kuyup. Sembari menggigil dan meneteskan air mata yang jadi tak jelas karena tercampur air hujan, ia mengucapkan kalimat yang tak pernah kulupa.

“Menjauhlah dariku, menghilang dari hidupku. Selama ini aku telah berusaha membuat hidupmu penting bagiku. Tapi tidak, aku bisa tak bergantung padamu. Aku tak lagi butuh kamu.”

Sakit dan kesendirian membuatnya benci Tuhan dan hilang kewarasan. Saat itulah ia makin kerasukan arwat Nietzsche. Sungguh aku tak mengerti. Begitu cepat ia tersesat di dalam belantara aforisma konyol filsuf gila itu. Untung ia tak mengikuti jejak Eastman dengan menghabisi nyawanya sendiri. Tapi kenyataan bahwa ia sembuh karena aku, membuatnya murka. Ia tak sudi bergantung pada orang lain. Kevin merasa bahwa aku mulai menguasai dirinya, mengendalikan hidupnya. Ia lupa pada semua pengorbananku. Ia menjadi congkak.

Sambil menahan dingin, di teras Bethesda, Kevin tersedu karena harus membohongi dirinya sendiri. Ia mengakui sangat mencintaiku, tapi menolak bahwa ia membutuhkanku meski sesungguhnya ia susah hidup tanpaku. Malam itu Kevin membuangku karena egoisme tololnya. Alanglah sakit dicampakkan oleh seseorang yang jiwanya kuselamatkan.

Musim semi, hujan lebat, Central Park, sirine NYPD, dan air mata. Membuatku sesak. Aku tak tega melihatnya menggigil. Aku mencoba memeluknya, tapi ia menepisku dan berlari menembus deras hujan. Rupanya cinta tak lebih hebat dibanding egonya. Memilukan. Di dalam hati, sambil mencium bau tanah sehabis hujan, aku mengucapkan selamat tinggal.

Sejak itu, kami hanya berteman. Hubungan kami baik, namun tak lagi sinkratik. Aku tak lagi punya cermin dan seperti kehilangan diriku sendiri. Aku mulai bertingkah seperti Kevin: membaca semua buku yang ia suka, meniru cara berpakaian, cara tertawa, cara menangisnya. Tapi semua itu sia-sia. Ia tak juga luluh dengan usahaku. Tetap egois. Baginya aku tetap tak berarti apa-apa. Tak ada lagi ritual perjamuan kudus tengah malam,coklat hangat dan pelukan kala aku memejam.

***

Di tepi Sungai Timur, Rochester, laki-laki itu kini duduk di sampingku. Tubuhnya harum dan tegap, wajahnya segar, tidak seperti pertama kali aku mengenalnya. Setiap hari obat imunosupresan terus menekan sistem imunitasnya, mencegah terjadinya reaksi penolakan tubuh terhadap ginjal yang telah dicangkok. Kualitas hidup Kevin semakin membaik, seolah tak pernah terjadi sesuatu yang fatal padanya.

Pinggiran sungai dengan air yang sangat jernih, susunan batu bata merah tertata membentuk berbagai pola pada pinggirannya, dan pemandangan lampu-lampu kota yang luar buasa indah. Kami menikmati pemandangan itu. Siang hingga sore tadi aku telah mengantarnya ke rumah George Eastman. Ia puas. Sengaja aku tak berkomentar dan bertanya sedikit pun tentang penemu kodak itu. Aku trauman, aku takut diberondong dengan segala bualan filosofinya lagi. Bahkan tadi ketika ia masuk ke rumah Eastman, aku menunggu di dalam mobil. Kini giliranku mengajaknya menonton festival kembang api di tepi Sungai Timur. Untunglah hujan telah reda sejak sore tadi. Kami duduk di bangku kecil pinggir sungai sambil menyeruput secangkir coklat hangat dan memperhatikan orang-orang memanggang sosis dan daging asap.

Seangkir coklat hangat berhasil mengantarkan kami ke percakapan singkat mengenai masa kebersamaan kami dulu. Kami mengenang cukup banyak hal, dari ritual perjamuan kudus hingga insiden teras Bethesda.

Festival kembang api dimulai. Semua orang berdiri, bersorak-sorai memandangi langit penuh kebyar. Aku sadar, Kevin tak ikut memandangi kembang api yang meletup-letup indah di angkasa. Ia memandangiku.

Ia menghirup bau tanah sehabis hujan, dan di antara rius sprak orang-orang di sekitar, ia berbisik: “Aku masih mencintaimu. Tapi kurasa kau selalu tahu, sampai kapan pun aku tak mau bergantung padamu. Terima kasih atas secuil nyawa yang kau tanam dalam tubuhku. Semoga aku dapat menghidupinya. (*)

Makam Seekor Kuda

Cerpen Sunlie Thomas Alexander

Terbit di Jawa Pos, 10 Febuari 2013




Bahan Referensi Cerpen - “INI makam seekor kuda,” kuingat jawaban ibuku ketika aku pertama kali menanyakan perihal makam yang terletak di tengah-tengah kota kecamatan kecil kami itu—tepatnya di samping kantor lurah yang bermuka-muka dengan rumah dinas camat. Itu kurang lebih dua puluh lima tahun silam dan aku masih duduk di sekolah dasar.

“Kuda? Kuda siapa?” tanyaku bingung. Namun Ibu hanya mengulum senyum saat itu.

Makam tua itu berbentuk empat persegi panjang, berundak-undak dengan undakan bagian teratas miring ke bawah. Di permukaannya, terukir sederet tulisan dalam bahasa Belanda yang bukan saja tak banyak lagi orang di kota kecil kami paham, tetapi juga sudah nyaris tak terbaca. Toh, masih tampak sebuah nama: HELENA. Jadi aku pikir kuda itu memang seekor betina seperti dikatakan orang-orang tua. Samar-samar tereja sederet tanggal:  Geb 21-9-1927 – Overl 3-7-1933.

“Ya, ini memang kuburan kuda,” tukas Brenda dalam bahasa Inggris usai mengamati tulisan di atas makam itu beberapa lama. Lalu tanpa kuminta ia mengartikan kalimat yang tertera di bawah nama: “Telah beristirahat dalam damai, kuda kesayangan kami….”

Asap dupa-dupa merah yang tertancap di bagian kaki makam, mengepul pekat, menebarkan aroma gaharu yang santer. Sehingga Brenda terpaksa menutup hidungnya dengan sapu tangan lantaran tak tahan pada wangi dupa yang tajam menyengat itu. Sudah tiga kali ia bersin sejak kami tiba setengah jam yang lalu.

Tiga buah apel, kue apem, dan sejumput rumput dalam tiga piring kecil—juga satu sloki arak—tersaji di depan batang-batang dupa menyala. Brenda mengabadikan semuanya dengan tustel yang ia bawa. Ketakjuban terpancar jelas dari kedua mata birunya yang berbinar-binar.

Seorang perempuan Tionghoa berumur separoh baya kemudian datang tergesa-gesa. Dari keranjang bawaannya yang penuh sayur-mayur, tampaknya dia baru pulang dari pasar. Dikeluarkannya sebungkus dupa dari keranjang, mengangguk saat melihat kami, lalu mencabut tiga batang dupa dari bungkusan. Disulutnya batang dupa dengan korek api, lantas berdiri di depan makam dan mengangkat dupa dengan sikap takzim. Tiga kali dia menjura sebelum akhirnya menancapkan dupa ke kaki makam.

Aku jadi teringat lagi pada Ibu. Ingat bagaimana dulu beliau terkadang mengajakku mengunjungi makam ini membawa dupa, sesekali buah-buahan. Meski kini, setelah mengidap rematik yang membuat jalannya tertatih-tatih, tak pernah lagi beliau datang bersembahyang. Maklum, umurnya sudah 65 tahun. Bahkan, beliau tak pernah lagi pergi ke pasar tiga tahun belakangan. Untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk belanja dan masak-memasak, Bibi Cin, adiknya nomor empatlah yang menangani.

