Cerpen Ardy Kresna Crenata
Terbit di Koran Tempo, 30 Desember 2012
Bahan Referensi Cerpen - DIA sungguh tak mengerti apa yang terjadi. Bukan saja penanda waktu pada handphone
menunjukkan tanggal yang telah dilaluinya, suasana pagi itu pun
benar-benar tak asing dan masih hangat dalam ingatannya. Pagi yang
mendung, dingin yang merayap masuk lewat celah jendela, bunyi teratur
dari hamsternya yang berlari-lari di kitiran. Ia mencoba bangkit.
Dilihatnya benda itu masih di sana, sebuah kotak lampu yang dibungkusnya
dengan rapi, sebuah kotak berisi sesuatu yang diberikannya kepada
perempuan itu kemarin. Ya, kemarin. Dia ingat betul kemarin siang kotak
itu dimasukkannya ke dalam tas tangan merah yang dibawa pulang perempuan
itu. Dia juga ingat betul perempuan itu mengambil dan membuka salah
satu ujung kotak itu untuk melihat isinya ketika mereka di bandara. Dia
ingat betul senyum perempuan itu, juga kata-kata yang keluar dari
lidahnya usai dia menggodanya kalau-kalau perempuan itu tidak tahu apa
isi kotak itu. “Baju Doraemon,” kata perempuan itu. Dia ingat betul
kejadian itu. Dan kini kotak itu tepat ada di depan matanya. Utuh. Dia
masih berusaha mencerna apa yang sesungguhnya sedang terjadi.
Tentu saja dia menolak penjelasan bahwa peristiwa itu hanyalah mimpi.
Mimpi biasanya tak lengkap, pikirnya, keterkaitan antara satu peristiwa
dengan peristiwa lainnya seringkali tak jelas, kabur, dan banyak
diantaranya terlupakan. Sementara apa yang terjadi kemarin, dalam
ingatannya begitu jelas antara yang satu dengan yang lainnya, terurut,
detil dari pagi hingga malam. Tak mungkin itu mimpi, tegasnya.
Dilihatnya, dia mengenakan pakaian yang dikenakannya kemarin pagi.
Dia mengambil handphone dan mengecek pesan terakhir yang
masuk. Benar saja, pesan itu diterima pada tanggal 18 September 2012
pukul 01:13 a.m. Dia melihat lagi tanggal di handphone,
memastikan bahwa matanya tidak keliru. Dia bahkan sampai membuka
aplikasi kalender untuk memastikan bahwa hari itu adalah Selasa.
Dilihatnya kembali kotak itu, baju yang dikenakannya, tanggal pada handphone. Apakah aku sedang bermimpi? pikirnya. Kembali dilihatnya pesan terakhir di handphone itu: Selamat tidur, Hanee.... Terima kasih banyak untuk segalanya.
JIKA benar ini terjadi, pikirnya, karyawan Alfamart itu akan
berkata bahwa tas Hello Kitty sudah habis. Kemarin pagi seingatnya dia
mampir dulu ke Alfamart untuk menanyakan tas lucu itu. Perempuan itu
sangat menginginkannya. Ia ingin sekali menyenangkan perempuan itu di
pertemuan terakhir mereka. Namun sayang stok tas itu sudah habis, tak
tersisa satu pun di gudang. Itulah setidaknya pengakuan karyawan
Alfamart yang namanya tak sempat ia ingat itu. Dan, betapa ia tak lagi
terkejut, karyawan itu—orang yang sama dalam ingatannya—mengatakan
padanya bahwa tas itu sudah habis, tak tersisa satu pun di gudang. Ia
bahkan disarankan karyawan itu untuk mengecek di Alfamart lainnya yang
ada di kawasan itu, di utara dengan waktu tempuh lima menit jika
berjalan kaki. Persis, itulah yang disarankan karyawan itu padanya
kemarin pagi. Tuhan pasti sedang bercanda, pikirnya.