“Ibumu marah,” kata bibiku yang tidak menikah itu tak lama setelah aku dan Brenda tiba di rumah. Kami sedang minum kopi di teras belakang ketika ia muncul sambil menenteng kantong kresek yang ternyata isinya kue jajanan pasar. Dituangkannya kue-kue itu ke atas piring dan menaruhnya di atas meja di hadapan kami.
“Marah kenapa, Ji Cai?” [1]

Bibi tidak menjawab, tapi ekor matanya melirik Brenda dengan segan. Aku menghela nafas, membiarkannya masuk kembali ke dapur tanpa merasa perlu menuntut jawaban. Rasanya aku sangat mengerti. Dan ternyata apa yang aku duga benar: Ibu tak suka aku berhubungan dengan Brenda, apalagi membawanya pulang.

“Aku masih lebih senang kau menikah dengan orang Melayu, daripada aku harus punya mantu gadis Holland yang suka telanjang itu!” kata Ibu ketus malam harinya ketika Brenda sedang beristirahat di kamar atas.

“Brenda bukan Belanda, dia orang Belgia,” aku coba menjelaskan meskipun tahu sia-sia belaka. Di mata Ibu—orang lama yang nyaris buta huruf—semua orang Barat sama saja. Mau orang Amerika, Perancis, Australia, bahkan Hispanik bakal tetap disebutnya Holland. Ai, aku jadi terkenang pada orang Jawa yang suka menyebut semua orang bule sebagai Londo. Tentu aku tak perlu menjelaskan padanya letak negara Belgia yang bertetangga dengan Belanda, atau negeri itu dulunya bagian dari Belanda sebelum memisahkan diri. Keadaan bisa tambah runyam.

“Kalau kakekmu masih hidup, dia pasti ngamuk!” tukas Ibu yang tak mau memandang wajahku. Bahkan sebelum beranjak ke kamar, beliau sempat memperingatiku: “Pokoknya aku tak mau dia berada dekat-dekat di altar kakekmu.”

Aku terhenyak di sofa. Lelah. Bayangan wajah mendiang Kakek berkelebat di mataku, juga cerita-cerita yang sering dituturkannya semasa hidup. Kakek meninggal saat aku duduk di bangku kelas tiga SMA. Dalam usia yang relatif tua: 92 tahun. Namun aku tidaklah sependapat dengan Ibu. Kurasa jika beliau masih hidup, Kakek akan menghargai pilihanku.

Almarhum Kakek—seperti halnya mendiang ayahku, putra keduanya yang tamatan Chung Hwa Hok Tong [2]—cukup berpendidikan. Walau tak pernah memiliki ijazah, Kakek fasih menulis hanji dan latin. Kurasa beliau juga bisa sedikit bahasa Belanda. Terbukti dari berkardus-kardus buku peninggalannya yang berbahasa China, beberapa di antaranya berbahasa Belanda.

***

KUDA betina yang dikuburkan di samping kantor kelurahan itu konon kuda kesayangan seorang Wedana Belanda. Van Sevenhoven namanya. Mendiang Kakek pernah mengambarkan sosoknya sebagai lelaki bertubuh jangkung sebagaimana umumnya orang Barat, tapi tidak kurus. Kedua matanya tajam dan berkilat-kilat licik, hidungnya yang mancung bengkok seperti paruh burung betet, keningnya lebar menonjol dan dagunya lancip, dengan rambut pirang berminyak yang tersisir rapi ke atas.

“Wedana itu membenci orang Tionghoa,” kuingat kata-kata mendiang Kakek. Sehingga ada saja peraturan yang sengaja dibuatnya untuk mempersulit orang Tionghoa. Toko-toko kerap tak cukup punya surat izin usaha tapi harus ada tambahan surat berstempel dari dirinya. Dan jangan harap bisa mengadakan keramaian bila dia tak memberi restu. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan adat-tradisi Tionghoa pada hari-hari besar dibatasi, termasuk kegiatan kelenteng dalam skala agak besar.

“Ini karena Pemerintah kita waktu itu terlalu lemah untuk melindungi rakyatnya. Jangankan kita yang jauh berada di seberang lautan ini, rakyat di Thai Luk [3] saja tak mampu mereka lindungi. Kelaparan meluas, perang saudara tak kunjung berhenti, bandit berkeliaran di mana-mana. Manchuria sudah diduduki Jepang, Shanghai seenaknya dikangkangi orang Barat. Bayangkan di sana, di negeri kita sendiri, setan-setan putih itu berani menulis papan pengumuman berbunyi ‘orang China dan anjing dilarang masuk’ di daerah yang mereka kuasai! Dan Pemerintah Republik China tak berbuat apa-apa!” ujar Kakek mengertakkan geraham.

“Kadang peraturan wedana sinting itu tak masuk akal, misalnya saat Ko Ngian [4] kita tak boleh bermain petasan malam hari,” menyambung Sam Suk Kong, adik laki-laki Kakek nomor tiga yang waktu itu sering bertandang ke rumah kami untuk makan malam, “Padahal nenek-moyang kita sudah melakukannya sebelum orang Belanda bisa bikin meriam!”

“Dia hanya bersikap agak baik pada penjual daging babi!” lanjut Kakek tergelak, “Tiga kali sehari dia pasti mengajak istrinya ke pasar babi. Dia paling suka babi panggang bikinan A Tet! Hahahaha….”

Begitulah pertama kali aku mendengar cerita tentang Van Sevenhoven—entah benarkah demikian namanya. Karena hingga saat ini aku belum berhasil mendapatkan satu pun catatan mengenai sosok wedana yang berkuasa kira-kira tahun 1925-1930-an itu. Maklum, kota kami hanyalah sebuah kewedanaan kecil kendati cukup kesohor sebagai kota penambangan timah. Dan Indonesia, kau tahu, selalu saja tak punya arsip yang utuh. Selain itu Kakek juga kehilangan banyak surat pentingnya tatkala terjadi kebakaran di tahun 1982. Jadi, jika aku ke Eropa bersama Brenda nanti, aku berjanji akan menelusuri jejaknya ke Belanda, mungkin ke perpustakaan Institut Kerajaan, Bahasa, Geografi dan Etnologi di Leiden.

Sam Suk Kong ikut tertawa, tapi kemudian terdiam. Sambil menyulut lagi sebatang kretek, adik kakekku yang pernah berdagang kain keliling Sumatera itu lantas berkisah bagaimana ia pernah ditangkap oleh opsir dan dimasukkan ke tahanan tangsi Belanda karena menggelar Judi Kodok-kodok pada malam Sam Sip Pu [5]. A Tet, penjual daging babi langganan sang wedana-lah yang menebusnya. Tak pernah jelas alasan Sam Suk Kung ditangkap, padahal di masa itu sudah jadi kelaziman jika pada hari-hari besar selain pasar malam, akan digelar aneka permainan judi.

“Ulangtahun Ratu Belanda saja boleh berjudi!” tukas Sam Suk Kong gusar mengingat pengalaman masa mudanya itu. Tapi wajahnya kemudian berangsur cerah dan ia terbahak-bahak saat Kakek menyinggung bagaimana istri sang wedana gemar mengoleskan minyak babi ke kulit lengannya yang kasar.

“Buah dada perempuan itu juga besar tapi kendor kayak payudara induk babi! Hahaha….” Kedua kakak-beradik itu tertawa sampai mata mereka yang sipit tinggal segaris. Ibu—yang menyimak semua pembicaraan dari kamarnya yang berbatasan langsung dengan ruang keluarga merasa obrolan kedua orang tua itu sudah menjurus ke hal-hal yang tak boleh didengar anak kecil—tiba-tiba keluar dan memintaku pergi tidur. Apalagi Kakek sudah mulai mengeluarkan arak-arak simpanannya. Biasanya mereka akan ngobrol sambil minum sampai dini hari.

***

BAGAIMANA makam kuda milik seorang wedana Belanda yang dibenci bisa disembahyangi orang-orang Tionghoa di kota kecamatan ini tentu ada ceritanya. Namun itu akan aku kisahkan nanti. Sebelumnya aku ingin menceritakan dulu bagaimana aku bertemu lagi dengan mendiang kakekku empat malam yang lalu.

Hantu Kakek mendatangiku pada malam ketiga aku berada di rumah ketika aku baru saja hendak terlelap. Mula-mula aku mencium aroma arak yang tajam di sekeliling tempat tidurku. Tapi karena badanku terlalu penat dan mataku sudah demikian berat, aku tak menghiraukan aroma yang kian santer itu. Sampai kemudian aku merasa seseorang mengguncang-guncang sebelah bahuku dengan keras. Aku terlonjak bangun dan menemukan ruh Kakek sudah duduk di kursi samping tempat tidurku.

Aku memang tak terlalu kaget lagi dengan kehadiran Kakek. Lantaran sebelumnya sudah pernah dua kali beliau mengunjungiku. Bahkan terakhir kali, sekitar dua tahun lalu, dia mengunjungiku di sebuah kamar hotel di Makassar saat aku sedang ada urusan kerja di kota itu. Waktu itu beliau datang untuk mengabari kalau ayahku sudah meninggal, sebelum setengah jam kemudian aku menerima telepon dari rumah. Kata orang, “Mereka yang telah mati tak bisa menyeberangi lautan,” tampaknya tak berlaku bagi arwah Kakek. Seperti kunjungannya yang lalu-lalu, beliau masih mengenakan stelan pakaian China model Pemimpin Mao berwarna abu-abu yang dikenakannya saat dikuburkan.

“A Kong [6]?” sambil menguap lebar aku buru-buru duduk di tepi ranjang, “Maaf Kong, aku belum sempat berziarah ke kuburan A Kong. Rencananya besok aku akan ke sana.”

Kulihat arwah orang tua itu tersenyum. “Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ada yang ingin kutanyakan. Ibumu memberitahuku waktu dia sembahyang,” katanya sambil menatapku lekat-lekat. Aku menghela nafas, sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan selanjutnya.

“Hubunganmu dengan gadis Barat itu serius?” tanyanya dengan pandangan seperti menyelidiki. Aku mengangguk, “Tapi dia bukan Holland, Brenda orang….”

“Aku tahu. Aku tak mau mencampuri urusanmu sebenarnya. Zaman sudah berubah. Lagipula dulu juga tidak semua orang Belanda seperti si Van Sevenhoven. Orang Melayu juga banyak yang baik. Malah banyak orang China lebih jahat dari tentara Nippon!” kata Kakek. Aku tersenyum lega.

“Tapi kalau kau mau dengar nasihat aku yang sudah mati ini, sempatkanlah bawa dia ke makam kuda itu sebelum kalian pulang. Ajak dia sembahyang. Kalau dia mau, berarti dia memang jodohmu yang tepat,” lanjut beliau sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun.

“Ajak dia sembahyang ke makam kuda?” tanganku urung mengambil rokok yang kusimpan dibawa bantal. Kulihat arwah Kakek mengangguk.

“Aku tak bisa lama di sini. Kalau kau berziarah ke makamku nanti, bawakan aku kretek,” itu kata-katanya yang terakhir sebelum pergi.

“Kong!” aku hendak menahannya lebih lama karena banyak hal yang ingin aku tanyakan, namun ia sudah keburu menghilang. Lenyap seperti asap. Hanya aroma araknya yang tajam tersisa di kamarku.

***

YA, bagaimana mungkin makam kuda milik seorang wedana Belanda yang dibenci bisa disembahyangi orang-orang Tionghoa di kota kecamatan ini? Dahi Brenda tampak berkerut-kerut bingung. Ah, aku tak bisa langsung menjawab pertanyaannya. Untuk beberapa lama aku terdiam, mencoba mengumpulkan potongan-potongan cerita dari mendiang Kakek dan Sam Suk Kong yang terpencar-pencar dan menyatukannya lagi.

15 bulan 8 kalender lunar tahun masehi 1932, begitulah aku kemudian menceritakan ulang kisah yang kudengar semasa kanak itu pada Brenda. Kau tahu, kataku, itu hari Pat Ngiat Pan, puncak perayaan bulan dewa-dewi. Konon pada malam hari, purnama akan tampak lebih terang dibandingkan purnama-purnama di bulan manapun. Dan jika hatimu bersih, dengan mata telanjang sekalipun kau bisa melihat dewi bulan Song Ngo melayang-layang di sana….

Menurut Kakek, siang menjelang sore hari itu, ratusan orang Tionghoa yang telah berkumpul di sejumlah kelenteng berbaris keluar dari halaman kelenteng sambil menggotong patung-patung para dewa dalam tandu-tandu kecil. Selain Thai Pak Kung, juga patung Dewi Kwan Im dan Dewa Kwan Kong. Patung-patung suci itu seperti biasa akan diarak berkeliling kota: sebuah tradisi tahunan yang mereka bawa dari tanah leluhur.

Tiba-tiba salah satu rombongan (di mana Kakek ada di dalamnya) dikejutkan oleh suara letusan. Bukan mercon tapi pistol! Sang wedana Van Sevenhoven muncul di tikungan jalan menunggang kuda putihnya bersama dua serdadu berseragam tentara kerajaan Belanda.

“Kalian belum mendapatkan izin dariku!” teriaknya lantang menghadang barisan sambil mengangkat tongkat di tangan kanannya. Senapan dua serdadu terkokang ke arah rombongan. Ciu Suk Kong, pengurus kelenteng yang jadi ketua rombongan tergopoh-gopoh menghampiri sang wedana.

“Maaf, Tuan. Tuan Wedana masih di Palembang waktu kami datang meminta izin keramaian. Tapi kami sudah mendapatkan izin dari asisten Tuan,” ucap Ciu Suk Kong dengan wajah pucat.

“Aku sudah dua hari di sini, tapi kalian tak datang lagi kepadaku! Tanpa tanda tanganku, kalian tak bisa bikin keramaian. Bubar! Bilang ke semua rombongan, bubar sekarang!”

“Ta-tapi, itu tidak mungkin…. Arakan sedang di tengah jalan, dewa kami bisa murka,” tukas Ciu Suk Kong tak berani menentang mata biru Van Sevenhoven. Semua orang dapat menyaksikan bagaimana wajah wedana yang putih itu memerah. Dia menggebrak kudanya ke depan dan mendorong dada Ciu Suk Kong dengan ujung tongkatnya, “Apanya yang tak mungkin? Aku mau lihat bisa tidak dewa kalian marah padaku? Minggir kau!”

Dia mengangkat tongkatnya dan bermaksud hendak menyabet patung Dewa Kwan Ti  yang sedang diusung di depan barisan. Semua orang menahan nafas, sebagian berseru tegang. Tak ada yang mampu mencegah. Semua orang sudah bersiap melihat patung porselin sang dewa perang yang dibawa dari Tiongkok itu terguling dari tandu dan pecah berhamburan di jalan. Namun mendadak kuda putih tunggangan Van Sevenhoven meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Tubuh sang wedana oleng dan tongkatnya hanya menyabet udara kosong. Sesaat berikutnya tubuh jangkung itu jatuh terbanting di badan jalan. Dua serdadu yang mendampinginya kaget. Salah satunya tak sengaja menekan pelatuk. Senapannya meletus. Pelor melesat ke depan menembus kepala kuda. Ah!