Selanjutnya ia melakukan apa-apa yang dilakukannya kemarin, persis
dengan urutan yang sama. Ia memasuki Alfamart kedua, menanyakan tas
Hello Kitty, berhadapan dengan karyawan menyebalkan. Ia membeli bubur
ayam Ciampea kesukaan perempuan itu, naik angkot dua kali, turun di
stasiun. Setiap detilnya, terurut mulai dari membeli tiket kereta sampai
turun dari becak di depan rumah tempat perempuan itu berada, hadir
dengan sempurna, tanpa perbedaan satu pun. Kalaupun perbedaan itu ada,
itu adalah ia yang tak lagi antusias. Ia telah tahu apa yang akan
dihadapinya usai detik ini, menit ini. Ia tinggal melakukan hal yang
sama dan apa yang terjadi kemarin akan terjadi lagi dengan persis sama.
Seperti itulah. Ia tak lagi menanti-nanti dengan debar hati dan rasa
cemas yang membuatnya bergairah. Ia telah tahu, dan itu membuat semuanya
tak mengasyikkan lagi baginya. Ia mulai merasa akan kehilangan
kegembiraan yang seharusnya didapatkannya di hari itu, hari terakhir ia
dan perempuan itu bertatap muka dan saling menyelami mata.
Tapi biarlah, pikirnya. Aku akan menikmatinya.
Di ambang pintu, perempuan itu muncul. Ia membalas senyum perempuan
itu dan untuk pertama kalinya ada rasa syukur dalam dirinya atas pagi
yang ganjil itu. Perempuan itu duduk. Ia dan perempuan itu kini
berdekatan. Ia mulai tak sabar. Di benaknya berkelebat hal-hal manis
yang akan dilaluinya dengan perempuan itu dalam enam jam ke depan.
PETANG di bandara, ia tinggal sendiri. Perempuan itu telah
masuk ke pesawat sekitar satu jam yang lalu. Kedua Tante yang ikut
mengantar telah pulang beberapa saat setelah sosok perempuan itu tak
tampak lagi. Sementara itu, di layar yang menayangkan keberangkatan
pesawat-pesawat yang terbang hari itu, tampak penerbangan pesawat yang
membawa perempuan itu sedang melakukan panggilan terakhir. Ia duduk
lagi, menunggu. Berpuluh-puluh meter di hadapannya bis-bis datang untuk
singgah lalu pergi.
Tiba-tiba saja ia begitu ingin mengirimi perempuan itu sms,
atau bahkan meneleponnya beberapa saat, sekadar mengucapkan selamat
jalan dan hati-hati. Jelas sudah, dua jam berdekatan di dalam bis, satu
jam bercakap-cakap dengannya di bandara, beberapa detik berpelukan di
pintu masuk, sangatlah jauh dari cukup untuk mengobati kerinduannya yang
gila kepada perempuan itu.
Kenyataan bahwa selama dua jam di bis ia dan perempuan itu hanya bisa
saling menggenggam tangan tanpa melakukan sesuatu yang lebih jauh
menambah sesak yang dirasakannya. Padahal awalnya, perempuan itu sempat
mendekatkan dirinya hingga kening dan pipi mereka bertemu. Ia pun sempat
akan mencium pipi perempuan itu. Namun cermin itu, cermin di depan itu,
menangkap bayangan mereka. Dua orang yang duduk persis di depan
mereka—kedua Tante yang ikut mengantar—pasti bisa melihat apa yang
mereka lakukan. Perempuan itu tak ingin itu terjadi. Ia merasa tak enak
kepada mereka. Mungkin juga malu. Dengan berat hati ia mengiyakan
ketidaknyamanan perempuan itu. Kepada perempuan itu ia sempat berbisik
menyalahkan keberadaan cermin itu. Perempuan itu tersenyum dan berkata,
“Kan udah kemarin.” Ia balas tersenyum. Sekuat tenaga ia menahan
diri untuk tak mencium perempuan itu yang selalu begitu cantik saat
tersenyum dengan mata yang jujur. Aroma tubuh perempuan itu seolah
menjadi tangan lain yang dengan gemasnya menarik dirinya ke dekat
perempuan itu. Seandainya kami duduk di belakang, pikirnya, masih saja
kesal.