“Apa yang terjadi kemudian? Wedana itu pasti mengamuk. Dia terluka?” tanyaku tak sabaran pada Kakek. Namun beliau menggeleng. Melihat kuda kesayangannya mati, lanjut Kakek, tanpa pedulikan tulang bahunya yang retak sang wedana langsung menghambur ke arah kuda pemberian Gubernur Jenderal di Batavia itu. Dia menangis meraung-raung seperti anak kecil sambil memeluk bangkai kudanya….

“Serdadu yang menembak kudanya tak dihukum?” kejar Brenda. Nah, soal ini aku tidak tahu. Kakek tak pernah cerita, mungkin beliau juga tidak tahu.

Kata Kakek, Van Sevenhoven membangun makam untuk kuda kesayangannya yang dikuburkan di seberang kewedanaan (tak jauh dari gedung Societet) itu tiga bulan berselang sebelum masa tugasnya sebagai wedana usai. 1933, tentu saja kala itu kantor lurah belum berdiri.

“Kalau masa tugasnya lebih panjang, barangkali akan dibuatnya patung untuk kuda betina itu,” ujar Kakek sambil menyeringai lebar. Tapi Van Sevenhoven kembali ke negeri Belanda dengan badan sakit-sakitan. Pejabat wedana yang kemudian menggantikannya—maaf, aku tak ingat lagi namanya—menurut mendiang Sam Suk Kung, bersikap sedikit lebih baik pada orang Tionghoa. Orangnya gemuk pendek dan suka makan bakmi!

“Lalu sejak kapan kalian orang-orang China mulai bersembahyang di makam ini?” bisik Brenda sambil memperhatikan seorang lelaki tua membakar dupa di depan makam.

“Sejak Ciu Suk Kong mendapat mimpi,” kataku. Mimpi? Kedua mata biru Brenda melebar. Ya, mimpi. Aku mengangguk.

“Suatu malam sekembali Van Sevenhoven ke Belanda, Ciu Suk Kong bermimpi hantu kuda betina itu mendatanginya. Kuda itu tak datang sendirian, tetapi ditunggangi seorang lelaki tinggi besar berseragam perwira China tempo dulu. Ciu Suk Kong kaget bukan kepalang saat mengenali penunggang kuda itu tak lain adalah Dewa Kwan Kong! Dia terbangun dengan baju basah kuyup.”

Keesokan paginya bergegas dia menyambangi makam kuda itu sambil membawa dupa, buah-buahan, dan sejumput rumput kering. “Kuda itu titisan kuda Kwan Ti!” katanya dengan yakin kepada orang-orang, “Aku melihat sendiri Kwan Kong menungganginya dalam mimpiku. Sosoknya begitu jelas, membawa pedang bercula. Tidak diragukan lagi.”

Tak semua orang percaya, tapi sebagian besar yakin kalau penjaga kelenteng itu tidak berdusta. Toh, Chiu Suk Kong selalu dikenal sebagai orang yang jujur. Satu-dua orang kemudian mulai ikut bersembahyang pada hari-hari berikutnya. Bertambah lagi pada hari yang lain, terus bertambah kendati tak semuanya percaya kalau kuda itu merupakan titisan kuda dewa. Hanya saja mereka percaya kuda itu telah mengorbankan nyawanya untuk menolong orang-orang Tionghoa.

“Kalian orang China memang aneh,” tukas Brenda mengulum senyum. Aku ikut tersenyum dan mengeluarkan sebungkus dupa dari dalam tas. Tentu saja tak kuceritakan padanya tentang hantu Kakek yang mendatangiku dan memintaku mengajaknya ke makam ini untuk bersembahyang. Bisa-bisa ia menganggapku gila. (*)

                                                                           Krapyak Wetan, Jogjakarta,
Januari 2013


Catatan Kaki:
[1] Ji Cai: Bibi kecil, adik ibu (dialek China-Hakka).
[2] Chung Hwa Hok Tong atau Tiong Hoa Hak Tong: adalah sekolah Tionghoa yang berada di bawah payung organisasi pendidikan Tiong Hoa Hwe Koan (Asosiasi Tionghoa), sebuah perkumpulan untuk memajukan pembaruan Konfusian dari kebudayaan Tionghoa lokal dengan memajukan pendidikan berbahasa Tionghoa modern. Karakter sekolah ini menggunakan bahasa Mandarin dalam pengajarannya, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, tetapi tidak memberikan pelajaran bahasa Belanda. Model mereka adalah sekolah modern di Tiongkok dan Jepang, dengan pengaruh Barat yang kuat dalam mata pelajarannya. Sekolah Tiong Hoa Hak Tong yang pertama dibuka di Batavia (1901), Pangkalpinang-Bangka (1907), Belinyu-Bangka (1908), Sungailiat-Bangka (1910) dan Toboali-Bangka (1912).
[3] Thai Luk: berarti daratan besar, sebutan untuk negeri China.
[4] Ko Ngian: Tahun Baru Imlek (ejaan China-Hakka).
[5] Sam Sip Pu: Malam Tiga Puluh, malam Tahun Baru Imlek (ejaan China-Hakka).
[6] A Kong: Kakek (dialek China-Hakka).

Dendang Membara Pirin Bana

Cerpen Raudal Tanjung Banua

Koran Tempo, 24 Februari 2013




Bahan Referensi Cerpen - JIKA terdengar rabab digesek, tergitik dawai-dawainya, dijentik berdenting-denting, lalu menimpal orang di gelanggang, “Oi, rabab, tolong sampaikan,” maka suara tukang kaba membubunglah; menyampaikan kisah yang dipinta pendengarnya. Kaba Cindur Mato dan Puti Bungsu, Nan Gombang dan Andam Dewi, Rambun Pamenan, Bujang Jibun, Gadih Basanai, tinggal pilih. Siap dimainkan semalam suntuk, sejak embun pertama turun di pinutu hingga ayam jantan berkukuk subuh-subuh.

Si tukang kaba yang bersila di kasur kapuk tak ubahnya sopir bis membawa penumpang segelanggang menyusuri jalanan kisah yang berliku, melewati kampung-kampung tersuruk di mana untung-nasib tidak menenggang.

“Ahai, Tungganai, tertawalah sedikit!” menghimbau seorang hadirin.

“Tak bisa tertawa awak, Dunsanak, iba hati selilit pinggang,” jawab si Tukang Gendang, yang jika kaba sudah didendangkan, ia akan beralih fungsi sebagai pendamping tukang kaba—menghidupkan suasana.

“Bawalah tegak!”

“Tak bisa tegak, Dunsanak, burung di sangkar sudah patah….”

“Patah hati atau selera?”

“Susah kubedakan….”

“Patah hati bawa berlari, bawa gadis berbaju merah; patah selera tambah kopi, api di tungku masih nyala. Oi, orang di dapur, sudah terdedak kopi di sini, pagi belum tiba!”

“Yoolah!” meningkah suara dari dapur.

Begitulah suasana pertunjukan kesenian tradisional di daerahku, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, yang dikenal sebagai rabab pasisie. Di antara gesek biola, selalu ada teriakan merespon kaba, antara tungganai dan orang ramai. Tak hanya menghidupkan suasana dalam gelak tawa, pun saling tembak sesama penonton. Juga ajang meminta tambahan makan atau sekadar kopi pada siempunya helat. Suasana kian gayeng jika kaba dibawakan oleh perabab kenamaan.

Para peneliti rabab pasisie nicaya tahu nama perabab tersohor dari daerahku beserta cerita favoritnya. Kaba Zamzami dan Marlaini yang dibawakan Syamsuddin, misalnya, pernah diteliti seorang pengajar dari Universitas Andalas yang sekarang pindah mengabdi di Leiden University. Juga kaba Malin Kundang oleh perabab yang sama, ditranskrip ke dalam buku Seri Tradisi Lisan Nusantara. Sebuah kaset sudah pula dihadirkan oleh peneliti lain dalam apa yang disebut “Musik Malam”.