Sekarang semua itu seperti kenangan yang perlahan menguap menyisakan
hangat di hatinya. Perempuan itu sudah pergi. Beberapa saat yang lalu
pesawat Lion Air penerbangan 368 dinyatakan take off. Ia
menyiapkan dirinya untuk pulang. Langkah-langkahnya terasa berat. Senyum
perempuan itu masih terbayang hingga ia tertidur lelap di dalam bis
menuju Bogor.
Di ruas tol terakhir, handphone-nya berdering. Perempuan itu telah tiba di Medan. Dilihatnya jam di handphone. Jam sepuluh. “Sebentar lagi aku nyampe Bogor,” katanya. Perempuan itu mengatakan akan meneleponnya lagi nanti. Ia pun menutupnya.
Sementara itu di luar, malam telah larut. Lampu-lampu serupa saksi
yang meminta dikenali. “Aku akan menunggumu,” gumamnya, barangkali
kepada perempuan itu. Sambil menatap ke langit kota, ia berterimakasih
kepada Tuhan telah diberikan kesempatan kedua, sebuah hari yang ganjil,
sebuah hari dengan penuh kebahagiaan, sebuah hari di mana ia kembali
merasakan betapa perpisahan itu adalah tiran bagi sepasang insan yang
saling merindukan. Ataukah ia keliru, hanya ia yang merasakan rindu itu?
Entahlah. Ia tak tahu. Yang ia tahu, ia dan perempuan itu belum akan
bertemu lagi untuk beberapa bulan ke depan. Di dalam hatinya ia berdoa,
“Semoga Tuhan berbaik hati memberiku kesempatan ketiga.” Ia tahu, doa
itu hanyalah doa.
KEESOKAN harinya ketika ia terjaga, matanya langsung
mencari-cari kotak berisi baju Doraemon itu. Tak ada. Ia lemas. Di saat
ia tak mengharapkan keajaiban, Tuhan justru memberinya keajaiban. Di
saat ia mengharapkan keajaiban itu ada, Tuhan tak memberinya. Ya
sudahlah, pikirnya. Bagaimana pun ia sangat beryukur telah diberi hari
kemarin, satu hari lebih untuk dinikmatinya bersama perempuan itu.
Lagipula bukankah hidup memang seperti itu. Ketika kebahagiaan datang
bertamu, kesedihan akan menjadi tamu berikutnya. Ia bangkit, mengambil handphone.
Sesuatu membuatnya terdiam. Yang benar saja? pikirnya. Jika kemarin penanda waktu pada handphone menunjukkan hari sebelumnya, 18 September 2012, hari ini lebih ganjil lagi. Tanggal pada handphone adalah 17 September 2012. Ia kini kembali ke tiga hari yang lalu.
Ia mengamati jam. Masih sangat pagi. Jika benar ini adalah tiga hari
yang lalu, pikirnya, aku harus bergegas. Pada tanggal ini ia dan
perempuan itu janji bertemu di Lebakbulus. Ada sebuah bazar buku di
kawasan itu. Ia telah berjanji kepada perempuan itu akan menemaninya ke
tempat itu.
Ia berdiri. Di atas lemari tampak beberapa uang logam seribuan
bertumpuk membentuk menara—yang diberikannya kepada perempuan itu tiga
hari yang lalu. Ia menggelengkan kepalanya, tak habis pikir Tuhan
memberinya keajaiban lain. Ia mengambil handuk dan bergegas ke kamar
mandi. Dalam ingatannya, hari ini adalah hari yang begitu membahagiakan
baginya. Terbayang sudah di benaknya, ia dan perempuan itu di sebuah bis
yang melaju pelan menuju Bekasi. Terbayang sudah sebuah ciuman yang
tiba-tiba diberikan perempuan itu ketika mereka berada di lokasi bazar
buku. Tak seperti kemarin, ia kali ini begitu antusias menghadapi hari
yang ganjil itu.
Dan keeseokan harinya keajaiban masih berlanjut. Terbangun dengan
rasa yang aneh, seolah beban berat tengah menimpanya, ia menyadari hari
itu adalah Minggu. Selain tanggal pada handphone, telepon dari
perempuan itu membuktikan dugaannya benar. Pada hari inilah perempuan
itu dengan antusias menceritakan padanya tentang keinginannya untuk
mendatangi sebuah bazar buku di kawasan Lebakbulus. Perempuan itu
merengek-rengek seperti akan menangis. Ia mengabulkan permintaan
perempuan itu sambil tersenyum membayangkan apa yang akan terjadi esok
hari. Jika dugaanku benar, pikirnya, esok hari adalah Sabtu.
BEGITULAH seterusnya hari-harinya berlalu. Besok hari adalah
kemarin. Lusa adalah dua hari yang lalu. Setiap kali terbangun ia
dikepung sekelumit ingatan yang meminta perhatiannya. Kadang ia
tergesa-gesa menuju kamar mandi setelah menyadari bahwa ia terlambat
bangun sementara ada janji yang harus ia penuhi hari itu. Kadang ia
merasa matanya pedih dan menyadari bahwa malam harinya ia sempat
menangis sekian lama. Ia merindukan perempuan itu, setiap harinya. Dan
rasa rindu itu semakin manis dan mengganggu ketika ia justru melewati
satu hari dengan perempuan itu hanya untuk melupakannya. Ia tak
menikmati hasil dari apa yang dilakukannya kepada perempuan itu hari
ini. Jika hari ini ia melakukan hal-hal baik kepada perempuan itu, ia
harus paham bahwa ketika ia tidur nanti dan terjaga esok harinya,
perempuan itu sama sekali tak akan mengingat hal-hal baik itu. Lebih
buruk lagi, ia merasa hal-hal baik itu tak ada gunanya, selain
mendatangkan kegembiraan yang hanya bertahan hingga matanya lelah.
Pernah suatu hari ia bersusah payah mengubah alur peristiwa yang akan
dihadapinya. Dalam ingatannya, hari itu ia melakukan hal bodoh yang
membuat perempuan itu mengabaikannya sekian lama, menunjukkan sikap tak
senang, memasang dengan tegas sebuah tabir yang membuat mereka terpisah
meski secara fisik sangatlah dekat. Ini kesempatan, pikirnya. Ia mencoba
bersikap tenang, sambil memikirkan bagian mana saja yang harus ia ubah
dan apa saja yang harus dilakukannya jika perubahan itu tak berdampak
baik.
Kali itu ia berhasil. Dua puluh menit berjalan kaki dari stasiun
Cikini ke Taman Ismail Marzuki digantinya dengan ongkos bajaj. Meski
harga buku-buku di sana tetap mahal, ia dan perempuan itu menikmati
saat-saat mereka di sana dengan riang. Di dalam bioskop pun, perempuan
itu tak menjauhkan dirinya seperti pada kejadian pertama.
Namun kali lain ia gagal. Perubahan yang dilakukannya hanya menunda
keburukan itu datang. Ia telah mencoba sabar, bersikap manis, tapi ada
saja hal-hal kecil yang membuat perempuan itu mengabaikannya. Ingin
sekali ia mengatakan kepada perempuan itu bahwa ia telah berusaha keras
memperbaiki hari-hari mereka yang semula buruk namun urung juga. Ia
sadar, ia ingat, mengatakan hal itu kepada perempuan itu hanya akan
memperburuk keadaan. Ia memang menyebalkan ketika sedang marah, ujarnya
pada diri sendiri. Terima saja, tambahnya. Lalu ketika hari berganti,
seperti yang ia duga, kemarahan perempuan itu lenyap. Apa yang
membuatnya kesal di hari sebelumnya sama sekali tak meninggalkan bekas
padanya. Tentu saja, perempuan itu tak mengalami apa yang dialaminya.