Tapi diteliti atau tidak, dipromosikan atau bukan, berani kukatakan bahwa perabab paling terkenal di daerahku bernama Pirin. Bukan Pirin sembarang Pirin, tapi berkait-pilin dengan apa yang orang tunggu: jaminan mutu! Anehnya, sosok Pirin tidak satu. Nama itu semacam gelar, lekat dengan nama tukang kaba yang memang layak mendapatkannya. Meski sebanyak nama di kepala, hanya tiga yang benar-benar kekal.

Pertama, tentu si empunya, muasal nama, disebut orang Pirin Gadang, artinya Pirin Besar. Bukan saja badannya yang memang tambun, juga karena ia senior: jam terbangnya tinggi. Dalam kaset rekamannya yang beredar sejak tahun 80-an, ia dikenal dengan nama Pirin Asmara. Suaranya serak-serak basah, tapi sanggup meninggi ketika dawai digesek pilu, dan cepat jadi jenaka ketika dawai dijentik tiga kali sehingga seorang gadis yang belum selesai menghapus air mata seketika akan beralih menahan tawa. Pandai memainkan perasaan, seolah mengaduknya dalam bejana, itu keunggulan Pirin Gadang atau Asmara.

Dan kenapa pula pakai Asmara? Tak ada yang tahu persis. Sebagian menyebut itu trik studio rekaman yang lumrah membuat tiap nama jadi komersil. Ada yang percaya lantaran banyak perempuan tak bisa lelap sehabis mendengar dendang Pirin. Keduanya mungkin benar. Konon, istri Pirin memang lebih dari satu, jika itu ada kaitan. Apa pun, atas semua keunggulanlah namanya layak belaka disandangkan pada perabab lain yang dianggap punya bobot setimpal. Tapi semua yang berlaku di dunia ini kehendak Allah: Pirin Gadang atawa Pirin Asmara yang berbobot itu telah dipanggil-Nya empat tahun lalu, dan aku mendengar beritanya dengan sedih mendalam, di rantau jauh.

Perabab berikutnya Pirin Ketek, artinya, Pirin kecil. Badannya kurus, masih muda, dan setahuku belum pernah “melempar” kaset. Sungguh pun begitu, sesekali ia muncul dalam vcd dengan video klip seadanya. Badannya boleh kecil, tapi dendangnya tajam merasuk. Sayang, ia menghilang ke seberang, Malaysia. “Ia melakoni kaba-nya sendiri yang paling diminati: Tertawan di Bilik Siti,” kata Angku Panjang Janggut, seorang tua, sahabat bagi semua yang muda di kampungku.

Di antara dua nama itu (atau lebih banyak lagi nama yang tak meyakinkan menyandang nama Pirin), ada satu lagi perabab yang tak bisa dianggap tanggung. Nama sebenarnya Madin, namun karena dianggap berbakat, maka orang menamainya Pirin pula, tinggal mengubah gelarnya. Seperti Pirin Ketek itu, nama sebenarnya Zulkifli bin Narus. Seharusnya, dengan kemampuannya Madin bisa menjadi Pirin Tengah—tidak besar tidak kecil—tapi ia malah populer sebagai Pirin Bana. Artinya bisa Pirin yang sebenarnya, juga bisa berarti Pirin Benar—orang yang lurus.

Teringat itu semua, inginlah aku mengundang seorang perabab untuk tampil di rumahku. Bertahun-tahun di rantau, lalu pulang sesekali (kali ini menghelat khitan anakku) apa salahnya aku menanggap rabab? Meski beberapa panitia helat tak setuju, dan mereka ramai-ramai mengusulkan orgen tunggal yang memang sedang laku. Aku bergeming. Namun ketika nama Pirin Bana kusebut, mereka, antara menang dan murung menjelaskan bahwa perabab paling kurindu itu sudah lama tak bakaba!

“Kenapa bisa begitu?” tanyaku ragu.

Uwan tanya saja Rikal, dia paling tahu soal itu,” jawab Badar, ponakanku.

BESOKNYA aku bertemu Rikal Sikumbang, sahabat selapik-seketiduranku dulu. Dalam perjumpaan yang hangat, kusampaikan maksudku untuk mengundang Pirin Bana. Bukan kebetulan, karena aku dan Rikal adalah pengagum berat Pirin Bana. Bahkan kami pernah berkeinginan merekam Grup Rabab Tigo Selo—formasi Pirin Bana jika membawakan raun sabalik—kemudian mengemasnya dalam vcd sederhana. Raun sabalik adalah lagu berbalas pantun antara perabab, tukang gendang dan seorang atau lebih penyanyi (biasanya perempuan), sebelum kaba didendangkan

Ini pasti menarik, pikir kami dulu. Sebagai seorang tukang foto keliling—lalu berkembang jadi jasa perekam videoRikal memang senang mendokumentasikan pertunjukan rakyat di daerahku. Tapi niat untuk mengemas Grup Tigo Selo tak pernah kesampaian. Sampai aku memutuskan merantau ke Jawa.
Kini kuutarakan niatku pada Rikal. Lama ia terdiam. Barulah ketika kusentuh bahunya, ia berkata setengah gumam, “Sudah tak ada Pirin Bana.”

Inilah soalnya. “Ya, kudengar ia lama tak bakaba. Kukira hanya alasan anak-anak supaya aku memilih orgen tunggal.”

Rikal lalu bercerita bahwa Pirin Bana tak muncul lagi di gelanggang setelah ditegur oleh “orang pemerintah”. Itu terjadi justru ketika Pirin diutus untuk mewakili daerahku dalam Festival Seni Tradisi di Taman Budaya, Padang, dua tahun lalu. Dalam siaran panitia jelas-jelas disebutkan supaya Madin alias Pirin Bana membawakan cerita rakyat daerah kami. “Kaba daerah kita,” kata orang kabupaten ringkas. Rikal bisa menirukannya karena ia disewa untuk mendokumentasikan kegiatan tahunan itu.

Hal yang sama diminta kepada pemain randai, di mana mereka akan memainkan Curito Rambun Pamenan. Hanya pemain asyik lukah atau lukah gilo yang tak dapat pesanan serupa, karena toh mereka akan bermain sebagaimana lazimnya: lukah atau bubu ikan didandani, diberi pakaian, dibacai jampi-jampi, lalu si lukah bergoyang, kian lama kian liar seperti kerasukan. Tak seorang pun kuat menahannya, kecuali sang pawang yang mengendalikan permainan dengan lecutan lidi tujuh helai. Pemain randai sebenarnya juga tak perlu dipesankan, karena Grup Sampan Pokong terbiasa bekerja sama dengan orang kabupaten. Jadi permintaan itu lebih tertuju pada Pirin Bana.

“Masih kusimpan rekaman Madin malam itu, mari kita putar,” kata Rikal.

KETIKA menonton “Insiden Taman Budaya” (demikian Rikal melabeli rekamannya), aku merasa betapa luar biasanya kaba Pirin Bana. Muka orang kabupaten kami, termasuk petinggi propinsi, dibuat merah. Betapa tidak. Ia ceritakan Jalan Kambang-Muarolabuh atau Kambura yang terbengkalai di daerahku. Jalan itu menghubungkan pantai barat Sumatera dengan Solok Selatan di balik Bukit Barisan. Karena memintas Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), pembangunannya tertunda terus, meskipun masyarakat punya alasan kuat menuntut penyelesaiannya. Salah satunya kekhawatiran akan tsunami. Tapi tak mempan mengusik pihak yang merasa berhak. Siapa mereka? Dalam beberapa pantunnya, Pirin menyinggung soal itu (sebagaimana kutranskrip):

Oi, entah udang entahnya lintah
Sembunyi di balik batu
Entah undang-undang entah pemerintah, oi
Sembunyi-sembunyi di jalan Kambang-Muarolabuh
Oi, tinggi bukitnya Marapalam
Sebelit tumbuh batang palem
Tinggi bakti kami pada alam, oi
Sakit dituduh main tebang orang LSM
Oi, lunyah lumpur buatlah bata
Dibeli ‘nak orang Balai Selasa
Sejak campur tangan Bank Dunia, oi
Katanya TNKS dunia punya, nasib kami entah di mana

Pirin pun bercerita tentang sebuah keluarga di Batangkapas yang terpaksa makan tanah karena tak sanggup membeli beras. Juga soal harga gambir yang dimainkan toke India, sementara pemerintah sibuk mengurusi kebun sawit milik pengusaha.