Untuk kasus yang satu ini ia merasa diuntungkan.
Tapi sampai kapankah ia akan menjalani kehidupan seperti itu? Pernah
ia tanyakan hal itu pada dirinya. Tak ada jawaban. Ia sendiri
sesungguhnya tak mengerti bagaimana sampai semua ini terjadi. Malam itu,
beberapa jam setelah berpisah dengan perempuan itu di bandara, ia tak
ingat meminta atau mendoakan sesuatu. Tak ingat. Yang ia ingat saat itu
ia begitu sedih menyadari sosok mempesona itu tak akan bisa dijumpainya
untuk jangka waktu yang tak pasti. Yang ia ingat adalah kata-kata
perempuan itu yang dituliskannya di layar handphone-nya: Makasih. Aku juga sayang kamu. Kamu jangan sedih ya. Saat itu ia baru saja mengatakan secara diam-diam kepada perempuan itu lewat layar handphone-nya: Aku sayang kamu, Nona….
DAN tibalah ia pada hari yang begitu penting, barangkali
paling penting di antara hari-hari lainnya: Minggu, 14 Agustus 2011. Ia
terbangun ketika hari telah siang. Ia ingat beberapa jam sebelumnya ia
dan perempuan itu baru saja mengucapkan sebuah janji. Ia ingat apa yang
ia katakan kepada perempuan itu dan apa yang dikatakan perempuan itu
kepadanya. Ia merasa… ringan, seakan-akan di kedua punggungnya telah
tumbuh sayap yang siap membentang kapan saja ia membutuhkannya. “Aku
kini memiliki seseorang,” gumamnya. “Dia mencintaiku,” tambahnya. Ia
mengambil handphone. Begitu saja ia tersenyum mendapati pesan-pesan masuk yang mengisi handphone-nya belakangan ini.
Beberapa hari sebelumnya pun ia mengalami kegembiraan yang
serupa—untuk tak mengatakan sama. Yang dimaksud di sini adalah hari-hari
setelah tanggal 14, hari-hari di sisa bulan Agustus dan di sepanjang
September yang meriah. Ia dan perempuan itu. Sms dan percakapan sepanjang malam. Wallpost-wallpost
mesra. Sebuah kado. Ucapan dan doa lembut menjelang tidur. Hari-hari
menyenangkan itu kembali dialaminya dan itu nyaris membuatnya tak bisa
menahan diri untuk tak memberi tahu perempuan itu apa yang sebenarnya
tengah dialaminya. Namun membayangkan apa yang akan terjadi jika
perempuan itu tahu, juga momen-momen yang terlampau indah untuk ia rusak
dengan satu pernyataan konyol, membuatnya menguatkan diri. Ia tak perlu
tahu, pikirnya. Ia pun mengambil handphone dan menelepon
perempuan itu. Suara perempuan itu, baginya, serupa barisan angka yang
seketika berubah jadi pernyataan cinta, membentangkan sayap-sayap
mayanya begitu saja, membuatnya seolah melayang-layang di kamar itu.
Betapa anggunnya kebahagiaan itu, gumamnya.
Namun ketika malam tiba, ia memahami satu hal: hari ini adalah awal
sekaligus akhir. Sampai detik itu mereka adalah sepasang kekasih, dua
orang yang saling mengungkapkan cinta secara cuma-cuma. Besok, ketika ia
terbangun dari tidurnya, keadaannya akan berbeda. Ia akan kembali ke
hari di mana ia dan perempuan itu belum saling mengucap janji. Ia akan
kembali ke hari di mana ia dan perempuan itu masih saling menunggu satu
sama lain untuk sebuah kepastian. Ia dan perempuan itu akan kembali ke
hari di mana mereka hanyalah teman yang berbagi kegembiraan. Ya, teman.