Tak tahan dikuliti, pejabat kabupaten memerintahkan stafnya menghentikan Pirin Bana. Dibantu menejer panggung, staf itu bekerja cekatan. Mereka mengerjai tata suara; mikrofon di depan Pirin sengaja dimatikan, lalu pembawa acara mencoba mengubah fokus. Bersamaan dengan itu, dua orang lain mengangkat Pirin seolah bagian dari pertunjukan. Secepatnya pula pemain asyik lukah didorong ke panggung, seperti sedang memvisualkan salah satu adegan dari kaba “Kambura Bank Dunia dan Batangkapas Makan Tanah” yang dibawakan Pirin. Aha, cara yang licin! Orang-orang bertepuk tangan, sebab menganggap itu rabab gaya baru—memadukan kesenian dan permainan rakyat.

Pulangnya, kata Rikal (ini tak ada dalam rekaman), Madin jadi sasaran sumpah-seranah orang kabupaten. Tapi ia dengan rasa tak bersalah menjawab, “Awak diminta membawakan cerita rakyat, ya itulah cerita rakyat daerah kita.”

“Kenapa bukan Gombang atau Jibun? Apa angkau merasa pantas jadi anggota dewan sehingga membawa-bawa nasib rakyat? Angkau hanya tukang dendang, camkan!” koordinator rombongan meradang. Rikal yang berada satu mobil dengan mereka geleng-geleng kepala. Bukankah memang itu nafas cerita Madin dari gelanggang ke gelanggang?

Benar, jika boleh kubandingkan, Pirin Bana punya keunggulan tersendiri dibanding Pirin Gadang atau Pirin Ketek. Walaupun sama-sama diminati, tapi keramaian gelanggang memang terasa lain jika Pirin Bana terkabar akan meramaikan suatu helat. Bukan hanya semata soal gelanggang yang ramai, melainkan nafas gelanggang yang terasa dekat dari jangkauan. Setelah kupikir sekarang, satu hal yang membuat Pirin Bana disukai adalah cerita-ceritanya sangat berbeda dengan kaba yang dibawakan perabab lain.

Lazimnya perabab membawakan kaba atau cerita rakyat klasik. Cerita paling digemari adalah percintaan Puti Andam Dewi dan Nan Gombang Patuanan yang tempat kejadiannya disebut “negeri lengang sunyi”—entah bagaimana identik dengan daerahku. Ada pula cerita gubahan baru yang populer, seperti Larek di Rantau, Merantau ke Jambi dan Cinto di Ranah Lansek Manih. Tapi hanya berhenti sebagai kaba, sebagai cerita.

Pirin Bana lain. Ia benar-benar membawa kisah kekinian: pukat di pantai tak mengena, harga gambir terjun bebas, jalan raya rusak binasa, sawah-sawah kering tiada irigasi. Orang-orang merasa cocok karena mengisahkan hidup mereka sehari-hari. Tak jarang Pirin Bana menyebut nama orang kampung, kemudian diseret ke dalam cerita dan pantun-pantunnya yang ranum. Penonton seperti melihat, katakanlah, Kudun atau si Banun—tetangga mereka—memerankan lakon hidup yang nyata.

Sayang, sejak peristiwa di Padang itu, kata Rikal, Madin berkali-kali didatangi orang kabupaten, boleh jadi bersamaan dengan tekanan orang provinsi. Tak lama setelahnya, Madin menghilang dari gelanggang.

BAGAIMANA pun, aku bertekad mencari Pirin Bana. Berkendara sepeda motor aku dan Rikal mengarah ke Air Sirah, rumah orang tuanya. Lalu ke Taratak Paneh rumah istrinya. Tapi di kedua tempat itu ia tak ada. Informasi yang kami dapatkan simpang-siur, kuduga memang sengaja disamarkan. Pasti mereka malas berurusan dengan orang kabupaten.

Butuh waktu dua hari dua malam bagi kami untuk akhirnya menemukan Pirin Bana telah menjadi tukang pukat ikan di pantai Sumedang, bagian agak selatan dari daerahku. Ternyata itu adalah kampung istrinya yang kedua. Wajah Pirin tampak menua, kulitnya hitam kelat, tapi sorot matanya tak berubah. Ketika kusebut soal rabab, sejenak ia menghindar dengan bercerita soal ikan, perahu dan nelayan. Namun kusambar ceritanya itu dan kukaitkan dengan dendang-dendang malamnya selama ini, “Tidakkah sebaiknya Abang sampaikan itu semua lewat biola? Seperti yang sudah-sudah….”

“Ah, tak usahlah, ‘rang mudo, nanti ada yang tersinggung….” ia merendah.

“Tidak, Bang, sebanyak tersinggung sebanyak yang suka,” Rikal ikut meyakinkan.

Singkat cerita, setelah membujuk dengan segala cara, akhirnya Pirin Bana mau tampil di rumahku sekitar seminggu lagi.

Malam Jumat petang Kemis, mulailah acara itu. Di luar dugaan, penonton berjubel, apakah karena Pirin Bana masih sakti atau tak ada pilihan lain setelah orgen tunggal tak jadi tampil, aku tak tahu. Penonton membludak ke jalan, persis massa orgen tunggal. Sadarlah aku bahwa cerita Pirin Banalah yang membuat gelanggang jadi ramai.

Seperti biasa, penonton duduk di atas sadel motornya sambil memarkir motor itu hampir ke tengah jalan. Akibatnya jalan jadi macet, mobil berjalan pelan, dan beberapa bis yang lewat sengaja digedor dindingnya oleh anak-anak muda yang teler meneguk Vigur. Sebuah mobil yang semula kukira pelan karena macet yang sama, ternyata berhenti. Kulirik platnya: merah. Empat laki-laki ke luar, salah seorang menanyakan tuan rumah atau si pangkal helat. Karena aku yang punya helat, maka kutemui mereka, kuajak jalan lewat samping, masuk ke rumah.

Sebelum bertanya maksud tujuan, aku tawari mereka makan gulai ikan ambu-ambu. Tapi mereka sudah lebih dulu lepas mengoceh, sehingga gagallah perut mereka ditendang makanan gratis hangat-hangat. Mereka meminta supaya pertunjukan dihentikan.

“Bubarkan saja acara ini! Ia selalu memburuk-burukkan pemerintah,” kata salah seorang di antara mereka.
“Tunggu dulu, Pak. Apa soalnya ini?” aku berusaha tenang.

“Ah, kau orang baru, tahunya hanya rantau. Mana tahu kau urusan kampung?!”

“Okelah, karena itu saya ingin tahu.”

Seseorang lain bertompel hitam di pipinya, bergeser, seperti hendak menempelkan mulutnya yang berkabut ke kupingku. “Apakah kau perlu tahu bahwa orang ini mengakibatkan Pak Sabur digeser dari kepala dinas? Apa kau perlu tahu Pak Dimar ini (ia menunjuk orang yang tadi mengoceh) sekarang jadi sopir di lingkungan Pemkab, dari yang semula kepala seksi? Itu gara-gara tukang kaba celaka ini!”

Uci Kurai Taji, preman kampungku yang tahu “peta” kabupaten, menyela, “Bukan itu. Sabur dimutasi karena mendukung bupati yang kalah. Dimar ikut Pak Sabur. Masih untung, kawanku malah dipindah ke Pagai.”

Tambah merahlah muka mereka.

“Apa pun, dia harus dihentikan. Kau lihat, anak-anak jadi tak menentu perangainya. Mereka minum Vigur dan menggedor bis. Dengar, kaba Madin sangat menghasut!” Kami memokuskan telinga pada dendang Pirin yang bergema lewat mikrofon di luar rumah.

Oi, ‘lah berjalan si Syamsi kini
Berjalan tertatih-tatih, ibarat enggang menjelang gunung
Melangkah berlambat hari, ibarat kacang menjelang junjung
Tibalah Syamsi di Painan, dulu lengang kini ‘lah ramai, oi
Kantor bupati dan DPR, tegak berhadapan saling memandang
Gedung sekolah dan rumah sakit, dibangun besar lengkap bertaman
Terbayang kini nagari Alang Sungkai, di Indrapura Basa Ampek Balai
Dulu ramai kini ‘lah lengang, serupa kuik elang di tengah siang
Di situ kampung Buyung Syamsi, di situ Si Upik Banun tambatan hati
Ia tinggalkan dalam sakit, sedang berpuntal bayang-bayang:
Sakit ke mana hendak datang, dokter tak hendak, uang tiada
Kampung dan rumah sakit bak jarak sorga-neraka
Jalannya rusak binasa, bak telapak tangan Buyung Syamsi
Kurus pucat dan pecah-pecah. Di situ berpikir Si Buyung Syamsi
“Kalau begini caranya, baiklah kami berdiri sendiri, pecah kongsi dengan Painan
Kami yang berjaga di perbatasan—Indrapura, Lunang dan Tapan—harap mekarkan!”
….

Kami yang sedang berperkara terdiam. Tapi Uci Kurai Taji yang tak puas atas tuduhan si tompel tadi, kembali mulai, “Soal minum Vigur dan bikin jalan macet, di orgen tunggal lebih parah….”

Si tompel menengadah, “Itu lain soal karena memang seleranya anak muda. Tapi biola? Warisan nenek moyang. Tak boleh sembarangan, apalagi untuk menghasut. Untung kami lewat karena ada urusan di Surantiah, kalau tidak….”

“Pasti bukan kebetulan. Udin Jaguik, anak desa sebelah yang honorer di Pemkab telah menyampaikannya kepada Anda,” Kurai Taji langsung main tembak.

Kali ini, orang yang bernama Dimar antara panik dan kesal berteriak, “Pokoknya bubarkan! Dulu di Padang kami tak bisa membubarkannya karena banyak wartawan, sekarang di kampung, Anda kira wartawan akan tahu?”

Aku tersenyum. Masam. Ia tak tahu aku seorang penulis, penulis cerita rakyat. Sama seperti Madin, yang membuat malam membara dengan dendangnya, dalam tatapan berpuluh pasang mata yang bertahan hingga larut. Mata yang tak pernah menuntut. Namun ketika mereka tahu ada tamu tak diundang hendak mengganggu arena, mata-mata itu mulai bergulir liar menunggu di depan pintu.

“Siapa mereka? Orang pemerintah?”

“Entah.”

“Mereka membentak Kudal, apa maunya?”

“Wah, beraninya di depan hidung kita!”

Kudengar Kuriak dan Sihem berbisik-bisik sambil mengintip di balik kaca nako. Bisik-bisik itu bagai api yang mendesis, menjalar ke telinga penonton yang lain. Aku harus segera bertindak. “Sekarang begini saja. Bapak-bapak mohon keluar dari sini, nanti soal Pirin kami yang atur.” Kuminta bantuan Kurai Taji untuk menggiring rombongan itu ke luar lewat pintu dapur. Sadar akan bahaya yang mengancam, keempatnya mengendap-endap ke mobil mereka yang parkir di tepi jalan. Selamat, selamat, aku mengelus dada.

Tapi, tunggu. Ketika mobil plat merah itu melenguh, penonton yang tadi bergerombol di depan pintu tersintak. Dengan tungkai-tungkai panjangnya yang kurus dan menderita, mereka bangkit dan berlari.

“Kepung!”
“Lempar!”
“Pakai botol Vigur!”
“Saatnya!”

Suara-suara itu bagai guruh di langit kampungku. Tak seorang pun bisa mencegah. Bahkan tidak Uci Kurai Taji. Dari balik kaca jendela, kulihat Madin terus menggesek biolanya tinggi-tinggi. Panjang dan nyaring. Seperti lengking suara dari arah jalan raya. Nyata dan asing. Panjang dan nyaring. Silih-berganti. (*)


/Rumahlebah Yogyakarta, 2012-2013
Raudal Tanjung Banua, mengelola Komunitas Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Indonesia di Yogyakarta. Buku cerpennya Parang tak Berulu (GPU, 2005).

Spekulasi tentang Perempuan yang Mati Bunuh Diri

Cerpen Bre Redana

Terbit di Media Indonesia, 24 Februari 2013




Bahan Referensi Cerpen - SEORANG perempuan mati di apartemen De Luca, dan dia meninggalkan surat—katanya, tepatnya warisan—untukku. Tiga lelaki mendatangi rumahku malam-malam. Dua berseragam polisi, satu berpakaian sipil, berjaket kulit hitam. Yang tidak berseragam pasti atasan dua yang berseragam. Ini kelihatan dari gerak-gerik sampai sepatunya yang mengilap—di akademi militer setahuku ada pelajaran khusus menyemir sepatu. Aku agak obsesif terhadap sepatu. Ia mengenalkan diri mewakili semuanya.

“Aparat,” katanya.

Aku mengamati dari atas sampai bawah.

“Bapak yang bernama Bambang Rojo?” Siapa memanggilku dengan nama lama hasil salah kaprah itu?

Begini: di akta kelahiran tertulis namaku Bambang Raga Amirasa. Sampai rapor SD—kalau tak salah sampai kelas lima—namaku masih Bambang Raga Amirasa.

Baru kami sadari belakangan, bahwa di ijazah kelulusan SD, nama itu berubah menjadi Bambang Rojo Amiroso. Kuingat, guru-guru sebelum kelas enam semuanya perempuan. Perempuan lebih teliti. Guru kelas enam namanya Marto Toyibun. Laki-laki, Jawa. Huruf hidup ‘a’ dia ganti ‘o’. Itu pun ada kesalahan pada kata Raga. Kalau sekadar ‘a’ diganti ‘o’ seperti kebiasaan orang Jawa seharusnya jadi Rogo. Ini malah jadi Rojo.

Mungkin waktu itu Marto Toyibun sedang pusing kepala karena kalah judi sabung ayam. Semua murid tahu, Pak Guru gemar sabung ayam.

Tak mungkin ayahku menamaiku Rojo, atau dengan huruf ‘a’, Raja sekalipun. Ayahku berhaluan proletar, tak suka raja-rajaan. Hanya saja, ketika aku lulus SD, ayahku sudah tidak ada. Ibu sibuk membanting tulang menghidupi tiga anak. Siapa yang peduli dengan ‘a’ jadi ‘o’? Karena di kampung aku juga dipanggil Rogo, bukan Raga.

Masuk SMP aku jadi Rojo. Bambang Rojo. Nama itu terbawa sampai periode tertentu, sebelum periode berikut, di mana aku ingin membetulkan kesalahkaprahan, dengan menyebut diri sesuai akta: Amirasa. Istriku memanggilku dengan sebutan khusus: Caca. Sejumlah teman dari periode masa kini ikut-ikutan memanggilku Caca.

Aku menunduk memegang kening.