Tiba-tiba ia gelisah. Tiba-tiba ia merasa tak siap menghadapi hari esok.
Satu tahun yang ganjil, pikirnya. Ia terdiam begitu lama ketika
perempuan itu sedang mengajaknya bicara malam itu. Perempuan itu
memanggil-manggil namanya. Ada kecemasan pada nada itu. Ia balas
memanggil perempuan itu, dengan nada yang teramat lembut. Perempuan itu
mengungkapkan rasa cintanya. Ia melakukan hal yang serupa. Tanpa sadar,
air matanya menetes pelan dan mulai jatuh.
BEBERAPA menit yang lalu ia terbangun. Telah dipastikannya
bahwa kutukan yang menimpanya belum berakhir. Ya, kutukan. Semula ia
menganggap itu keajaiban, Tuhan telah memberinya kesempatan untuk
menikmati lagi hari-hari bahagianya. Namun kini ia dan perempuan itu tak
lagi bersama. Bahkan, dalam beberapa hari ke depan, ia dan perempuan
itu akan tak saling mengenali. Ah, kurang tepat. Yang benar adalah ia
akan mengenal perempuan itu namun perempuan itu tak akan mengenalnya, ia
akan merindukan perempuan itu namun perempuan itu tak akan
merindukannya, ia akan jatuh cinta pada perempuan itu namun perempuan
itu tidak. Sekali lagi, ia merasa tubuhnya begitu berat. Sepasang sayap
itu, yang semula mudah membentang membuatnya seperti melayang, kini
tinggal kerangka rapuh dengan bulu yang berlepasan. Ia tak bisa lagi
tersenyum. Setiap kali mendengar suara perempuan itu atau membaca pesan
darinya, ia selalu membayangkan hari di mana perempuan itu akan
menghilang dari kehidupannya. Ini tak adil, pikirnya. Tiba-tiba ia
berdoa—sesuatu yang sudah sangat lama tak dilakukannya, “Tuhan, jadikan
semua yang kualami ini mimpi, dan bangunkan aku.”
EMPAT Agustus 2011. Malam hari. Beberapa menit lagi sms dari
perempuan itu akan tiba. Ia akan berpura-pura menanggapinya seolah-olah
ia belum mengenal perempuan itu, seperti pada kejadian pertama. Ia
merasa sedih. Malam ini adalah malam terakhir perempuan itu mengenalnya.
Percakapan nanti—lewat sms—adalah percakapan terakhir mereka.
Besok ia akan menjadi orang asing bagi perempuan itu. Tak akan ada
jejak-jejaknya, tak akan ada apa pun darinya yang tersisa dalam ingatan
perempuan itu. Sudahkah ia siap? Tidak. Nyata sekali ia tak siap. Saat
menyadari dalam beberapa detik lagi ia akan terlelap, ia mengucapkan
dengan perlahan kepada perempuan itu kata-kata yang pastilah tak
didengarnya: aku mencintaimu....
Ia pun terlelap. Kesedihan erat memeluknya hingga pagi tiba. Ia belum
tahu, ketika nanti ia terjaga, hari akan kembali bergerak maju, dan ia
tak akan ingat telah mengalami satu tahun yang ganjil itu. Semuanya akan
kembali normal. Ia dan perempuan itu. Sms mesra dan percakapan
dini hari. Hanya yang mendengar cerita ini yang kelak tahu: kehidupannya
telah berulang tanpa pernah ia sadari. (*)
Bogor, 2012
(untuk Fisca)
Ardy Kresna Crenata, lulusan Matematika
Institut Pertanian Bogor. Menulis puisi dan cerpen. Kumpulan cerpennya
yang telah terbit: Pendamping (Indie Book Corner, 2012).