“Tidak apa-apa,” kata si jaket hitam. “Bapak hanya kami minta datang ke kantor untuk membantu memperjelas siapa perempuan itu.”

Dia mengira aku cemas. Padahal aku sedang melokalisasi ruang dan waktu, siapa kira-kira perempuan ini. Bambang Rojo: siapa saja perempuan pada periode ini….

Kumulai dengan daftar seadanya.

Pertama, perempuan di Pantai Animex. Nama pantai itu sebetulnya bukan Animex. Disebut demikian, karena di situ berkembang resor terkenal bernama Animex yang menyediakan kegiatan waktu senggang modern: hotel, spa, pelangsingan tubuh, meditasi, dan lain-lain. Kawasan ini dinyatakan sebagai kawasan bebas anak-anak. Tak boleh ada anak kecil. Makanya waktu itu aku membawanya ke sana. Aku tidak suka anak-anak.

“Apa yang tidak kamu sukai pada anak-anak?” tanyanya kala itu yang masih kuingat. Kami di pinggir kolam renang. Dia mengenakan bikini, setelah sehari sebelumnya membereskan bulu-bulu di tempat yang tak diinginkan dengan proses waxing. Detailnya aku tidak tahu. Pokoknya dia wanita dengan tubuh sempurna.
“Polah mereka seperti setan. Kalau kita tegur, mereka akan berhenti berulah seperti setan, dan ganti melihat kita seperti menatap setan,” kataku.

Dia tertawa tergelak-gelak. Bibirnya sangat bagus ketika tertawa.

“Lihat, meski punya anak, perutku tetap bagus,” ucapnya.

Apakah dia yang mati di De Luca? Selintas kudengar dari si jaket hitam, perempuan tersebut diduga bunuh diri.

Ah, tidak mungkin. Kalau dia mati, bunuh diri atau mati karena waktunya mati, tidak mungkin ia meninggalkan warisan untukku. Tentunya, warisan akan ditinggalkan untuk anaknya—anak dari perkawinan sebelum aku mengenalnya. Jadi pasti bukan dia. Demikian aku menyimpulkan, begitu di otakku tersangkut kenangan, mengenai anak dalam hubungannya dengan keindahan perutnya. Kalau tidak ingat perut dan anak, mungkin aku setengah berkeyakinan dia yang mati.

Kedua, perempuan di Kereta Senja. Dulu memang ada kereta api yang namanya disesuaikan dengan waktu keberangkatan kereta tersebut, yaitu senja hari. Kereta itu pun bernama Kereta Senja.

Dengan interval beberapa perempuan seusai perempuan Animex, aku berhubungan agak serius dengan dia. Ia ingin mengenalkan diriku dengan orangtuanya di kota kelahirannya. Sebenarnya kami bisa naik pesawat, tapi entah siapa lebih dulu punya ide, kami menentukan naik Kereta Senja. Tas yang dia bawa, dugaanku terbagus di antara seluruh penumpang kereta.

Sampai kota kelahirannya hari masih sangat pagi. Aku tidak ingin bertamu ke rumah yang penghuninya masih tidur, atau baru bangun tidur. Kami menuju hotel terbaik.

Yang kuingat padanya juga perawatan tubuhnya yang luar biasa. Ia selalu wangi. Ketika kupeluk pundaknya dari bagian blouse yang terbuka di bagian itu, terasa bahan pelembap kulit dengan aroma yang aku ingat sampai waktu lama sesudahnya. Selalu aku tergoda untuk menelusuri lebih jauh.

Di mana dia sekarang?

Ia menikah dengan pejabat, kemudian kudengar dia sendiri berbisnis batu bara. Mestinya dia hidup bahagia, dan tak perlu bunuh diri. Ia perempuan sederhana yang mudah bahagia, mudah percaya—andai pasangannya tak terlalu canggih teknik berbohongnya sekalipun.

Tak mungkin dia bunuh diri. Andaikan bunuh diri, mengapa pula hartanya diwariskan padaku? Oh, mungkin karena setelah putus hubungan denganku, hubungan kami tetap baik. Ia sering menanyakan kabarku, keadaanku, keluargaku, dan lain-lain.

Itu dulu. Setelah itu, lama sekali kami tidak berhubungan. Mungkinkah dia?

Mudah-mudahan bukan perempuan baik ini yang mati bunuh diri.

Ketiga, perempuan yang selalu menyelenggarakan kencannya tengah malam, kadang lewat tengah malam. Dibanding yang pertama dan kedua tadi, ini paling misterius (aku bahkan menjulukinya mysterious lady killer). Misterius, karena aku tidak pernah bisa menghubunginya lewat telepon. Kencan bisa terjadi kalau dia menghubungiku. Dia menelepon, lalu kami membuat janji bertemu.

Paling mengagetkan ketika suatu tengah malam, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, tiba-tiba dia muncul di pintu rumahku. Mobilnya yang bagus dia parkir di pinggir jalan depan rumah.

Aku kaget mendapatinya berdiri di depan pintu, senyum-senyum. Penampilannya sangat segar—sebagaimana biasa penampilan dia. Seperti usai fitness. Ia tak pernah kelihatan lecek. Make up selalu terjaga, termasuk bulu mata palsu berikut lipstick yang terus membuat bibir basah mengundang. Bau minyak wanginya menyergap.

“Kaget ya….” katanya dengan suara khas—agak serak.

Ia mengajakku pergi. Aku masuk mobil. Dia yang menyetir.

Kutanya, apa dia tak pernah merasa khawatir bepergian tengah malam menyetir mobil sendiri. Ia tertawa. Lalu dia mengangsurkan tas tangan di pangkuannya ke pangkuanku.

“Buka,” ucapnya.

Kubuka tas berwarna keemasan itu. Pistol. Aku celingukan. Dia tambah tertawa-tawa.

Hemm, apakah dia menembak diri sendiri? Bisa jadi dia? Kan aku tidak tahu kehidupan sehari-harinya? Apakah dia bosan hidup, lalu menembak diri, setelah sebelumnya menulis wasiat meninggalkan hartanya untukku?

Sial. Ini namanya bukan rezeki, tapi masalah….

Entah mana yang benar, di lain pihak aku sebenarnya tidak memercayai sepenuhnya ingatanku. Sejauh menyangkut ingatan, semua yang kugambarkan tadi belum tentu benar. Maksudnya, kenyataan mereka waktu itu belum tentu serupa gambaranku. Apalagi komitmen mereka, andai mati sampai harus menyebut namaku, meninggalkan sesuatu untukku, seolah aku sebegitu pentingnya.

Lain otak lain kenangan. Bahkan aku belum sempat tanya, bagaimana perempuan tadi mati. Menembak diri, loncat dari jendela apartemen, minum obat, atau bagaimana….

Sambil berjalan menuju mobil, si jaket hitam bicara selintas: overdosis. Oohh….

“Kulit putih,” tambahnya.

“Maksudnya?” tanyaku.

“Orang asing. Bule….” katanya.

Iya kan… Betapa tidak bisa dipercaya memori. Bagaimana aku bisa mereka-reka sejumlah perempuan, tanpa menyertakan satu yang berkategori kulit putih, orang asing, bule? Ada apa dengan otakku?

Kerepotanku mengais-ngais memori ini pasti sama runyamnya dengan penjelasan yang harus kuberikan pada orang lain, terutama istriku—yang saat ini sedang di Singapura.

Bagaimana aku harus menjelaskannya? Menjelaskan konstruksi memoriku?

Menjelaskan konstruksi memorinya—memori perempuan asing yang mati bunuh diri dan meninggalkan warisan untukku?

Aku menarik napas. Tidak semua hal bisa dan perlu dipikirkan. Aku melangkah, mengikuti tiga lelaki itu. (*)


Bre Redana, menulis cerpen dan novel.